3.2

3.7K 404 41
                                    

"Mama," sepasang amethyst itu menatapnya berkaca-kaca. Seolah telah menemukan harta berharga yang selama ini dicarinya. Seolah, ia adalah doa yang selalu gadis itu panjatkan, yang akhirnya terkabul dan dapatkan.

"Mama," kembali, bisikan lirih penuh haru itu membuatnya tidak mengerti. Membuatnya hanya bisa mematung di tempatnya. Hingga gadis bersurai raven panjang itu berlari menghampirinya dan memeluk erat dirinya. Menenggelamkan wajah menggemaskan yang sempat dilihatnya sekilas pada perutnya. Tubuh bergetarnya membuat Naruto mau tak mau menepuk lembut punggung mungil yang kini terisak dalam rengkuhannya.

Mendongakkan kepala menampakkan wajah rupawannya yang menawan hati di detik pertama Naruto melihatnya dalam balutan air mata. Sepasang amethyst itu, entah bagaimana membius Naruto untuk merengkuh gadis itu ke dalam pelukannya. Menghapus setiap butir air mata yang mengalir dari kedua mata memesonanya. Naruto, ingin memberikan kebahagiaan pada gadis kecil dalam dekapannya. Ia ingin, menjadi alasan gadis itu tersenyum manis dan menatap dunia dengan binar bahagia. Karena air mata tak pantas berada dalam wajah menggemaskan yang telah menawan hatinya itu di detik pertama ia menatapnya.

"Ano," Naruto tidak tahu harus berbuat apa. Menatap ke depan, ia melihat Ino yang berjalan ke arahnya dengan membawa dua gelas coklat panas dengan kening berkerut menatapnya. Melihat wajah bingungnya, Ino bergegas mempercepat lajunya. Kekhawatiran nampak pada wajah gadis itu saat melihatnya.

"Nana-ya," suara Ino membuat pelukan gadis kecil itu mengerat. Seolah takut jika siapa pun sosok yang baru datang, akan membawanya pergi dan memisahkan mereka berdua.

Menundukkan kepala, Naruto mencoba berbicara pada gadis dalam pelukannya. Khawatir jika gadis itu salah orang. Mungkin. "Ano, gadis kecil,"

"Yui," bisikan lirih itu teredam oleh perutnya. Tempat gadis itu menyembunyikan wajahnya. "Yui," bisiknya lagi dengan wajah mendongak menatapnya. Tanpa mengurangi pelukannya yang erat.

Tersenyum lembut, Naruto mengusap kedua pipi gembil gadis itu yang basah oleh air mata. "Yui," bisiknya lembut yang membuat gadis itu mengangguk, sebelum kembali menyembunyikan wajahnya pada perut Naruto. Seolah, disanalah tempat paling aman baginya untuk bersembunyi dari kekejaman dunia.

"Ne, Yui-chan," Naruto menarik tubuh gadis itu yang sempat mengeratkan pelukannya, namun segera melonggar begitu tahu maksud Naruto. Memangku gadis yang sepertinya berusia lima tahun itu, Naruto mengamati dengan jelas wajah rupawan dihadapannya. Perpaduan antara kelembutan dan ketegasan yang entah bagaimana bisa diketahuinya dan terasa familiar baginya.

Merapikan rambut raven sepunggung gadis yang mengaku bernama Yui itu, Naruto tak melepaskan tatapannya dari wajah benar-benar yang terasa familiar baginya. Siapa? Apa mereka pernah mengenal? Atau ia mengenal orang tua gadis itu?

"Yui-chan," Naruto tidak tahu apa yang harus dilakukannya, sebenarnya. Tapi ia harus mencari tahu kenapa Yui memanggilnya Mama. "Kenapa Yui-chan memanggilku Mama?"




"Nana-ya," suara Ino membangunkan Naruto dari lamunannya. Mereka sedang baru saja selesai membersihkan diri setelah pulang dari jalan-jalan dan sedang bersantai di kamar. Naruto duduk di kursi meja belajar yang bersisian dengan jendela apartemen yang menampakkan pemandangan kota Konoha. Sedangkan Ino duduk di tepi ranjang, menatapnya.

"Nde?" Mendongakkan kepala, Naruto menatap Ino yang kini berdiri dengan linglung.

"Kau melamun," kening Ino mengerut, mulai merasa cemas. Ia mengingat jelas pesan Chun Soo agar tidak membiarkan adiknya itu berpikir terlalu keras, apalagi hingga melamun. Karena hal itu sangat berbahaya bagi kesehatannya. Ino ingat jelas pesan Chun Soo yang mengatakan bahwa Naruto dalam keterdiamannya, berarti sedang berpikir keras. Atau bahkan, gadis itu bisa saja sedang memikirkan sesuatu yang membebani perasaannya. Dan itu lebih berbahaya. Gangguan pada psikologis Naruto lebih berbahaya dari pada psikis gadis itu dalam proses pemulihan penyakitnya. Itulah sebabnya, Chun Soo sangat protektif pada gadis itu.

"Kau masih memikirkan gadis kecil tadi?" tanya Ino cemas. Tak ada jawaban dari Naruto, kecuali mengalihkan pandangannya kembali pada luar jendela di sampingnya.

Entah kenapa, ia merasakan sesak di dalam dadanya. Perasaan sedih itu seketika menghantamnya ketika mengingat air mata Yui yang kembali mengalir ketika pengasuh gadis itu dan pengawalnya membawa paksa gadis itu pulang atas perintah keluarganya. Ia merasakan perasaan cemas yang luar biasa.

"Jangan terlalu banyak berpikir, Nana-ya," suara cemas Ino mengembalikan tatapannya pada gadis pirang yang terlihat cemas itu. "Aku tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi padamu ketika terlalu keras berpikir." Ino menggenggam tangan kanannnya dengan tatapan memohon yang membuat perasaannya trenyuh. Perhatian tulus Ino membuatnya merasa tak terharu dan tak enak hati karena telah membuat gadis baik hati itu cemas.

"Miane yo, Ino-chan," menggenggam balik jemari Ino, hanya kata itu yang mampu Naruto ucapkan. Ia hanya ingin meredakan kecemasan Ino padanya, meski pikirannya masih berkelana pada kejadian tadi pagi.

"Karena Mama adalah Mama Yui," ucapan Yui kembali terngiang dikepalanya. Kata-kata tegas penuh kesungguhan itu benar-benar membuatnya tidak mengerti. Kenapa Yui bersikeras memanggilnya Mama? Apa ibu gadis itu mirip dengannya? Apa....

Nyuut~

"Nana-ya!" pekik Ino cemas ketika tetiba melihatnya meringis dengan hidung yang mengalirkan darah segar. Kepalanya terasa akan pecah ketika tiba-tiba sebuah pikiran terlintas dalam benaknya. Membuatnya mencengkeram kepalanya erat. Mungkinkah... Mungkinkah jika Yui adalah....








Well, maafkan saya karena memaksa untuk up meski belum sampe 1000 word. Nggak enak rasanya, sebenarnya. But, Well... dari pada tidak up sama sekali, bukan? #nyengir

Okay, thanks sudah mampir and hope you like it. Ciao~ 😘😘😘

Found YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang