4.1

3.5K 363 41
                                    

"Naru!"

Siapa?

"Naruto-chan!" suara riang itu mengusik lelapnya.

Siapa? Siapa yang memanggilku?

"Naruto-chan, aku akan selalu merindukanmu," isakan lirih itu menyayat hatinya.

Jangan menangis, bisiknya, pada sosok kabur yang tak tampak oleh penglihatannya.

"Aku akan selalu merindukanmu," suara itu masih berisikan isakan, juga kata perpisahan penuh kerinduan. Seolah, mereka sudah dipisahkan jauh, meski nyatanya kedua jemari tangan mereka masih saling bertautan.

"Tolong jangan lupakan aku,"

Siapa? Siapa yang seharusnya tidak boleh aku lupakan?

"Jika suatu saat nanti kita bertemu kembali, aku pasti akan mengenalimu lagi. Pasti."

Benarkah?

"Sampai saat itu tiba, berjanjilah untuk selalu bahagia."

Aku, batinnya tercekat, kehilangan kata-kata. Ia bisa merasakan dorongan untuk menjawab 'Tentu saja,' tapi kenyataan yang dihadapinya selama ini membuat lidahnya kelu. Ia seolah tak diperkenankan untuk berdusta, bahkan meski hanya untuk menghibur hati yang sedang berduka.

"Naruto, aku sangat menyayangimu."

Aku juga, batinnya berteriak pilu. Tak memahami siapa sosok itu, tapi ia sangat yakin jika sosok yang bersuara itu adalah orang yang sangat berarti untuknya. Dan mereka saling menyayangi.

Entah kenapa, ia tidak ingin perpisahan itu terjadi. Pada sosok kabur yang tak ia ingat sama sekali. Pada suara yang terasa familiar dengan bongkahan kerinduan.

"Naruto," bisikan itu membuatnya mengernyit. Lebih nyata dari apa yang baru saja mengusik lelapnya. Suara-suara dalam kepalanya telah hilang, berganti kesadaran yang mulai kembali. "Aku pasti akan selalu menemukanmu," suara rendah itu membuat jantungnya berdetak kencang. Menggebu tanpa tahu malu.

Sekuat tenaga, Naruto berusaha untuk membuka mata. Ingin melihat siapa, sosok yang kini berada dihadapannya dan mengucapkan kata yang membuat dadanya bergemuruh oleh rasa rindu yang menggebu.

"Aku tidak akan pernah salah," bisikan itu kembali terdengar. "Bukankah kau pernah bilang, bahwa hanya aku yang akan menemukanmu? Bagaimana pun sosokmu?"

.

.

.

Karin tidak bisa menahan dirinya. Ia tidak bisa menahan gejolak hati untuk bertemu dan menemani sosok yang dipercayainya sebagai Naruto. Dan dia pasti Naruto. Karin tidak pernah meragukan hatinya jika itu demi kepercayaannya akan sosok Naruto.

"Aku tidak akan pernah salah," bisiknya. Saat ini ia telah duduk di sisi ranjang yang Naruto tempati. Menunggu gadis itu yang belum juga siuman sejak siang tadi.

"Bukankah pernah bilang, bahwa hanya aku yang akan menemukanmu? Bagaimanapun sosokmu?" gumamnya sendu. Tangan kanannya dengan lembut merapikan rambut di kening Naruto melekat oleh keringat.

"Aku,"

"Ehm," suara erangan Naruto membuat Karin mengerjapkan mata, tersadar. Gadis itu dengan gugup berdiri. Menanti kedua mata sosok dihadapannya untuk terbuka.

Perlahan, kedua mata itu terbuka. Menampakkan sepasang hazel yang tetiba membuat napasnya tercekat.

Bukan biru sapphire, batinnya menjerit, tak berdaya. Kenapa? Kenapa bukan biru shappire?

"Siapa?" tanya Naruto perlahan. Suaranya serak dan kering.

Deg.

Siapa? Naruto, tidak mengenalinya? Naruto, melupakannya?

Jantung Karin rasanya seperti di tusuk sembilu. Menyakitkan, juga mematikan. Bahkan rasa dari pengkhianatan mantan kekasihnya dahulu, tidak bisa dibandingkan dengan sakitnya satu pertanyaan itu menyerangnya. Dari sosok yang diyakininya sebagai sepupunya.

"A-aku, Uzumaki Karin. Sahabat Ino," jawab Karin terbata. Gadis berambut merah itu segera mengambil segelas air di atas meja samping ranjang, mengabaikan tubuh membeku Naruto yang terkejut mendengar jawabannya. Gadis berkacamata itu sibuk membenahi hatinya yang sakit dengan kenyataan yang diterimanya.

"Minumlah," Karin mengulurkan gelas dan membantu Naruto untuk minum. Berusaha keras menahan air matanya agar tidak turun, dan berubah menjadi isakan. Hatinya sakit. Pada kemungkinan bahwa ia memang salah, dan sosok yang diyakininya ini ternyata bukanlah dia.

"Terima kasih," Karin mengangguk tanpa berani menatap wajah Naruto. Tak menyadari, bahwa sedari tadi sepasang hazel itu menatapnya lekat. Menggali beberapa kata dalam diary dan memory.

"Kalau begitu, aku akan mengambilkanmu makan. Kau belum makan dari siang tadi. Ino sedang bertugas, jadi dia memintaku untuk menjagamu di sini." Karin bergegas pergi, keluar dari dalam kamar dengan air mata yang mulai berurai.

Ia tidak kuasa. Dadanya benar-benar sesak dengan kemungkinan bahwa sosok itu benar-benar bukan sepupunya. Namun kenapa? Kenapa batinnya berteriak jika itu dia?

.

.

.

Hai, Karin-chan. Sepupu tersayangku yang entah berada dimana. Maafkan aku karena meninggalkanmu tanpa kata dan penjelasan. Aku yakin kau pasti akan mengkhawatirkanku lebih dari yang orang lain rasakan, bahkan keluargaku. Saat ini, aku sedang berada di Jerman. Berdiri di tempat tembok berlin yang bersejarah itu sempat berdiri kokoh, memisahkan Jerman barat dan Jerman Timur. Seperti waktu yang telah membentang di antara kita.

Ku harap, sebagaimana aku berdiri dengan kedua kaki yang berada di batas antara Jerman barat dan timur. Kita akan berjumpa kembali. Saling bergandengan tangan dengan senyum yang tak akan pernah pudar. I'll always miss you. Dan bertapa pun ruang dan waktu memisahkan kita, aku akan selalu menunggu. Menunggumu untuk menemukanku. Karena aku percaya, kau adalah orang pertama yang akan menyadari siapa aku, bahkan meski aku menyaru dalam boneka rubah saat itu.

My dearest, Uzumaki Karin. I'll waiting for you.

Jerman, 19 Juli 20xx

Naruto

.

.

.

Segini dulu ndak papa, ya. Anggap aja pengobat rindu, hehe

Found YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang