28 : Sepi (2)

507 98 41
                                    

"Nathan!"

Yoojung mengatur nafasnya yang terengah-engah. Matanya tak lepas dari lelaki yang kini sedang menatapnya. Menunggu apa yang akan dikatakan gadis itu.

"Na-nanti malem ad-ada acara gak?"

Jihoon menaikan alis, bingung. Sedetik kemudian ia menggeleng.

"Gak ada. Kenapa?"

"Ma-mau ke pasar malem? Ak-aku ada voucher," kata gadis itu terbata-bata. Sedikit ragu mengatakan.

Dua minggu ini, setelah hari itu. Hari di mana Jihoon mengatakan bahwa ia ada untuk Yoojung, mereka terlihat semakin dekat. Sebetulnya tidak dekat, hanya saja Jihoon lebih sering menemaninya di taman belakang, mendengar keluh kesahnya. Menjadi saksi atas air mata yang tumpah berkali-kali ke bumi. Menjadi satu-satunya orang yang Yoojung percayai saat ini.

"Boleh."

Senyuman lega terukir di bibir Yoojung. Gadis itu nampak bahagia.

"Jam 8, di lahan deket gedung pertemuan," Yoojung tersenyum, "makasih. Aku duluan."

Jihoon mengangkat ujung bibirnya, melihat Yoojung yang salah tingkah. Lucu, pikirnya.

"Kinan!"

Yoojung menoleh, wajahnya terlihat panik.

"Sepatu kamu ketinggalan satu, nih."

.
.
.

.
.
.
.




"Nath?"

"Hal--eh samaan pake sweater."

Yup, kebetulan Jihoon memakai sweater warna pink hadiah dari rekan kerja ibunya. Sedangkan Yoojung, memakai sweater berwarna biru.

Yoojung tersenyum malu-malu. Pilihannya tepat ternyata, "Ayo."

Dengan kaki mungilnya, Yoojung melangkah dengan pasti.

"Kinan, abis nangis lagi?"

Deg!

Apa sangat kentara? Padahal Yoojung sudah menutupi dengan bedak. Rasa-rasanya, Jihoon itu manusia terpeka di dunia.

"E-enggak," jawabnya agak tergagap. Jihoon mengernyit, menatap Yoojung lekat.

Lelaki itu tahu. Bahkan sangat tahu. Gadis mungil di depannya ini sangat kesepian. Menjadi imbas perbuatan orang tua bukan kehendaknya. Menurut Jihoon, Yoojung adalah perempuan kuat. Yang masih bisa bertahan walau dunia membencinya. Semua orang menjauhinya. Tak ada tempat untuk bercerita. Yoojung masih bisa terlihat baik-baik saja.

Awalnya memang ia hanya bersimpati, sebagai ketua kelas, seharusnya ia merangkul kawan-kawannya agar saling menjaga. Tapi, lama kelamaan ia kasihan. Yoojung... tidak sepantasnya diperlakukan seperti penjahat.

"Mau cerita?"

Gadis mungil itu menggeleng lemah, "ayo ke pasar malem."

"O-oke."

Mereka berjalan dalam keheningan. Ketika melihat cahaya berpendar tak jauh dari tempat mereka, Yoojung tersenyum ceria.

"Ayooooo!"

Refleks, jemari mungil itu menarik tangan Jihoon. Saking senangnya. Yoojung sudah lupa kapan terakhir kali ia ke sini.

"Pelan-pelan nan, tutupnya masih lama kok."

Dumb Dumb ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang