Pukul lima pagi. Alexa bangun dari tidurnya yang sangat lelap. Sedikit menyebalkan bagi Alexa karena dia harus memotong mimpi indahnya. Mimpi indah tak sering menjumpaimu. Kebanyakan mimpi hanya sebatas ilusi yang tercipta akibat alam bawah sadar manusia secara tak sengaja memikirkan sesuatu sehingga memicu munculnya mimpi. Tapi tak jadi masalah buatnya, karena mimpi indah maupun buruk tetaplah sebuah mimpi. Kau tahu, ia baru saja memimpikan pangerannya. Namun sekali lagi ia menyadari itu hanyalah mimpi. "Mimpi sialan" ujar Alexa sambil mendengus.
Huufffhhh... Menarik nafas panjang di pagi hari adalah hal paling beruntung bagi Alexa. Mengapa? Karena tak banyak manusia yang sudah bangun dan menikmati hal ini. Dan kini ia mulai meregangkan otot-ototnya. Seperti suatu kebiasaan, setiap pagi Alexa melakukan pemanasan kecil di kebun belakang rumahnya. Sekedar berolahraga sebelum beraktifitas dengan normal. Sekaligus mempertahankan tubuh idealnya yang membuat siswi paling kece disekolahnya iri tak ketulungan.
Saat sedang pemanasan, Alexa terus memandang ke arah jendela rumah tuan Robert yang terletak di lantai dua. Biasanya, tuan Robert akan berdiri di sana sambil melambai kearahnya dengan segelas kopi hangat ditangannya –jangan tanya siapa yang membuatkan kopi, ia tak akan memberitahumu-. Jendela itu masih tertutup dengan gorden yang sama selama belasan tahun. Dan tiba-tiba ia ingat akan kejadian semalam. Orang-orang aneh itu, kemana mereka kini dan apakah mereka benar penghuni baru rumah tuan Robert. Kapan tuan Robert menjualnya?
"Kenapa mereka tidak mengganti gordennya?". Kalau di fikir-fikir, orang-orang itu sepertinya baru datang dari negara lain yang sangat jauh. Kenapa mereka bisa tak tahu satu-satunya rumah yang layak dibeli di desa miskin ini.
"Ahh... sudahlah, tidak usah dipikirkan. Memikirkan orang aneh akan membuatmu terlihat lebih aneh" lalu ia masuk ke dalam rumah bermaksud ingin mandi karena ia harus berangkat sekolah. Namun, sejak tadi Alexa tak menyadari bahwa seseorang sedang memperhatikan dirinya dari balik gorden jendela lantai dua rumah tuan Robert.
...
Putih dan kotak-kotak krem. Warna yang mendominasi sekolah Alexa. Siswinya memakai baju putih dengan lambang SMA St. Marianne di dada sebelah kiri, di tambah dengan rok kotak-kotak berwarna krem di atas lutut yang menambah kesan feminim. Sedangkan siswa laki-lakinya memakai baju putih yang sama tetapi celana yang mereka pakai tidak bermotif kotak-kotak -karena itu akan terlihat seperti penyanyi pop tahun 80-an-.
Alexa sedang tertidur di kelas sampai orang-orang ribut karena kedatangan guru secara tiba-tiba. Mereka seperti para penjudi yang di grebek di dalam kost-kostan gelap. Tetapi bukan itu yang membuat mereka bising, seseorang tengah berjalan mengikuti guru itu dari belakang. Terdengar teriakan kecil dari anak-anak perempuan.
"Ada apa ?" Tanya Alexa pada teman sebangkunya. Tetapi temannya tak menjawab dan pergi begitu saja karena tak ingin ketinggalan dari anak-anak lain. Lalu guru masuk bersama laki-laki itu ketika Alexa hendak berdiri. Betti, teman sebangkunya terkekeh saat kembali duduk ke kursinya dan begitu pula dengan siswa lainnya.
Alexa merasakan sesuatu, laki-laki itu terlihat tidak asing. Dia memakai potongan rambut yang keren, poninya seperti seharusnya turun menutupi dahi namun dipaksa berdiri dengan pomade. hidungnya bangir, bibirnya seksi, dan alisnya tebal. Tingginya, warna kulitnya, dan wajah pucatnya. Tunggu...?
Gurupun menjelaskan keadaan. "Anak-anak, perkenalkan... dia adalah murid baru di sekolah kita. Dia akan belajar bersama kita mulai hari ini." jelas guru. Sontak para trio centil –sekolahmu pasti punya geng cewek-cewek centil seperti ini-tersenyum lebar. "Nah... perkenalkan dirimu" guru mempersilahkan.
"Hallo semuanya.. perkenalkan namaku Jason Stevenson dan aku akan belajar bersama kalian mulai sekarang" Jason menundukkan kepala tanda memberi salam pada teman-teman barunya.
"Boleh aku tahu alamat rumah mu?" tanya salah satu trio centil.
"Berapa nomor handphone mu?" tanya tc nomor dua.
"Apa maksudmu? sekarang mana ada yang meminta nomor handphone... mau nomorku?" Tanya si ketua geng. Lantas mereka cekikikan karena merasa berhasil merayu Jason.
"Aku tidak bisa memberi tahukan alamat rumahku pada orang yang baru aku temui, nomor handphone? temanmu benar, mana ada yang bertanya seperti itu, dan aku tak menginginkan nomormu nona pirang. Ada pertanyaan lagi?" tiga siswi centil itu diam, terutama Rachael si rambut pirang.
OMG! Dia menyebut jalang itu pirang, aku harus merayakan ini, ucap Alexa dalam hatinya. Mereka tidak menyangka Jason akan menjawab segitu dinginnya. Wajah Rachael terlihat merah padam karena malu. Lalu guru mempersilahkan Jason duduk di bangku yang kosong, pemilik kursi tak masuk hari ini karena sakit dan memulai pelajaran.

KAMU SEDANG MEMBACA
Mr. Vampire and Me
VampireKamu yakin jika vampir itu hanya makhluk mistis? maka kamu satu pemikiran dengan Alexa. Namun, tahukah kamu jika Alexa kini menyesali pemikiran itu? Vampir itu ada.