10

354 27 2
                                    


Jevin gusar, cemas, dan napasnya terengah-engah. Ujung bibirnya pecah dan mengeluarkan darah. Rahangnya terasa sakit hingga ke pelipis. Sambil terus memaki, dia mencoba menahan rasa sakit. Mencoba memaksa otak kacaunya yang malang agar bekerja, memikirkan suatu cara untuk keluar dari situasi ini. Sayangnya, otaknya menghasilkan nol besar. Javin jatuh tersungkur tak berdaya di hadapan Jason.

"Brengsek!" ketus Jason.

Mata Jason sedingin dan sekejam air hitam Sungai Mississippi saat menghajarnya. Sekitar satu detik sebelum pukulan pertama mengenainya, Jevin menerima fakta bahwa dia mungkin akan babak belur. Mengingat flunya yang baru pulih, dan cukup sadar untuk mengetahui nasib buruk akan menimpa, tidak banyak yang bisa dia lakukan untuk mencegah hal itu. Dia hanya bisa menyesali keadaan yang membuatnya terjerumus ke dalam kekacauan ini.

"Kau benar-benar berpikir aku sengaja melakukan itu?" ujar Jevin. Dia mencoba menelan ludah, tetapi ludahnya sangat sedikit sampai-sampai usahanya nyaris tidak sepadan. Dia sama sekali tidak menduga serangan dari Jason. Riwayatnya mungkin akan tamat melihat Jason sama sekali tak menurunkan tempo.

Sialan. Jevin sadar dia terengah-engah seperti anjing. Dia bisa merasakan bibirnya koyak dan mengeluarkan darah. Meminta maaf mungkin akan menghentikan Jason, tapi ia tak mungkin melakukannya. Mengingat teman sekelasnya dan perempuan yang baru saja dicumbunya menonton dari jarak dekat. Jason datang secara tiba-tiba dari luar kelas dan langsung melayangkan tonjokan beberapa saat lalu dan berhasil memancing keributan sekolah.Tapi menerima dengan pasrah semua pukulan lebih buruk daripada semua yang dia perhitungkan.

"Dimana Alexa?! Katakan dimana dia?"

"Kau bahkan tidak pantas menyebut namanya setelah apa yang sudah kau lakukan, bedebah" Ujar Jason dengan tatapan dingin. Ia mencengkram kerah baju Jevin dengan kuat, seakan tak mungkin lepas kecuali memotong tangannya.

"Kau akan menyesali perbuatanmu, brengsek. Kau baru di sini. Dan kau tak akan mendapat apapun dengan memukulku" Napas Jevin berat akibat sentakan di ulu hatinya akibat ulah Jason. "Kau terlalu mudah untuk membela wanita yang baru kau temui. Walaupun dia memang punya tubuh yang panas, tapi itu belum cukup jadi alasanmu untuk memukulku"

Kata-kata itu berhasil memancing Jason sampai ke ubun-ubunnya. "Kau benar-benar brengsek!" sekali lagi, Jason memukul rahang kanan milik pemuda yang cukup terpandang di Penville itu –(Jevin berasal dari keluarga berpendidikan dan ibunya. dr. Eleanor adalah satu-satunya dokter di Penville)- hingga berbunyi krakk.

.

.

.

Alexa melangkah gontai ke kelasnya. Otak dan kesadarannya perlahan kembali yang memberikan cukup kekuatan untuk berjalan. Dengan kepala berdenyut-denyut, sangat kelelahan sampai-sampai hanya melangkahkan satu kaki di depan kaki lainnya saja menguras tenaga, Alexa memutuskan keluar dari toilet busuk tempatnya baru saja mencurahkan perih di dadanya.

Berapa lama ia di dalam? Alexa tidak tahu. Apa yang harus dia lakukan saat tiba di kelas? Dia juga tidak tahu tentang itu. Apa yang terjadi selama dia di dalam? Jawaban yang sama. Dia sama sekali tak tahu apa-apa, dan keresahan yang timbul membuatnya semakin tertekan. Situasi bertambah rumit karena dia mulai diserang sakit kepala berat. Atau mungkin itu sakit kepala akibat tegang, karena dia benar-benar mengalami ketegangan. Apa pun itu, dia jelas-jelas merasa tidak enak badan. Sebenarnya, mengingat semua yang baru saja dilaluinya, dia akan heran jika tubuhnya tidak apa-apa.

Dan penyebab semua masalahnya kini sedang berdiri tepat dihadapannya. Berdiri lunglai di ambang pintu sambil dibopong oleh Rachael. –(Bagus, sekarang mereka tampak serasi-) Jevin memakai plester di dahi, ujung bibir membengkak, dan memegang rahang. Lelaki itu sama sekali tidak memberikan isyarat dia memikirkan apa-apa selain tentang rahangnya.

Mr. Vampire and MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang