Timbul rasa

27 2 7
                                    

Semua murid berbaris dilapangan sesuai dengan kelasnya untuk melakukan upacara bendera, alleta teman sebangnya tidak masuk, jadi ia baris sendiri tanpa pasangan, mendapat barisan di paling belakang barisan cewek, itu berarti di depan barisan cowok, karena ia telat datang ke lapangan, sebenernya ia canggung berada di depan barisan cowok, tak ada yang bisa ia ajak ngobrol, yang ia lakukan hanya diam, biasanya kalau situasi kaya gini arman selalu masuk ke barisan kelas fanya dan menemaninya.

"Arman mana sih, biasanya dia peka kalo gue lagi kesepian" gumamnya pelan

Ia melirik ke arah belakang mencari arman, hasilnya nihil.

"Apa dia telat ya, atau jangan- jangan dia ngga masuk juga, wah gawat nih kalo arman ngga masuk, alleta juga ngga masuk nanti siapa yang nemenin gua seharian ini"
Ucapnya dalam hati.

Ia terus berusaha mencari arman, tapi justru matanya disambut oleh tatapan sepasang bola mata yang asing baginya, ia menyipitkan matanya memastikan kebenaran tatapan itu tertuju padanya, tapi mata minus nya itu masih belum bisa menangkap jelas tatapan itu, cowok memalingkan pandangannya, fanya pun membalasnya dengan hal demikian, karena rasa penasaran yang terus mengganggunya ia memakai kaca mata minusnya untuk memastikan semuanya, ternyata benar cowok itu sedang memperhatikannya, entah kenapa kali ini ia tak bisa memalingkan pandangannya, mata indah itu seakan mengunci semua pandangannnya, ia menikmati kehindahan dari sepasang bola mata yang sedang menatapnya, ia berusaha mengendalikan dirinya, tapi nihil bahkan untuk memalingkan pandanganya pun ia tak bisa.

"Teh hadapnya ke depan" suara itu yang berhasil membuyarkan semua imajinya, itu suara anak osis junior.

"hmmm" fanya hanya berdeham dengan wajah sinis.

Akhirnya ia menghadap ke depan, tetapi tetap konsentrasinya masih kepada cowok tadi, sesekali ia melirik ke arah cowok itu, fanya mengagumi ketampanannya hidungnya yang mancung kulitnya putih pucat pasi, entah mengapa fanya merasa ia tak dapat mengendalikan perasaannya.

Sejak saat itulah ia mulai mencari tau tentang cowok itu, namanya arif nurmansyah, cowok yang berhasil merebut hati fanya si cewek judes.

"arif itu tampan ya, pasti pacarnya cantik, ngga mungkin dia mau sama cewek kaya aku."
Gumamnya sambil berjalan menuju rumahnya.

"Oh iya, aku kan mau ke rumah arman, kok jadi pulang kerumah sih" sembari menepuk keningnya.

Ia pun berbalik arah menuju kearah rumah arman untuk memastikan keadaan arman, sekalian memarahinya karena ia sudah membuatnya kesepian seharian ini.

"Ehh fanya mau ketemu arman ya" sapa reni mamihnya arman.

"Iya mam, arman kenapa tadi ngga masuk sekolah mam?" Ia memang sudah menganggap reni ibunya sendiri.

"Ngga tau fan tadi pagi sih bilangnya pusing, tapi diajak ke dokter ngga mau, padahal udh dipaksa sama papihnya, tapi tetep aja dia kekeh, ngga mau pergi ke dokter."

"Mam, arman laper, mamih udh masak kan?
Teriakan arman dari dalem kamarnya, terdengar lesu.

"Iya man, nanti mamih ambilin ya, kamu istirahat aja"

Arman adalah anak tunggal ia sangat dimanja, tak jarang fanya merasa iri dengan keluarga arman, karena kedua orang tuanya  sangat menyanginya.

"Biar fanya aja yang bawain ke arman ya mam." Sambil meraih nampan yang ada di tangan reni.

"Oh ya udah kebetulan mamih masih ada kerjaan di dapur"

"Iya mam"

Fanya masuk ke kamar arman tanpa permisi arman kaget dengan kehadiran sahabatnya itu, di tambah lagi dia hanya menggunakan kaos dalem, dan ada cewek yang masuk nyonong aja ke kamarnya.

"ehhhh lo ngapain disini?" Sambil meraih selimut untuk menutubi badannya.

Fanya hanya diam, sebagai tanda kekesalannya, fanya duduk di kasur arman.

"Ehh lo jangan liat kesini dulu gue ngga pake baju, bentar gue pake baju dulu." Ucap arman panik

Fanya menuruti perkataan arman, namun mulutnya semakin membulat dan terkunci.

"Lo boleh liat kesini" arman memakai kaos yang diberikan fanya saat ulang tahunnya.

Fanya menatap arman dengan sinis, kejudesan di mukanya semakin tampak jelas, tapi tak satu kata pun ia ucapkan ia hanya diam.

"Woy lo kenapa sih? Hati lo emang mati rasa, apa sekarang mulut lo juga ikut mati rasa" Arman masih tetap mengejek fanya.

Setelah beberapa menit ia diam, akhirnya ia mulai angkat bicara.

"Mungkin gue masih kebawa suasana di sekolah tadi" ujar fanya

"Jadi seharian ini lo kayak gini"

"Ya abisnya lo sih pake ngga berangkat segala"

"Emangnya si mulut bebek itu kemana"

"Aletta sakit juga, heran deh ko bisa barengan gitu ya sakitnya"

"Makanya lo itu jadi orang jangan galak-galak biar punya banyak temen"

"Ya kan lo tau gue emang gini"

"Ya gue emang ngerti lo, belum tentu dengan yang lain, inget lo fan ngga semuanya orang itu ngerti kamu"

"Ya terus gue harus gimana dong, apa gue harus pura-pura baik biar dapet banyak temen, ya percuma man nanti pas mereka udah tau sikap asli gue mereka tetep aja bakal ninggalin gue"

"Ya ngga gitu juga kali fan, ya coba lo tuh kurang-kurangin sikap lo yang suka marah" ngga jelas, coba lo belajar lebih sabar, dan satu lagi lo itu harus banyak-banyakin senyum deh, lo itu cantik kalo senyum"

Fanya yang tadinya cemberut, tak bisa menahan senyum.

"Woy jangan baper woy..." sambil mencubit hidung fanya

"Apaan sih lo ya kali gue baper sama lo, gue terharu aja ternyata masih ada yang bilang gue cantik"

"Makanya punya bibir tuh dipake buat senyum biar keliatan cantik, lu mah punya bibir di buletin terus"

"Iya iya deh, udah gih makan dulu, sekalian gue juga mau pamit pulang"

"Gue anterin ya"

"Ngga usah lah, yang ada nanti lo malah pingsan di jalan"

"Gue ngga selemah itu kali"

"Beneran ngga usah, lo istirahat aja, besok harus masuk sekolah pokoknya gue ngga mau sendirian lagi"

"Iya oke deh"

Gimana ceritanya?
Mau tau kelanjutan kisah mereka pantengin terus ya..

Maafkeun ya baru belajar nulis..

Semoga terhibur

Sampai jumpa di bagian 3





Realita cintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang