Chapter 2

64 7 1
                                    

And i know it's long gone and that magic's not here no more.
And i might be okay but i'm not fine at all.
-All to well-
.
.
.
***

Aku sudah keluar dari klinik psikolog kim sejung, klinik ini berada di pusat kota seoul dekat dengan taman yang sering aku kunjungi sejak pindah ke seoul 3 tahun lalu, sebenarnya aku sama sekali tidak berniat melakukan pertemuan dengan psikolog, aku sendiri merasa bahwa aku baik-baik saja.

Maksudku, tentu aku merasa sedih karena beberapa hal, tapi bukankah itu wajar sebagai manusia? Aku tidak melakukan hal-hal gila yang dapat merugikan diriku sendiri atau orang lain, tapi Evan bilang aku membutuhkan bantuan psikolog.

Tidak mempunyai teman, tidak tersenyum pada orang lain, tidak tertawa pada sesuatu yang lucu, Evan bilang itu artinya ada yang salah pada diriku. empati, ya dia bilang aku tidak memiliki itu. Padahal yang ku lakukan hanya tidak menempatkan diriku sendiri pada masalah, hanya saja Evan tidak mengerti konsep itu dan semua orang tidak ada yg melakukannya, aku hanya heran mengapa orang-orang sangat ingin terlibat masalah.

Atau itu hanya aku? Aku hanya merasa semua hal buruk yang menimpaku hanya terjadi saat aku mulai peduli pada sesuatu jadi sejak itu aku berhenti peduli.

Aku telah sampai di persimpangan jalan kemudian duduk di halte menunggu bus, untuk pertama kalinya aku tidak menggunakan earphone ku, kata-kata sejin terus terngiang di kepalaku, dia bertanya mengapa aku merasa kosong? Aku sendiri tidak tau.

Tapi satu-satunya yang membuatku bertahan mengunjungi sejung karna hanya itu alasanku keluar rumah, jika tidak ada jadwal konsultasi dengan sejung kegiatanku hanya berdiam diri dirumah menulis bab demi bab novel, sebenarnya, aku tidak masalah melakukannya karna itu pekerjaanku, aku seorang penulis novel, jika ditanya pekerjaan ini menguntungkan atau tidak tentu bisa dikatakan menguntungkan.

Aku bisa tinggal di salah satu apartemen mewah di gangnam, bisa membeli apapun yang aku mau juga bisa membayar Sejung, kau pasti bisa membayangkan seberapa terkenalnya aku bukan? Tapi aku tidak begitu, aku memilih menyembunyikan identitasku dan menggunakan nama pena, itu sangat mudah untukku karna Evan adalah seorang penulis terkenal, sebenarnya itu juga yang membuatku bertemu dengan Evan. 14 tahun lagi di kota kecil di new york, hari-hari gelap ketika semua kebahagiaanku direnggut dan satu-satunya yang kulakukan hanya menulis, dan itu membuat suster Maria jengkel, dia membuang semua hasil tulisanku dan aku menangis sejadi-jadinya kemudian Evan datang, dia mengambil tulisanku lalu membacanya dan menyuruh suster Maria untuk pergi.

Aku mengenal Evan sebagai jemaat yang sering datang ke Gereja, hari itu saat Evan membaca tulisanku dia berkata "tulisanmu indah, seperti namamu" dan sejak itu bisa dibilang Evanlah yang menghidupiku, dia juga yang membantuku pindah dari new york kembali ke korea, negara asalku. Dia bahkan sampai mencarikanku orang tua asuh disini, awalnya aku sangat senang membayangkan seorang gadis kecil yang kesepian mendapatkan keluarga baru di negara asalnya, Evan adalah malaikatku. Tapi setelah tiba di korea untuk pertama kalinya, aku ingin mengutuk diriku sendiri karena membiarkan Evan membawaku kesini.

Mengingat masa lalu selalu membuat kepalaku pusing, perasaan frustasi dan marah pada diriku sendiri lebih mendominasi, aku selalu membutuhkan pil-pil tidur itu tapi sekarang aku sedang berada di luar jadi aku tidak bisa melakukannya. Suara berisik mengalihkan fikiranku, disampingku aku melihat kerumunan anak SMA yang sedang tertawa sambil membawa sesua- ahh aku tau, itu lightstick. Stick yang memancarkan cahaya yang sering para fangirl bawa untuk mendukung idolanya.

Tawa mereka benar-benar mengganggu, apalagi segala aceccoris murahan yang mereka pakai memberi lebih banyak kesan bodoh pada mereka, rasanya aku ingin menghampiri mereka dan memberitahu bahwa saat aku seusia mereka yang aku lakukan jauh lebih berguna, yaitu membunuh orang.

Tapi, tatapanku tertegun saat melihat foto seseorang terpajang jelas di slogan yang mereka bawa, foto seorang pria yang tersenyum sangat lebar menunjukan barisan gigi-giginya yang rapih, bentuk wajahnya yang sedikit panjang dan ukiran hidungnya yang sempurna juga tatapan mata itu, tatapan mata yang selalu aku rindukan.

"yak, noona apa kau seorang Army?" gadis yang membawa slogan berbicara dan reflek mengundang semua teman-temannya menatapku, aku memberikan tatapan 'apa maksudmu?'

"Army, Army! Kau terus menatap wajah oppaku! Dasar Aneh." lanjutnya, teman-temannya tertawa dan aku bersyukur busku sudah datang membuatku tidak perlu terlibat percakapan dengan mereka.

Akhir-akhir ini aku terus melihat fotonya hampir di setiap sudut kota yang membuat kota ini menjadi terasa sangat sesak dan kecil, oh dan lihat aku melihat fotonya lagi sedang tersenyum bersama teman-temannya tertempel di balik tempat bersandar kursi bus, membuat dadaku berdenyut nyeri.

"mengapa kau masih bisa tersenyum, sementara aku tidak?"

Kill You | [J-Hope]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang