Chapter 6

39 3 5
                                    

All the tigers have been out
I don't care, I hear them howl
I let them tear right through me
Can you help me not to care?
Every breath becomes a prayer
Take this pain from me
.
.
.
***







A

ku berusaha tidak memperdulikan setiap mata yang menatapku. Hanya menatap lurus kedepan dengan pandangan kosong, itu akan membuatku merasa dalam batas aman. Tetap diam dan tak terlihat maka kau tak akan mejadi pusat perhatian. Dan aku lebih suka seperti itu.

"Jadi nona silahkan perkenalkan dirimu." Ujar seorang guru yang mengaku namanya adalah guru kim, inilah yang ku benci, menerima puluhan pasang mata menatapku ingin tahu. Mereka menatapku seolah aku ini sedikit berbeda dari mereka. Mungkin satu-satunya yang membuatku berbeda adalah karena sedari tadi aku tidak menyunggingkan senyum ramah atau apalah yang mengkonfirmasi bahwa aku ingin berteman dengan mereka, asal tau saja aku tidak pernah mau terlibat hubungan apapun meskipun itu pertemanan.

"Oh Hanseol." Ujarku singkat dengan wajah sedatar mungkin.

Hening.

Semuanya seolah menungguku mengatakan sesuatu, namun aku tidak berniat mendeskripsikan diriku lebih jauh, kecuali mereka ingin mendengar bahwa tadi pagi aku baru saja mencabut nyawa seseorang.

"Hanya itu saja?" Tanya guru kim lagi. Dia ingin memancingku ternyata, tapi sungguh aku tak ingin mencari gara-gara dengan siapapun dipagi yang sangat membosankan ini.

"Ya."

"Oh ayolah, ceritakan kau berasal dari mana? Atau apapun." Dia mencoba untuk menunjukkan sikap guru yang ramah rupanya. Mungkin beberapa murid akan sangat menyukai kepribadian guru seperti ini, tapi tidak denganku. Aku berusaha untuk tidak pernah memperhatikan sekitarku, aku berbeda dan aku suka itu. Setelah itu aku menjawabnya dengan sekali gelengan.

"Nona Oh kenapa kau begitu pendiam." Aku hanya menatapnya dengan pandangan kosong sambil berharap ini akan cepat berakhir, aku sudah tidak tahan dengan sikap guru kim dan tatapan berpuluh-puluh pasang mata yang tak bisa dijelaskan. "Umm, sekarang kau tinggal bersama siapa?"

Apa pedulimu. Ingin sekali aku menjawabnya seperti itu. Tapi aku harus tetap bersikap tak terlihat, jadi murid pendiam yang tak terlalu banyak berkomentar, seperti biasanya. Selama ini aku bisa melakukan hal itu dengan baik, jadi sekarang pun aku masih bisa. "Sendiri." Ucapku.

"Kau tinggal sendiri?" Tanyanya lagi, aku mengangguk.

"Memangnya dimana orang tuamu?" Pertanyaan yang selalu muncul setiap aku singgah di tempat yang baru. Dan bukankah aku sudah pernah bercerita kalau ada seseorang yang bertanya seperti itu, aku akan selalu menjawabnya dengan jawaban yang sama.

"sedang bernafas di suatu tempat di dunia ini" Dan saat itulah tatapan semua orang berubah terhadapku,termasuk guru kim yang sebelumnya terlihat sangat santai kini telah berubah menjadi canggung. Aku menebak-nebak apa yang mereka fikirkan setelah aku menjawab pertanyaan guru kim sedemikian rupa.

Hening. Mereka semua masih menatapku dengan tatapan berfariatif. Dan aku mencoba sangat keras untuk tidak peduli.

"Oh maaf, baiklah kau boleh duduk di bangku yang kosong." guru kim berhasil mengatasi rasa canggungnya dan mengejutkan lamunan semua orang. Aku melangkahkan kakiku menuju kursi yang ia maksud masih memasang muka datar, bahkan detik-detik sebelum aku dudukpun tatapan-tatapan itu masih mengikuti setiap gerakanku. Dasar manusia-manusia bodoh, cibirku dalam hati.

Guru kim mulai membicarakan kalkulus yang bahkan tidak aku mengerti, ku putuskan untuk mengabaikannya dan menatap keluar jendela sambil berharap waktu agar segera berlalu. Jika saja bukan karena menyembunyikan identitasku, aku tidak akan pernah mau menduduki bangku sekolah lagi. Aku sudah terlalu sering berganti sekolah, dan ini adalah bulan ke tiga aku tinggal di gwangju, hampir seluruh sekolah di kota kecil ini pernah aku singgahi, dan tidak ada yang istimewa dari semua itu.

Semua orang bersekolah agar mendapatkan pekerjaan yang bagus dan membeli rumah dikawasan elite, kemudian mereka akan menikah lalu melahirkan seorang anak yang akan disekolahkan untuk mendapatkan pekerjaan yang bagus, dan begitu seterusnya. Bagaimana bisa seseorang tahan dengan roda kehidupan yang sangat menjijikan itu? Tidak adakah orang lain yang menginginkan sesuatu yang berbeda.

Meski rasanya pelajaran guru kim tidak akan ada habisnya tapi pelajaran itu berakhir juga. Aku segera mengemasi semua bukuku dan memasukannya ke dalam tas kemudian pergi keluar. Di lorong para siswa membentuk kelompok-kelompok omong kosong dan sebagian berjalan saling berlawanan arah. Mereka semua berbicara menciptakan suara gaduh yang tidak jelas, itu semua membuatku pusing.

Tapi rasanya ada yang aneh tiba-tiba semua siswa berlarian menyusuri lorong seolah sedang terjadi simulasi bencana alam. Biasanya aku tidak peduli dengan kejadian di sekitarku, tapi berhubung sekarang adalah hari pertamaku sekolah maka kali ini aku biarkan diriku bergabung dengan kehidupan. Bukan apa-apa, ini adalah strategiku untuk bertahan hidup di hari pertama aku harus mengetahui segala yang ada disekolah agar di lain hari aku tidak terlihat bodoh karena ketidak tahuanku.

Jadi aku mengikuti kemana siswa-siswa itu berlari. Mereka berbelok ke koridor utara yang tadi kulewati ketika masuk kelas perdanaku. Dan mengikuti mereka masuk kedalam ruangan dimana hampir semua orang sudah berkumpul.

Yang kurasakan ketika melangkahkan kakiku melewati pintu itu adalah sesak. Bisa kau banyangkan hampir seluruh penghuni sekolah ada disini, seakan kami semua sedang berebut udara untuk bernafas. Dan menurutku itu adalah alternatif menakjubkan jika digunakan untuk pembunuhan.

Aku menyingkir dari kerumunan manusia tolol yang masih saja bergerombol walau keringat sebesar biji jagung sudah memenuhi dahi mereka. Mengasingkan diri di pojok ruangan, hanya mengamati aktivitas mereka dalam diam.

Aku melihat seorang wanita tambun yang kufikir berusia di akhir 50 tahunan berdiri di tengah aula, dan para siswa sudah mengelilinginya. Dia membawa pengeras suara seolah menunggu semua orang berhenti berbicara untuk memperhatikannya. Tetapi para siswa tidak bisa berhenti saling berbisik.

Aku menyandarkan tubuhku ke dinding dan mendengarkan wanita itu berbicara. Awalnya dia hanya bicara omong kosong dan aku hanya memperhatikannya sekali dua kali, sedang sisanya kuhabiskan dengan melamun. Tapi saat pembicaraannya mulai menjurus ke topik tentang kematian seorang siswa di sekolah ini, aku membiarkan diriku memperhatikan ucapan wanita itu dengan seksama. Wanita tambun itu menyebutkan satu nama yang kukira adalah siswa yang meninggal itu. Ryujin.

"Ryujin, aku pernah mendengar nama itu." Gumamku lalu menunduk sambil berfikir mencoba mengingat sesuatu tentang nama itu.

Tersenyum miring saat melihat ujung sepatuku yang kotor, aku ingat dimana aku mendapat kotoran itu. "Ah ya! Ryujin kau mengotori sepatuku.

Kill You | [J-Hope]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang