7; lha?

1.3K 219 265
                                    

Author's POV

Suasana hujan deras disertai angin yang cukup kencang mungkin membuat semua orang yang berada di luar ruangan ingin segera pergi ke dalam rumah masing-masing. Menghangatkan tubuh disertai segelas kopi hangat mungkin adalah kegiatan favorit bagi mereka. Begitu pula dengan Calum. Dia sedang berada di ruangan musik, memperhatikan hujan di balik jendela dengan seksama, sesekali menghembuskan napasnya pelan.

Tidak. Dia tidak hanya menghembuskan napasnya secara cuma-cuma. Terselip di tangannya sebuah benda terlarang ; rokok. Ya, rokok. Benda ini yang menemani hari-harinya, melewati suka maupun duka. Saat tidak ada seorang pun yang bisa menjadi tempatnya berbagi.

Dihisapnya dalam-dalam benda mematikan itu, lalu dihembuskannya ke udara. Dia tidak menghembuskannya tanpa arti. Dia menghembuskan setiap asap bersama bebannya. Saat asap itu hilang, penderitaannya juga hilang. Itu yang dia rasakan tiap hari. Dan ruang musik ini, menjadi saksi bahwa seorang Calum Hood bukan selamanya orang yang berkata manis tanpa beban, dia penuh penderitaan.

Tiba-tiba, pintu ruangan luas dengan berbagai alat musik di dalamnya ini berdecit, perlahan namun pasti, diikuti cahaya dari luar, terbuka sedikit. Seorang perempuan memasuki ruangan ini. Perempuan itu kemudian mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan. Setelah mencari, dia menemukan seseorang yang dia cari saat ini, Calum Hood.

"Calum," sapa gadis itu ramah, "Ternyata kebiasaan lo nggak berubah. Lo masih suka main di sini."

Calum dengan jengah menjetikkan rokoknya ke luar jendela, lalu berkata, "Mau apa lo ke sini?"

"Look for you, of course," jawab gadis itu, "How are you then? Long time no see even though we're in the same school. How lame."

"I am okay, always okay," jawab Calum seadanya. Kemudian sang gadis bergerak mendekatinya, dan Calum tidak membuat pergerakan apapun. Dia hanya diam. Menyaksikan sang gadis berambut pirang sepinggang ini berdiri di depannya. Sang gadis tersenyum. Kemudian dia berkata, "I miss you, Calum. Don't you miss me too?"

Calum terdiam. Pikiran dan hatinya mulai tak menentu. Dia hanya diam, menunduk. Meskipun ada asap yang mungkin bisa membuat pernapasan gadis di depannya ini tak nyaman, namun Calum masih belum mematikan rokoknya. Sang gadis juga diam. "I miss you, too." Calum menjawab dengan penuh perasaan. Tiba-tiba saja dia menyesal, tak tahu mengapa.

"Sejak kapan kita nggak ketemuan?" tanya gadis pirang itu.

Calum hanya diam. Menyesap rokoknya, lagi. Sang gadis kemudian tersenyum, "Oh iya. Ulang tahun ke tujuh belas gue. Saat lo menyatakan perasaan lo ke gue. Saat gue juga ingin menyampaikan perasaan gue yang sebenarnya. Tapi gue? Malah ciuman sama cowok lain."

"Sekarang lo baru merasa bersalah?" tanya Calum.

"Bukan cuman bersalah. Gue juga merasa kehilangan. Gue tahu gue kehilangan lo. Gue menyia-nyiakan lo. Lo yang selalu ada buat gue, yang sayang gue sepenuhnya," Sang gadis menatap ke arah jendela, "Jahat nggak sih kalau kayak gitu? Gue emang egois ya?"

"Lo nggak egois, Daisy."

"Jadi lo menganggap bukan gue yang salah karena lo punya perasaan ke gue? Tapi kenapa?" Gadis itu, Daisy, kemudian tertawa lepas. Calum menatapnya bingung.

"Jangan play-victim Dai, gue gak suka," Calum menatap Daisy tajam.

Daisy yang dipandang hanya tersenyum miris. Keduanya kemudian tenggelam pad pikiran masing-masing. Sebuah rasa gugup dan segala kegelisahan menghinggapi mereka berdua. Rasa yang dulu pernah ada, muncul lagi. Namun kali ini berbeda, rasa itu menimbulkan luka layaknya disayat menggunakan pisau tajam. Rasa yang pernah terjadi di antara mereka dua dikalahkan oleh ego masing-masing.

ethereal • cth ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang