19; bersama Calum

758 164 222
                                    

Hari-hari berlalu. Kepergian Luke memang masih membekas di benak siswa kelas IPA-1. Kita jadi sedikit...ya begitulah. Setiap terjadi percakapan, rasanya untuk membicarakan Luke sangat...susah. Saat guru-guru masih menyebutkan nama Luke saat absensi, kita menjadi diam. Sedikit sensitif. Setiap kali guru-guru menanyakan nomor absen 13 atau nomor absen Luke, kita tidak berani menjawab. Seakan membuka kembali luka lama. Tapi lama kelamaan, guru-guru paham. Membawa nama Luke hanya 'diperbolehkan' saat benar-benar terdesak, seperti menanyai tentang tugas yang mungkin tertinggal di loker/laci. Selebihnya, guru-guru 'tidak diperbolehkan'. Sebuah topik sensitif, kurasa.

Bagaimana denganku? Aku sekarang lebih sering masuk, diam, mengerjakan tugas, pulang. Seperti itu. Monoton memang, tapi rasanya lebih nyaman seperti itu. Aku sekarang duduk bersama Haidar. Eda, teman sebangku Haidar memaklumi hal itu. Terkadang, saat aku lupa, aku memanggil nama Haidar dengan nama Luke. Aku dan Haidar sangat jarang berbicara, kecuali kami mendapat tugas berpasangan. Hal itu sangat bertolak belakang denganku dan Luke. Bagaimana kami sering berbicara tentang apa saja, bahkan hal tidak penting. Apalagi di bangku belakang. Jadi saat aku benar-benar tidak mood, aku menyalakan musik dari ponsel dan memakai headset kemudian. Tidak mendengarkan guru-guru berbicara. Haidar kadang mengingatkanku untuk tidak melakukan hal itu. Katanya, sebentar lagi kita kelas 12. Kita harus sedikit serius.

Bagaimana dengan Ashton dan Lia? Ya, mereka masih bersama, maksudku, ya karena mereka berpacaran kan? Ashton dan Lia sering mengajakku hangout, atau sekedar makan di kantin bareng. Aku tidak menolak. Lagi pula, aku lebih sering bersama mereka daripada teman-teman yang lain. Ashton dan Lia juga sering main kerumah saat malam minggu. Biasanya Ashton bakal main sama Athlas, dan aku di kamar bersama Lia, berbicara tentang apapun. Mulai dari sekolah, tugas, atau kadang curhat masalah Ashton. "Ashton itu kadang ya anaknya cuek, tapi dia dicuekin gak mau," suatu hari Lia berkata. "Waktu itu juga kita udah marahan banget, bentak-bentakkan pokoknya, ya udah gue pasrah aja kalau misal kita putus," Lia hari itu juga berkata, lalu mendekap guling bersprei Cars-ku dengan erat, "Eh tapi dianya yang minta maaf ke gue. Lucu deh. Melas banget mukanya. Gue cium deh dia abis itu." Kalau kita ada waktu, setiap minggu kita pergi ke makamnya Luke. Kami mendoakan dia menurut kepercayaan kita masing-masing, dan membersihkan makam Luke.

Hari-hariku berjalan seperti itu. Dan nyatanya aku terjebak dalam masalah perasaan dengan satu manusia dan satu jasad yang tidak akan pernah kembali menjadi semula.

"Halo, bidadariku!" Aku dikejutkan oleh suara itu saat aku berjalan di koridor. Aku menoleh. Calum rupanya. Dia kemudian mensejajarkan langkahnya denganku sambil tersenyum riang. "Gimana kabarnya?"

"Kabar baik," ucapku. Dia kemudian berhenti di depanku. Sontak saja aku ikutan berhenti. Kemudian dia berkata sambil tersenyum, "Senyum dong. Nanti cantiknya hilang."

Aku tersenyum. Sebenarnya, tersenyum pahit.

"Hari ini pulang sama saya ya?" tanyanya.

"Kalau nggak mau gimana?" balasku.

"Ah, kamu ini. Babang-babang ojol itu belum tentu bisa dipercaya lo Eth," katanya, pura-pura berlagak layaknya orang paham, "Mending sama babang Calum aja! Yang teruji IPB dan ITB!"

"Emang kamu air minum?" Aku menaikkan satu alis. Dia masih mengikutiku, berjalan di sebelahku. "Tapi kan, yang penting nama saya mengalir di darah kamu. Hehehehehehehe."

Aku tersenyum kecil. Ya ampun, hatiku mulai lagi.

Untung nggak megap-megap.

"Ayo dong," katanya. Dia manyun. Dia memasang puppy eyesnya. Ye, kalo gini mana tahan? Jadi aku mengangguk pasrah, mengiyakan. "Iya deh, saya pulang sama kamu."

"Yes!" Dia tersenyum lalu menggandeng tanganku. Aku dengan cepat melepasnya, lalu bertanya, "Ngapain nih?"

"Anu, itu," katanya, "Biar kamu nggak kecantol sama orang lain, hehe. Makanya saya gandeng aja."

ethereal • cth ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang