1 . A - Emily

21.8K 929 52
                                    

Kaleng sodaku terjatuh di lantai yang kuyakini baru saja dipel. Aku seratus persen yakin siapapun yang melakukan pekerjaan ini akan berang setengah mati padaku. Tetapi aku harus menekankan kata berang untuk diriku sendiri karena sekarang orang-orang yang melewati selasar memperhatikanku. Mereka mengernyit ketika sepatu ketsku basah. Benar-benar basah dan akan menjadi lengket. Sialnya sepatuku berwarna putih dan sodaku berperisa raspberry.

Oh, bagus.

Mereka melemparkan tatapan geli dan kasihan karena wajahku seperti baru saja dilempari lelucon tak lucu. Dan lelucon ini memang sama sekali tak lucu.

"Sialan," cetus Hilda di sampingku. Ia mundur tepat waktu saat soda itu membentur lantai dan menumpahkan isinya seperti genangan air yang dilempar batu besar. Untungnya dia selamat.

Sementara rokku menjadi kemerahan. Sepatuku benar-benar merah. Wajahku memerah karena luar biasa marah.

"Sial. Sial. Aku tak bermaksud begitu," kata orang di belakangku, alasan seluruh kesialanku terjadi selama tiga hari ini. Suaranya sarat akan penyesalan. Ia mengerang dan memperhatikan kekacauan yang ia ciptakan, tapi itu tak cukup kuat untuk menekan keinginanku menamparnya. "Maaf, Em."

"Jason," desisku. "Enyahlah!" Aku menendang kaleng sodaku yang jatuh hingga menggelinding ke selokan samping selasar. Aku kembali melanjutkan langkahku dan kali ini lebih tergesa akibat kesal.

Seumur hidupku, aku mengharapkan seorang saudara yang mungkin seumuran denganku atau selisih sedikit denganku, yang paling penting tidak terpisah antar benua denganku, supaya aku bisa saling berbagi atau mungkin saling berdebat dan berakhir dengan tawa.

Abangku, Ryan, berselisih denganku sekurang-kurangnya empat belas tahun. Dia mungkin bersikap kurang lebih seperti ayahku karena dia jauh lebih tua, dia berada di benua yang berbeda denganku karena pekerjaan yang menuntutnya berada di sana. Mungkin karena Ryan selalu bertindak seperti ayah ketimbang kakak, membuatku ingin mempunyai saudara yang mendukungku untuk sedikit 'nakal'.

Aku menyadari bahwa aku akan menjadi anak tengah di antara sepupu-sepupuku yang berselisih jauh―mereka bahkan baru masuk SMP tahun ini. Aku tidak bisa lagi punya saudara kandung karena ibuku telah tiada sejak aku masih bayi. Tapi aku akan mencabut keinginanku yang satu itu jika aku bisa melakukannya bertahun-tahun lalu―sebelum Paman Tery mewujudkan keinginanku dan membawakan anak laki-laki seumuranku yang ternyata brengseknya setengah mati.

Dan selama tiga hari ini, anak laki-laki yang dibawa Paman Tery telah membuntutiku ke manapun.

Aku tak mengerti mengapa Jason memilih kuliah di sini atau bagaimana ia bisa diterima di sini karena aku cukup yakin ia punya kredibilitas sebagai pembuat onar sejak SMA. Yang satu itu tidak diragukan karena aku tahu persis bagaimana Paman Tery mendidiknya.

"Apa yang diinginkannya?" tanya Hilda yang telah menyusulku. Ia kini ikut berjalan cepat menyamai langkahku. "Aku bisa mengatakan dia hot. Tapi, astaga, haruskah ia membuat rokmu merah?" Hilda mengerling dan aku tahu kalimat itu akan disambung sesuatu yang tidak kuharapkan atau mungkin memang telah tersirat di dalamnya.

"Berhenti mengatakan dia hot," gerutuku. Kami memasuki gedung yang mayoritas diisi senior dan aku berharap Jason benar-benar berhenti membuntutiku. Aku mendorong pintu kaca dan membiarkan pintu terbuka untuk Hilda. "Dia sepupuku, oke?" kataku sambil memutar mata.

"Wow. Kau punya sepupu hot." Hilda tersenyum lebar dan aku bisa melihatnya tersipu. Astaga, aku tak mengira ada gadis yang tertarik dengan Jason.

"Dia junior. Sama sekali bukan tipemu."

Hilda mengerang bertepatan saat kami memasuki ruang kelas. "Kita bisa memperbaiki itu. Mungkin sekarang aku suka yang lebih muda."

FIGHT FORTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang