Jemariku tak mau menjauh dari bibir. Bibirku. Yang baru saja dilumat Jason Walsh―sepupuku. Dengan penuh gairah. Sebuah ciuman panas dan menggebu-gebu. Sialnya, aku menyukainya.
Aku sudah menduga jika Jason punya sepak terjang soal gadis-gadis. Aku yakin ia berpengalaman soal ini. Hanya saja... astaga, aku tak tahu jika dia pencium yang hebat. Aku tak bisa menghapus betapa nikmatnya ciuman itu. Betapa lembut dan kuatnya teknik berciumannya. Aku masih mengingat tekstur bibirnya. Cara jarinya mengusap bibirku yang basah karenanya.
Astaga, perutku melilit. Ada sesuatu yang berterbangan di sana. Rasanya seperti baru saja dikoyak tapi yang kuinginkan bukan muntah. Sebuah sensasi menyenangkan dan aku ingin mengulanginya. Lagi dan lagi.
Aku mengerjap dan kembali memfokuskan pandangan ke jalanan. Tanganku gelisah dan gemetaran di setir seolah aku sudah melewati batasku untuk tidak menghirup narkoba. Aku butuh narkoba sekarang juga. Dan Jason Walsh adalah narkobaku.
Aku memang pernah berkencan dengan beberapa pemuda saat aku SMA. Aku juga mengalami pencarian kepribadian ketika berada di asrama dulu. Aku membangkang peraturan berciuman. Aku melanggar jam malam untuk bercumbu dengan seseorang. Aku bahkan mendapat iming-iming malam kehilangan keperawanan terbaik. Tapi aku tak pernah merasa begitu terbakar hingga aku berharap Jason memerawaniku di lorong kampus.
"Sial," umpatku ketika kusadari aku bahkan melewati jalan masuk rumahku sendiri. Aku sudah lewat beberapa meter dan ini semakin konyol saja ketika aku bahkan melupakan rumahku sendiri.
"Bodoh." Aku menyumpahi diriku lagi. Aku memindah perseneling dan akhirnya memutuskan untuk parkir di tempat Callie. Dengan posisi mundur―yang mana tak pernah kulakukan sebelum hari paling aneh ini. Ayahku akan bertanya-tanya, tapi persetan.
Pintu rumah Callie terbuka lebar dan aku mendapati pemuda pirang gempal yang memandangku penuh penilaian. Ia memakai seragam SMA yang konyol dan aku bertanya-tanya apakah dia masih akan membanggakan sekolah mahalnya jika kukatakan seragamnya yang berwarna ungu itu konyol.
"Apa yang kau lakukan di sini, Emmy?!" teriak Corbin, putra Callie dari suaminya yang terdahulu.
Aku benci ketika seseorang memanggilku Emmy. Hanya abangku Ryan dan ayahku yang boleh memanggilku begitu. "Seragammu menggelikan, Corbin!" cecarku. Aku tak peduli tentang sikap sopan pada saudara tiri. Anak ini brengseknya setengah mati. "Ini Manhattan. Liberalis, demokratis. Kau bodoh kalau mau mematuhi peraturan seragam."
Corbin menatap seragamnya sendiri. Ia mengenakan sepatu kulit mengilap yang kuyakin akan ia pamerkan harganya karena ayahnya luar biasa kaya. Dan aku berhasil membuatnya tersinggung karena mengolok seragamnya. "Ungu adalah warna kesukaanku!"
"Hanya pria gay yang suka warna ungu!" teriakku.
Yang kudapati selanjutnya adalah pipi Corbin yang merona. Aku jelas membelalak, lebih terlihat marah―meski aku memang terkejut. Ya Ampun, saudara tiriku memang gay?! Aku selalu berangan bahwa Ryan itu gay karena dia tak pernah membawa wanita. Tapi setelah aku punya kakak ipar dan punya keponakan, aku tak siap dengan hantaman ini. Sebenarnya aku hanya asal bicara tadi.
"Aku... bukan gay!" bantah Corbin tak yakin. Ia menunjuk mobilku yang terparkir. "Kenapa kau parkir di sini?! Ini rumah ibuku."
Aku membanting pintuku dan menatapnya tajam. "Callie sekarang juga ibuku, Corbin. Berbagilah." Aku memutar langkah dan keluar dari halaman rumah Callie. Aku masih mendengar Corbin berteriak tapi kuabaikan. Aku berpapasan dengan Callie di beranda rumah ayahku.
Yah, begitulah jika kau menikah dengan tetanggamu.
"Ada apa?" tanya Callie yang selalu menyadari perubahan suasana hatiku. Ia melirik ke pintu rumahnya yang dibanting Corbin. Callie menghela napas. "Kenapa parkir di sana?"

KAMU SEDANG MEMBACA
FIGHT FOR
RomanceWELCOME PARTY - VOLUME #1 (SPIN OFF SURRENDER SERIES) √ Completed √ Menyetujui apapun rencana Jason Walsh adalah satu bencana bagi Emily Archer. Sebelumnya, Emily tak pernah menyadari pesona yang dimiliki cowok itu. Meski mereka tumbuh bersama, namu...