Suasananya menjadi sangat canggung saat kami berkendara menuju bandara. Aku bahkan tidak bisa menghentikan jemariku yang mengetuk cemas di atas setir. Keringat akibat kegugupanku sudah meleleh keluar. Astaga, tempat ini panas sekali. Begitupun dengan tatapan Emily di bagian belakang penumpang. Dia seperti berkeinginan menelanku.
Aku bertanya-tanya, apa yang sebenarnya terjadi. Emily menjadi panas, seksi, dan menggoda Jum'at lalu. Mendadak dia diam dan tak mengatakan apapun. Kemudian dia menjadi sangat marah dan melempar hidungku dengan kunci mobil.
Jika saja di dunia ini ada yang bisa menjelaskan mengapa gadis-gadis bersikap semena-mena.
"Mata ke depan, Jason," kecam Paman Will untuk ke sekian kalinya. Ia sudah memperingatkanku berkali-kali. Aku semakin cemas, tentu saja. Memangnya di dunia ini ada hal lain yang lebih mengintimidasi selain tatapan ayah Emily? Tatapan mengancam Paman Will bisa jadi akhir dari hidupmu. Ini tidak jauh berbeda daripada berkendara bersama macan. "Aku berencana ke bandara untuk bulan madu, untuk bersenang-senang. Aku dan Callie telah merencanakan liburan yang bagus ke negara tropis. Aku sama sekali tidak berencana berakhir ke UGD atau pindah ke peti mati. Jadi, fokuskan pandanganmu ke depan."
Aku kembali memfokuskan pandangan ke depan dan menyetir melewati jalanan akhir pekan yang padat. Aku ingin membenturkan mobil ini dan berteriak: Kenapa?! Kenapa, Emily?! Jelaskan padaku. Tentu saja tidak kulakukan. Menahan hasrat itu butuh usaha keras.
"Jason, tolong jaga Emily untuk kami, oke? Hanya dua minggu. Kau bisa menelepon jika sesuatu terjadi," kata Callie yang duduk di sebelah Emily. Aku menatapnya dari kaca, melirik Emily sekilas sebelum mengangguk dan tersenyum padanya.
Tapi sepertinya, ada yang tidak setuju dengan pemikiran bahwa aku sudah cukup dewasa untuk diberi tanggung jawab menjaga seseorang. "Aku dua puluh tahun, oke?" cecar Emily. "Aku bukan bayi. Aku juga bisa menelepon jika sesuatu terjadi."
Paman Will memutar tubuhnya untuk menatap Callie. "Aku tak percaya kau menitipkan Em padanya. Dia ini punya otak semesum Tery."
"Paman Will, aku hanya sembilan belas tahun," ujarku.
"Yah, sembilan belas tahun dan punya kejantanan," tukas Emily.
Aku melotot pada pantulan dirinya. Apakah dia benar-benar baru saja membahas itu? "Serius, Em, beritahu aku apa masalahnya? Aku memang punya kejantanan. Apa yang salah dari itu?"
"Itulah yang salah darimu!" sahut Emily. "Karena kau punya kejantanan!"
"Bukan salahku jika aku punya kejantanan atau vagina!" seruku. Aku berbelok ke jalan masuk bandara. Benar-benar berusaha keras tidak membanting setir.
"Apa-apaan―" Paman tercekat karena suara lantang Emily menyela.
"Jadi kenapa sekarang kita beralih ke vagina?!" seru Emily. "Kau ingin menyalahkanku karena aku punya kewanitaan?!"
Ya! Tentu saja. Bisa jadi itulah sebabnya gadis-gadis punya hormon keparat yang membuat mereka sulit ditebak. Meski begitu, aku tidak akan memperlihatkan betapa frustasinya diriku karena dirinya―gadis seperti dia. "Aku tidak bicara begitu! Kenapa kau membuat asumsimu sendiri?!"
"Karena hipotesaku benar! Nyaris sulit untuk disalahkan!"
"Hipotesa?! Orang gila mana yang masih menggunakan kata: hipotesa?!"
"Jadi kau sekarang menganggapku orang gila?!"
"Lihat! Kau membuat asumsi lagi!"
"Dan orang gila mana yang masih menggunakan kata: asumsi?!"
KAMU SEDANG MEMBACA
FIGHT FOR
RomanceWELCOME PARTY - VOLUME #1 (SPIN OFF SURRENDER SERIES) √ Completed √ Menyetujui apapun rencana Jason Walsh adalah satu bencana bagi Emily Archer. Sebelumnya, Emily tak pernah menyadari pesona yang dimiliki cowok itu. Meski mereka tumbuh bersama, namu...