RAINA - 1

112K 8.5K 467
                                    

Wanita di usia dua puluh enam tahun dan belum nikah? Maka pertanyaan yang sering mampir ke telinga adalah....

Kapan nikah?

Telingaku sudah tidak asing dengan pertanyaan itu, lebih tepatnya pertanyaan yang sering aku abaikan. Tidak peduli jika pertanyaan itu datangnya dari orang tua ataupun keluargaku yang lain. Yang jelas, dan entah kenapa aku masih betah hidup menyendiri seperti ini.

Aku sarjana Ilmu Administrasi, tapi enggan bekerja di perusahaan yang membutuhkan jasaku. Aku tidak nyaman dengan pekerjaan yang mengharuskanku memakai pakaian formal tiap harinya. Bahkan tawaran Ayah untuk bekerja di perusahaannya pun kutolak. Dan lebih memilih membuka usaha sendiri. Setahun yang lalu, aku dan sahabatku––Ghina, merintis restoran atau lebih cocok disebut kafe tempat orang-orang bersantai, yang sampai sekarang cukup banyak peminatnya. Laba yang didapat tiap bulan juga terus bertambah.

"Mbak, ada Mas Galih nyariin Mbak," kata salah satu karyawanku ketika aku mengontrol bagian kitchen.

"Suruh tunggu sebentar, Wi. Nanti aku temui," jawabku seraya mencuci tangan di wastafel.

Galih Prasetya Wijaya, dia adalah salah satu sahabat Raka saat SMA. Akhir-akhir ini, Galih memang gencar mendekatiku. Sering kali dia mengajakku untuk menikah dengan gaya bercandanya dia yang garing. Aku tahu jika ada maksud serius di balik ucapannya setiap kali mengajakku menikah. Walaupun dia menyampaikannya dengan to the point, tidak ada tuh kesan romantis seperti di drama Korea yang sering kutonton. Kunci dia itu cuma tiga kata,

Kita nikah, yuk?

Coba di mana kesan romantisnya?

Sebenarnya, aku hanya sebatas mengenal Galih saat SMA. Tidak sedekat sekarang. Kedekatan kami bermula saat dia pun menghadiri acara resepsi pernikahan Raka tiga tahun yang lalu. Ah, mengingat masa itu selalu membuat hatiku seperti teriris sembilu.

Aku menghampiri Galih yang duduk di pojok kafe sambil menikmati segelas jus melon. Jas Dokternya dia sampirkan di kepala kursi.

"Eh, calon Bidadari Surga gue," sapaan khas Galih padaku.

"Ngapain, sih?" tanyaku ketus, duduk di depannya sambil bersidekap.

"Menemui calon istri dong," jawabnya tertawa.

"In your dreams," sungutku.

"Semua bisa gue realisasikan," balasnya dengan percaya diri.

"Dan gue sama sekali gak berminat," ucapku final.

Galih menyeringai, lalu melipat kedua tangannya di atas meja dengan tatapan yang sejak tadi menghujamku. "Apa, sih, alasan lo nolak gue terus? Gue tuh mapan, pekerjaan gue jelas, wajah gue ganteng dan ada manis-manisnya."

Aku mendengkus keras. Galih memang senarsis itu. Jangan heran!

"Gue jamin semua kebutuhan lo baik kebutuhan fisik atau rohani pasti terpenuhi," kata Galih mengedipkan satu matanya. "Gue ini bibit unggul, kagak mungkin gagal deh sperma gue."

Manusia paling tidak waras yang kukenal.

Aku pikir hatiku sudah mati saat hari di mana Raka menikah. Rasanya sakit sekali, semua orang yang berada di posisiku pasti akan terluka dan sakit hati melihat pria yang dicintainya duduk di depan penghulu tapi bukan kita yang menjadi mempelai wanitanya. Beruntung kewarasanku masih seratus persen hingga bunuh diri karena cinta tidak ada dalam daftar hidupku.

"Eh, nikah sama lo itu ada di urutan terakhir daftar jodoh idaman gue," cetusku.

"Anjir! Nikah sama gue nggak bakal bikin hidup lo susah kali, lo mau gaya hidup kayak apa? Kaum sosialita? Persis artis-artis zaman now, yang bisa travelling pake Jet pribadi? Boleh. Lo tinggal bilang nominal uang bulanan yang lo mau?"

RAINA (Pindah Platform)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang