Kumpul keluarga di zaman sekarang mungkin akan sulit dilakukan, hampir semua orang--tidak semuanya tapi kebanyakan lebih mementingkan kesibukan sendiri daripada keluarga.
Berbeda dengan tradisi keluargaku, weekend adalah waktu yang wajib dihabiskan untuk keluarga, dari pagi sampai pagi lagi. Artinya 24 jam non-stop.
Bagi yang sudah memiliki pasangan dan juga anak, hal seperti ini tidak membosankan. Tapi bagi jomlo kesepian sepertiku, weekend adalah saat-saat menyebalkan. Karena aku harus alih profesi menjadi nanny ketiga keponakanku. Zio, Ara, dan Alcan.
Iri sebenarnya, kadang terlintas dalam benak, kapan aku seperti kedua kakakku yang sudah berkeluarga? Hidup rukun, kalaupun ada masalah pasti akan berakhir dengan damai.
"Kapan keluarga Galih datang ke sini dan secara resmi melamar kamu?"
Selalu seperti itu. Ini alasan kenapa aku tidak betah di rumah. Tuntutan Bunda yang benar-benar ingin aku abaikan. Memangnya kenapa wanita di usia dua puluh enam tahun belum nikah? Tidak ada larangannya bukan?
Aku menyesap jus jeruk dan mengabaikan kalimat Bunda. Kalau kujawab, mesti ribut nantinya.
"Raina?" tegur Bunda. "Jawab dong!"
"Jawaban seperti apa yang Bunda mau?" jawabku sesantai mungkin.
"Secepatnya kamu minta Galih datang ke sini bersama keluarganya." Nada suara Bunda benar-benar menjengkelkan.
"Bun!" pekikku menatap Bunda jengah. Ini sudah yang kesekian kalinya Bunda meminta hal yang sama tanpa merasa bosan. Dan aku capek. "Aku sama Galih udah sepakat belum mau ke jenjang yang lebih serius sebelum aku benar-benar cinta sama dia."
"Pernikahan gak butuh cinta, Rain. Tapi kecocokan."
Kali ini jawaban Bunda membuatku harus menggelengkan kepala berkali-kali. Tidak pernah kusangka, wanita terbaik dalam hidupku berujar hal yang demikian. Jika cinta bukan segalanya? Kenapa kedua kakakku menikah atas dasar cinta? Kenapa mereka keukeuh mengejar wanita yang mereka cintai jika menikah hanya bermodalkan kecocokan?
Kasih aku penjelasan, tolong!
"Oh, kecocokan ya, Bun? Kecocokan tanpa didasari dengan cinta juga ujung-ujungnya bakal kolaps. Bunda nikah sama Ayah karena saling cinta kan? Makanya Bun, aku pingin menikah atas dasar cinta bukan dengan cara menyakiti salah satu dari hati yang bakal hidup bersama nantinya."
"Coba lihat kedua iparmu, Rain. Mereka nikah di usia muda, tapi pernikahan mereka langgeng sampai sekarang."
Aku menatap kedua iparku bergantian. Mereka hanya diam dan duduk di samping suaminya masing-masing. Tidak ada satu pun dari kedua kakak laki-lakiku yang berani angkat bicara, pun dengan Ayah yang sejak tadi menyimak dengan serius.
Ayah tidak rewel seperti Bunda, tidak banyak menuntut. Hanya sesekali. Namun setelah kejadian Galih melamar ke rumah, Ayah menyerahkan semua keputusannya padaku. Tidak seperti Bunda yang justru gencar memintaku menikah dengan Galih.
"Itu karena mereka cinta sama pasangannya, begitu pun sebaliknya. Aku melihat Kak Arkan juga Kak Arsen mencurahkan cinta sepenuhnya walau dengan cara yang berbeda. Mereka ikhlas menjalankan pernikahan, sedangkan aku? Aku belum yakin sama hatiku, berani mengambil keputusan pun aku enggan sebelum hatiku sepenuhnya dimiliki Galih."
"Terus kapan kamu nikahnya?" Itu bukan pertanyaan melainkan paksaan. Aku tidak akan pernah mau dipaksa.
"Nanti, Bun. Kalau negara api belum menyerang," cetusku asal.
"Kamu selalu saja bercanda! Mau jadi perawan tua?"
Enough is enough.
Bunda keterlaluan!
KAMU SEDANG MEMBACA
RAINA (Pindah Platform)
ChickLit(Pindah ke Innovel dan Goodnovel dengan judul yang sama) Masih tentang Raina yang menunggu, menunggu kedatangan Raka, Raka yang dulu pergi tanpa kepastian, kepastian akan cinta yang berkembang, berkembang di antara mereka berdua. Orang bilang cinta...