Soal pesan dari Raka kemarin, aku sempat bimbang antara mengiyakan tawarannya atau menolak. Semalaman aku berpikir, saat tidak menemukan jawaban yang tepat aku memutuskan cerita sama Galih, dan menuruti ide kampretnya. Yakni menemui Raka dengan mengajak Galih.
Kebetulan arah apartemen Galih itu searah dengan kampus tempat mengajar Kak Arkan, jadi pagi ini aku diantar Kak Arkan untuk sampai ke apartemen Galih dan membangunkan si Biji Selasih yang pastinya masih sibuk bergelut dengan dunia mimpinya.
Ternyata salah, penampilan Galih sudah rapi. Sebelum berangkat kami terlibat obrolan, bukan obrolan santai karena setiap kali berbicara dengannya emosiku selalu naik tanpa diminta.
"Ngapain sih mau tinggal di apartemen? Lo masih punya rumah, Rain." Nada protes dilontarkan Galih saat aku memintanya untuk mencarikanku apartemen.
Hidup sendiri di apartemen sepertinya bukan hal yang sulit. Tidak akan ada lagi ocehan Bunda yang memintaku menikah. Hidupku akan damai sentosa.
"Terus lo? Lo kan tinggal di apartemen," balasku.
"Beda. Gue tinggal di apartemen biar lebih dekat sama rumah sakit," ujarnya penuh alibi.
"Alasan! Bilang aja biar bisa masukin cewek tiap waktu," tukasku bersidekap sambil tumpang kaki.
"Lo tuh kenapa nilai gue selalu dari hal jelek? Bagaimana hubungan kita bisa berhasil kalau lo aja gak pernah berpikir positif sama gue?"
"Gue berbicara fakta, Gal."
"Fakta itu terjadi sebelum gue cinta sama lo."
Iya, Galih bukan lelaki perfeksionis yang tidak pernah mempermainkan wanita. Wanitanya banyak hanya untuk menghangatkan ranjangnya. Dan akhir-akhir ini kebiasaan itu mulai dia tinggalkan sejalan dengan komitmen yang ingin dia jalankan bersamaku.
"Sesimpel itu? Kenyataannya kebiasaan seseorang bakal sulit ditinggalkan."
Galih menyeringai, "Kebiasaan seperti apa? Kebiasaan yang sulit melupakan masa lalu? Gue bukan lo, Rain. Gue bukan pemuja masa lalu."
Perkataannya menyinggung hati.
"Kok lo mojokin gue?"
"Dan gue juga berbicara fakta."
Aku benar-benar kalah berargumen dengannya. Lebih memilih tidak menanggapi dan mengalihkan perhatian dengan cara memainkan ponsel. Galih juga tidak lagi bersuara. Saat aku mengangkat pandangan, ternyata dia tertidur dalam posisi duduk.
Aku membiarkannya, mungkin dia kelelahan sehabis bekerja.
Beranjak dari duduk, aku melihat-lihat beberapa foto yang terpajang di dinding apartemen Galih. Kebanyakan foto keluarga. Galih ini empat bersaudara, kakaknya yang pertama laki-laki dan sudah menikah. Kakaknya yang kedua perempuan, sudah menikah juga. Dan adiknya laki-laki masih duduk di bangku kuliah.
Omong-omong, aku belum tahu perkembangan dari kasus ayahnya yang ditangkap polisi. Galih merahasiakannya. Eh, bukan merahasiakan, tapi aku yang enggan bertanya. Aku takut dia tersinggung.
"Lagi ngapain?"
Aku mengucap istighfar, suara itu tiba-tiba mengagetkanku. "Kasus Om Rahadi gimana?" pertanyaan itu terucap mulus dari bibirku.
"Papa terbukti melakukan penggelapan dana, berkas kasusnya sudah masuk ke pengadilan. Minggu depan sidang pertamanya," jawab Galih dengan muka bantalnya yang begitu kentara.
Pekerjaan ayah Galih adalah salah satu anggota dewan. Tidak heran jika anggota dewan rentan akan kasus korupsi, bahkan sampai menyeret nama-nama besar lainnya. Namun hebatnya Galih, dia tidak menunjukan tanda-tanda frustasi karena penangkapan ayahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
RAINA (Pindah Platform)
ChickLit(Pindah ke Innovel dan Goodnovel dengan judul yang sama) Masih tentang Raina yang menunggu, menunggu kedatangan Raka, Raka yang dulu pergi tanpa kepastian, kepastian akan cinta yang berkembang, berkembang di antara mereka berdua. Orang bilang cinta...