RAINA - 7

64K 6K 200
                                    

Fahmi menggelar pesta ulang tahun anaknya malam ini. Dia mengundang teman-temannya termasuk Galih. Aku menolak hadir, tapi Galih memaksaku untuk menemaninya. Dia bilang biar tidak ada yang bertanya Mana calon istrinya?

Padahal aku belum menerimanya sebagai calon suami. Hanya menerima kehadirannya, dan kalau memang hatiku menerimanya dengan baik bukan tidak mungkin aku akan menerima pinangannya.

"Gal, buruan dong!"

"Iya, Honey. Bentar lagi tinggal pake minyak rambut," teriak Galih dari kamarnya.

Aku menggeram kesal. Kembali ke ruang tamu apartemen Galih. Aneh, seharusnya Galih menjemputku bukan malah aku yang datang ke apartemennya. Untung aku datang, karena si Biji Selasih masih enak-enakan mendengkur keras di sofa.

"Lelet amat sih, kayak cewek!" sungutku saat Galih menghampiriku.

"Kan harus ganteng, apalagi mau jalan sama calon istri." Galih merapikan kerah kemeja yang dipakainya.

"Udah tahu punya janji, malah ngorok. Kalau bukan karena gak enak sama Fahmi, gue gak bakalan hadir." Aku mengeluarkan uneg-unegku saking kesalnya sama kelakuan Galih.

"Sorry. Gue ngantuk banget soalnya, abis balik dari rumah sakit langsung tidur."

"Whatever. Emang gue pikirin. Ayo berangkat!" ketusku berjalan mendahuluinya.

"Gandengan bisa kali," serunya di belakangku.

"Jangan harap!" sungutku tetap melangkah dan tidak mempedulikannya.

Rumah Fahmi sangat ramai, pesta ulang tahun digelar di halaman belakang rumah Fahmi yang cukup luas. Banyak anak-anak yang sudah berkumpul.

"Kita harus berjalan selayaknya pasangan," Galih membusungkan dadanya, tatapannya lurus ke depan. Sedangkan tangannya mengulur padaku.

Memutar bola mata, aku mengalungkan lenganku pada lengannya. Lantas berjalan beriringan.

Deg.

Sosok itu?

Hell, kenapa ada Raka di sini?

Duh, hati... Kuatkan imanmu. Jangan sampai tergoda. Ingat pengorbanan si Biji Selasih. Dan ingat rasa sakit yang Raka berikan untukmu.

Raka memperhatikanku secara intens. Tatapannya bertumpu pada lenganku yang merangkul lengan Galih dengan cukup erat. Menelan saliva, aku memalingkan wajah untuk menghindari kontak mata dengannya.

"Waduh, gandengan banget nih?" Dipo langsung menyuarakan pertanyaaan yang sayangnya gak berminat untuk kujawab.

Aku memilih acuh tak acuh.

"Jadi kapan nyebar undangan pernikahan?" tanya Anwar dengan santainya.

"Gue pinginnya secepatnya, tapi keputusannya gue serahin ke mempelai wanita."

Boleh jitak Galih? Selain tidak waras otaknya, mulutnya juga lemes.

Rasanya ingin cepat-cepat pulang, api aku harus memerankan peranku dengan baik. Walhasil, aku mengumbar senyum palsu.

"Doain aja," jawabku sekenanya.

"Duh, kok gue merasa suhu di ruangan ini meningkat ya? Tambah panas gini," ujar Erfan sambil menggerak-gerakan kerah T-shirt yang dipakainya.

"Perasaan biasa aja. Jakarta emang panas," balas Wisnu.

"Bukan. Gue merasa ada kebakaran di sini, sumpah gerah banget gue."

Bukan hanya aku yang tidak paham dengan ucapan Erfan. Tapi semua teman-temannya menaikan alis tinggi-tinggi hanya demi mencerna makna di balik kalimatnya.

RAINA (Pindah Platform)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang