Benar saja, besoknya kafeel menepati ucapannya. Ia benar-benar menjemput Chava, namun tidak keluar dari mobil. Chava yang merasa Kafeel begitu mengerikan, meruntuki keputusannya kemarin malam.
Chava memberanikan diri untuk masuk ke dalam mobil. Seketika Chava mual, mobil kafeel bau anyir seperti bau darah. Ia mencoba menyesuaikan dirinya dan menahan rasa mual.
Dalam perjalanan, kafeel tidak berbicara satu kata pun. Sementara chava sedari tadi menahan mulutnya agar tidak bertanya yang tidak-tidak. Namun sesekali ia mencuri-curi pandang ke arah kafeel.
Mobil kafeel masuk ke dalam perkampungan yang jauh dari kota, bisa dibilang dekat dengan hutan. Chava bingung harus bagaimana, haruskah ia tetap mengikuti kafeel? Pria itu sangat misterius dan selalu berpakaian hitam.
Tiba-tiba kafeel memegang tangan kanan Chava dan seketika mereka berdua berada di dalam sebuah rumah tua. Chava mengerjakan matanya berkali-kali. Bagaimana mungkin mereka di dalam sebuah rumah, sementara tadi mereka masih duduk di dalam mobil? Pikirnya. Ia menatap kafeel takut, ini tidak beres batinnya.
"siapa kamu sebenarnya?" Chava melirik kafeel takut.
Kafeel mengabaikan pertanyaan chava dan mengambil sebuah borgol berkarat dengan noda darah di rantainya. Chava menegang, takut jika kafeel melalukan hal-hal yang akan menyakitinya.
Tanpa memperdulikan raut wajah Chava yang ketakutan, kafeel menarik tangan chava kasar dan langsung memborgolnya.
"Kenapa kamu lakukan ini? Saya salah apa?" Chava menahan tangisnya.
Ia menunduk, takut menatap mata pria itu. Dengan gerakan santai, kafeel menarik pinggang chava hingga kedua badan mereka bersentuhan.
"Tatap aku!" ucap kafeel datar dengan kesan seperti ingin membunuh.
Dengan sedikit keberanian, chava mendongak. Menatap lensa mata kafeel yang berubah menjadi merah darah.
"Len lensa mm matamu?" tanya chava terbata-bata.
Kafeel hanya tersenyum miring dengan seringainya yang menakutkan. Ia mendekatkan wajahnya dan mengecup bibir chava.
"Sepertinya benar kalau kamu pengantinku." kafeel menatap mata chava.
Tangannya terangkat, menyingkirkan rambut yang menutupi wajah cantik chava. Perlahan ia menjilati telinga chava, membuat sang empu menegang.
"Rasanya benar-benar lezat, sayang sekali aku tak bisa memakanmu." ucapan kafeel seketika membuat chava melemas.
Kafeel benar-benar tidak bisa membuatnya berucap, bahkan bernafas pun susah. Chava membelalakkan matanya saat kembali melihat bercak darah dari perut kafeel. Bedanya kemarin ia melihat di lengan dan di bahu. Dengan borgol yang mengikat tangannya, chava berusaha mengangkat baju kafeel. Sementara kafeel hanya mengangkat salah satu alisnya menunggu apa yang akan dilakukan chava selanjutnya.
Mengerikan bagi chava, ia melihat cakaran hewan di perut bagian hati. Bukan itu saja, bahkan hampir seluruh badan terdapat luka. Chava tidak memperhatikan mata kafeel yang berubah menjadi hijau. Ia masih sibuk memperhatikan bagaimana parahnya luka-luka itu.
"Apa anda tidak merasa kesakitan? Ini benar-benar parah." ucap chava khawatir. Ya, khawatir sebagai seorang dokter.
Kafeel tersenyum miring, lalu menunduk. Mensejajarkan wajahnya dengan chava.
"Jika iya, maka apa yang akan kamu lakukan?" tanyanya menyeringai.
Tak sadar dengan seringai kafeel, chava mengangguk mantap.
"Maka saya akan mengobati anda, karena itu adalah kewajiban seorang dokter." chava tersenyum tanpa ada paksaan.
Kafeel terdiam, terpesona dengan senyum manis chava. Baru kali ini chava tersenyum saat bersamanya. Tangannya terulur mengusap lembut pipi chava.
"Mari kita lakukan ritual menikah." ucapan kafeel membuat chava teringat tujuan utama kafeel.
Chava mundur beberapa langkah, memberi jarak antara dia dan kafeel. Tubuhnya bergetar, ia tidak ingin menikah dengan pria misterius seperti kafeel. Tapi mengingat berbagai teror dan ancaman dari kafeel membuat nyalinya menciut.
Tanpa menunggu persetujuan dari chava, kafeel menarik tangan chava kasar dan memasuki sebuah ruangan. Chava menangis diam-diam, ini tidak adil baginya. Dia tidak melakukan kesalahan apapun pada kafeel, kenapa ia mendapatkan hukuman seperti ini? Pikirnya. Melihat air mata chava membuat rahang kafeel mengeras. Ia tidak suka tangisan, ia benci hal itu.
"Jangan menangis!" bentak kafeel membuat chava terlonjak kaget. Detak jantungnya terpacu cepat, tangan-tangannya memutih dan dingin.
"Ayo kita lakukan!" kafeel mengambil pisau dan menyayat telapak tangannya sendiri.
Ia meremas tangan yang tersayat membuat darah mengucur lebih banyak. Darah-darah itu ditompang di gelas. Chava hanya bergidik ngeri melihat kelakuan kafeel yang bisa dibilang tidak waras. Melihat darah cukup banyak, kafeel membalut telapak tangannya dengan kain putih, lalu menarik tangan kiri chava.
"Apa yang ingin kamu lakukan?! Jangan!" chava menarik tangannya dari genggaman kafeel, namun tenaga kafeel terlalu kuat untuk wanita seperti chava.
Chava menutup matanya rapat-rapat, tidak ingin melihat telapak tangannya disayat. Chava meringis saat tangannya diremas oleh kafeel dan darahnya mengucur di gelas kosong. Kafeel yang melihat chava begitu pasrah hanya tersenyum miring.
"Tenang saja, setelah ini tidak akan terasa sakit." kata kafeel sambil membalut telapak tangan chava dengan kain putih yang sama sepertinya.
Chava melirik sinis kearah kafeel. Ia benar-benar membenci pria yang ada didepannya saat ini.
"Kamu psikopat!" chava menekankan pada kata 'psikopat'.
Kafeel hanya tertawa membuat chava semakin menaruh rasa benci dalam dirinya.
"Bahkan aku lebih dari psikopat." ucap kafeel sambil meneguk darah chava yang ada digelas.
Chava membelalakkan matanya tidak percaya. Apa ini? Kafeel meminum darahnya tanpa rasa mual sedikit pun? Batinnya jijik.
"Minum ini!" perintah kafeel sambil menyodorkan gelas berisi darahnya sendiri.
Chava menggeleng tegas.
"Kita tidak tau apakah darah kita sama atau tidak. Jika tidak sama maka darah akan memberikan penolakan dan itu akan berakibat fatal pada tubuh kita." ucap chava panjang lebar. Pengetahuannya sebagai dokter sangat luas.
"Tenang saja, darah kita akan selalu cocok." kafeel menarik tangan chava dan memaksa chava untuk meminum darahnya.
Chava meronta namun tenaga kafeel benar-benar kuat.
"Kumohon jangan! Aku tidak suka darah." chava menangis, merasa takut sekaligus jijik.
"Kamu seorang dokter, mana mungkin tidak suka darah?" tanya kafeel menyeringai.
Chava menahan nafas dan membungkam mulutnya rapat-rapat. Kafeel benar-benar gila batinnya. Namun bukan kafeel jika tidak bisa memaksa chava untuk meminum darahnya.
"Kamu gila! Ritual menikah macam apa ini?! Kamu manusia aneh!" chava mengeluarkan semua kata yang ia tahan. Deru nafasnya tidak teratur. Perutnya mual karena sudah meminum darah kafeel. Dipaksa lebih tepatnya.
"Jangan samakan aku dengan manusia! Mereka berbeda denganku dan aku lebih baik daripada mereka." ucap kafeel dengan mata nyala merah darah.
Chava melangkah mundur, takut dengan tatapan membunuh dari kafeel.
"Beginilah cara kaumku menikah. Darahmu dan darahku sudah bercampur dan kamu sekarang sepenuhnya milikku."
Hai kafeel dan chava come back!!
KAMU SEDANG MEMBACA
My Man is Dangerous
RomansaAbigail Chavali, dokter muda yang cantik dan manis. Kehidupannya baik-baik saja sebelum adanya kehadiran pasien yang baginya seperti orang gila. Pasien yang memaksanya untuk menjadi istrinya dengan ancaman akan memperkosanya. Awalnya ia mengabaikan...