Wulan mengambil pigura di atas meja belajarnya. Ia pegang erat. Di dalamnya ada foto yang tidak pernah bisa ia lupakan. Ia pandangi foto itu lama sekali. Khawatir hal yang menjadi kenangan terakhirnya itu akan lenyap juga. Matanya berkaca-kaca, padahal ia selalu melakukan hal ini setiap hari. Rutinitas sebelum berangkat sekolah. Pagi ini pun begitu. Hari benar masih pagi, dan itu membuat kenangan di dalam hatinya berdegup keras.
Wulan menghapus sebulir air mata yang hampir saja jatuh. Dia bercermin sebentar. Mencoba mengatur napasnya, perlahan dadanya tak lagi sesak. Aku Wulan yang ceria. Dia pun tersenyum di depan cermin, mengikat rambut panjangnya yang hitam. Saatnya kembali sekolah. Wulan mengambil bekal yang telah disiapkan neneknya, memakan roti bakar yang juga telah siap di atas meja.
"Ma, Pa, Wulan sekolah dulu ya," Wulan memandang dua foto besar yang terletak di ruang tamu sebelum keluar rumah, memberikan senyumannya yang termanis, ia seolah ingin menyampaikan bahwa dirinya selalu bahagia, ia ingin menunjukkan bahwa dirinya baik-baik saja dan dia adalah anak yang kuat. Wulan melangkahkan kaki, pergi sekolah. Dan di belakangnya, seorang wanita yang sudah cukup tua berdiri sambil mengusap air mata yang mengalir tak terbendung. Pemandangan setiap pagi selalu membuat hatinya terharu. Melihat Wulan setiap pagi memandang foto kedua orang tuanya membuat wanita itu semakin menyayangi Wulan. Dia Nenek Wulan. Sri namanya.
Wulan tidak perlu bersepeda untuk sampai sekolah, jarak rumahnya tidak terlalu jauh dari sekolah, selain itu, dia lebih nyaman berjalan kaki, karena di seberang jalan gadis seumurannya selalu menunggunya. Dessy, sahabat Wulan yang terdekat, yang terkocak, yang tersayang, yang
"Kamu baik?" Dessy lagi, yang selalu menanyakan kabarnya. Dia yang terbaik. Bersamanya, dia merasa cukup bahagia.
"Iya, aku selalu baik, Dessy sayang" Ujar Wulan. Tersenyum sambil memiringkan kepalanya.
"Gak usah sok manis, pakek miring-miringin kepala," Dessy menyenggol bahu Wulan dan membuat keduanya tertawa lepas. "Hari ini masih nangis?" Dessy kembali bertanya.
"Hmz, gak nangis kok, Cuma netes satu di mata sebelah kanan." Jelas Wulan.
"Gimana si Roy, masih suka ngikutin kamu sepulang sekolah?" Dessy memang selalu punya banyak persediaan pertanyaan dan Wulan harus, wajib, gak boleh nggak harus bisa jawab pertanyaan-pertanyaan itu.
"Masih, dan bakal selalu,.." Wulan menunduk. Seulas senyum terukir di wajahnya. Sekilas saja sampai Dessy yang di dekatnya pun tidak menyadari itu.
"Selalu,...?"
"Ah,.. nggak, maksudku Roy itu nyebelin, sok ganteng, sok perhatian, selalu bikin aku jengkel, pokoknya setiap ketemu dia, aku pengen nonjokin dia, bikin dia mampus kalau bisa sekalian aja dia sampai akhirat duluan." Wulan mengepalkan genggamannya, menampakkan bahwa dirinya sedang sangat marah.
"Oh, segitunya ya... Awas jadi sayang loh" Dessy mengedipkan sebelah matanya.
"Kok, malah dukung?" Wulan gugup.
Sambil melihat lurus ke depan dan tersenyum misterius Dessy berkata "Terkadang, kita gak sadar kalau kita gak sadar. Hidup kita terkadang tidak untuk mengatakan yang sebenarnya, meski mengatakan aku cinta dia adalah pilihan yang lebih mudah dan tidak merumitkan, tapi kita lebih memilih untuk menghindar. Kenapa? karena diperjuangkan itu cukup menyenangkan"
Hening.
Keduanya berjalan tanpa percakapan.
"Kamu memang selalu bisa, Des." Ucap Wulan tiba-tiba.
"Hahahahaha, apa sih? Aku cuma iseng kok. Ah, jangan serius-serius gitu lah, gerah nih. Ketawa yuk.." Dessy tertawa keras sekali.
"Dasar ketawa setan!" Wulan menghela napas. Tapi, Dessy selalu begitu, di sela-sela obrolan dia pasti menyelipkan kalimat yang bagus. Bijak. Dan dia mengatakannya tanpa lelucon. Meski selalu berakhir dengan Dessy yang terlihat bercanda dengan ucapannya, Wulan selalu mempercayai perkataan teman karibnya ini. Dessy bersungguh-sungguh mengucapkannya! Itu yang terdetak di hati Wulan.
Mereka berjalan sangat pelan. Sekarang hari Senin. Hari pelaksanaan upacara selalu panas dan itu menyebalkan. Tapi, mengobrol dan bercanda saat pergi sekolah selalu menyenangkan. Mereka seperti memiliki waktu untuk
ini waktu kita berdua, gak boleh ada yang ganggu, bahkan kalau harus kiamat, mohon ditunda dulu.
"Syukur ya, kita gak punya cowok, alhamdulillah banget gak ada yang gangguin!" Kata Dessy.
Senin kali ini sepertinya menjadi hari Senin yang sangat berbeda. Ketika Dessy dan Wulan sedang asik mengobrol, tiba-tiba saja tubuh seseorang terlempar dari gang dekat sekolah.
"Bruk!" Tubuh itu jatuh tepat di trotoar jalan, di depan Wulan dan Dessy. Dessy berteriak seketika. Wulan diam. Terkejut dan penasaran. Tubuh cowok yang cukup ia kenal terdudud Di depannya. Roy. Bibir Roy koyak dan berdarah. Bajunya lusuh. Roy terlihat kesakitan.
"Kamu,-" Baru saja Wulan mau menanyakan keadaannya, cowok lain tiba-tiba datang sambil berteriak.
"Bangsat! Pengecut! Bodoh!" Cowok itu menghampiri Roy dan bersiap menghajarnya lagi, tapi Roy bukanlah cowok yang akan menyerah hanya karena satu kali terpukul dan jatuh. Roy sudah sering terpukul dan dia juga sudah berkali-kali jatuh dalam kehidupannya. Roy mampu bangkit dan dia bisa. Roy mengerjapkan matanya kemudian terkesiap menyadari seseorang yang sedang memperhatikannya dari dekat. Wulan terlihat cemas. Roy ingin tersenyum dan menyapanya dengan ramah, tapi ia tidak bisa. Roy memperlihatkan sifat acuh dan ekspresinya kini terlihat lebih ganas dari sebelumnya. Ia mendorong pelan bahu Wulan. Roy berdiri dan dengan sigap menangkap kerah baju cowok di depannya. Sahabat kecilnya. Rendy.
"Aku tidak peduli jika aku bangsat, pengecut dan apalah. Yang aku tahu, aku menyesal pernah memiliki teman SAMPAH seperti kamu."
"Mau kamu apa, Roy!" Rendy melepas cengkraman Roy dan melayangkan pukulan ke perut Roy. Roy meringis dan balik memukul wajah Rendy lebih keras. Darah segar mengalir dari hidung Rendy. Roy tersenyum dan kembali memukul Rendy sebelum ia sempat menyeimbangkan tubuhnya.
BRAKKK!
Rendy terkapar. Roy sudah berada di atasnya. Menduduki perut Rendy dan membuatnya terbatuk. Tidak puas dengan itu. Roy kembali memukuli wajah Rendy namun pukulannya kali ini tidak sekuat sebelumnya. Semakin banyak Roy memukul semakin lemah pukulannya. Wulan melihat semua kejadian ini, Dessy terduduk lemas di belakang Wulan, ia tidak pernah suka dengan kekerasan. Tidak pernah. Wulan berbeda, dia memandang lekat setiap gerakan. Tidak ada sedikitpun yang terlewatkan. Dan saat ini, Wulan melihat Roy yang lain. Roy menangis sambil memukul wajah Rendy dengan pukulan yang sama sekali tidak berarti.
"Kenapa?" Roy menangis. Air matanya mengalir.
Kita memang tidak harus selalu memikirkan masa lalu. Tapi, bukankah kita harus memahami masa lalu kita sendiri? Agar kita bisa berdamai dengan kehidupan kita saat ini dan juga nanti.
Bella datang kemudian.
![](https://img.wattpad.com/cover/133278832-288-k783546.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Favorite Girl
Fiksi RemajaMendapatkanmu memang tidak mudah. Tapi bagiku ini kesempatan, untuk menunjukkan bahwa aku mencintaimu sepenuhnya. Mungkin saja, kamu juga tidak ingin aku cepat menyerah. Benar kan? Ngaku aja deh... Menyatakan 'Aku Suka Kamu' tidak akan membuat dirik...