Dan sekarang...
Aku berakhir di sini. Di bawah pohon rindang. Duduk di kursi panjang milik penjual es buah. Aku masih tidak percaya hal ini. Tepat di sampingku, Wulan membersihkan luka di wajahku. Lalu datang Dessy membawakan air mineral. Wulan menerimanya dan memberikannya padaku. Aku membuka tutup botol, aku sungguh masih belum percaya sedang duduk sedekat ini dengan Wulan."Dessy,... kamu duluan aja ya ke sekolah" Wulan meminta
"Terus, kamu?" Dessy mencari alasan untuk tetap tinggal. Dia penasaran, sangat penasaran. Tumben saja seorang Wulan tiba-tiba baik ke Roy. Wulan segera mendekati Dessy dan mengetuk tiga kali kepalanya
"Dessy, nanti semua pertanyaan kamu pasti aku jawab, semua yang aku lakuin bareng Roy begitu kamu pergi ke sekolah, bakal aku ceritain, sepakat?"
Dessy seketika tersenyum lebar dan mengangkat sebelah alis "Wulan yang begini nih... aku suka, suka banget... love you, Wulan"
"Uh,.." mendengar kalimat 'love you' dari Dessy membangunkan bulu kuduk Wulan. Merinding. Ia segera memelototi Dessy yang tak kunjung pergi.
"Sakinah Mawaddah wa Rohmah untuk kalian berdua" Dessy masih sempat menggoda Wulan.
Wulan menghela napas lega. Ia kembali duduk di sampingku. Aku gugup, tapi dengan bodohnya tiba-tiba aku bertanya "Kalau aku aminin ucapan Dessy, boleh gak?"
Wulan menatapku. Hening sejenak. lalu "Ogah!!! Paham?"
Aku diam. Penolakan kali ini, rasanya berbeda. Hatiku benar-benar sakit. Apa karena pertengkaranku dengan Rendy? Aku menggelengkan kepala.
"Sakit?" Wulan memandangku dengan sangat cemas. Ia mengambil sapu tangan dan membersihkan luka di wajahku. Dia dekat sekali dan jantungku sungguh tidak mau melambatkan tempo. Apa jatuh cinta selalu seperti ini? Aku tidak menjawab pertanyaan Wulan. Meski di sekeliling ramai oleh orang-orang, berdua dengan Wulan mampu membuatku merasa berada di dimensi lain. tempat yang cukup nyaman untuk kunikmati berdua saja.
"Roy, pergi yuk?" Wulan berdiri dan mengambil tas sekolahnya. Aku belum mau pergi. Lantas, aku mempertaruhkan segalanya. Aku tarik tangan Wulan. Dia terkejut. Menatapku tanpa kedip. Aku segera mengalihkan pandangan
"ah, Maaf... jangan pergi dulu!"
Wulan tidak marah. Aku beruntung. Dia kembali duduk dan bertanya "kenapa aku tidak boleh pergi?"
"Begini, kita kan sudah duduk di kursi panjang milik penjual es buah..." aku mencoba berpikir untuk mendapatkan alasan yang cukup masuk akal "sebagai ucapan terima kasih, setidaknya kita beli es buahnya." Aku menghela napas. Berhasil membuat alasan.
Tapi Wulan ternyata cukup tangguh, ia bertanya lagi "Kenapa harus begitu?"
"Ha? Kenapa harus begitu?" Aku bingung, apa untuk berterima kasih memerlukan penjelasan sedetail itu? aku berpikir lagi dan menemukan jawaban yang cukup menarik "kamu tanya kenapa? karena sebagai terpelajar, kita harus paham benar cara berbalas budi"
Wulan tersenyum "Oke... tapi, tanganku boleh kamu lepas kan? aku gak mau ada yang salah paham karena ini" Wajahku seketika memanas. Malu karena berani memegang tangan Wulan sembarangan. Aku memesan es buah untuk dua orang. Sudah pukul tujuh lewat. Gerbang sekolah pasti sudah ditutup. Tapi Wulan terlihat tenang. Tak ada kecemasan sama sekali di wajahnya. Aku membawakan es buah untuknya. Ia mengambilnya dan menatap serius es buahnya.
"Kamu gak papa bolos?" aku penasaran. Setahuku, dia selalu masuk kelas dan selalu izin tiap kali berhalangan hadir.
"Kan ada kamu?" Jawab Wulan. Singkat, namun membuatku terdiam seketika. Ia melanjutkan "yang ajak aku diam di sini lebih lama kan kamu, berarti kamu siap tanggung jawab kalau ada apa apa sama sekolahku."
"Kalau gitu tiap hari aja kita gini. Aku siap tanggung jawab asal bisa sama kamu." Aku bahagia sekali. Diterbangkan tinggi sekali
"Tapi aku tidak mau." dan kali ini aku dijatuhkan lagi.
Maka, di hari Senin ini, aku dan Wulan bolos sekolah. Setelah menghabiskan es buah kita, aku mengajak Wulan pergi. Dia tersenyum padaku. Kali ini bukan senyum formalitas, bukan senyum sinis, aku tahu itu senyum tulus.
Wulan berjalan pelan bersamaku. Apa ini kencan? aku sangat bahagia hari ini. Wulan tidak berbicara sama sekali. Tiba-tiba ia mengambil tanganku. Ia memeluk lenganku. Jantungku berdebar lagi. Wulan menenggelamkan wajahnya di lenganku. Aneh. beberapa detik kemudian, dia jatuh, lemas, tak sadarkan diri.
Aku tidak tahu. Reflek segera kubopong tubuhnya. Aku tidak tahu lagi. Seseorang memberiku tumpangan dan membawaku dan Wulan ke Puskesmas terdekat.
Aku takut. Bingung. Sesak. Sekelebat wajah muncul tiba-tiba. Aku sangat mengenalnya. Wajah itu.
Intan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Favorite Girl
Fiksi RemajaMendapatkanmu memang tidak mudah. Tapi bagiku ini kesempatan, untuk menunjukkan bahwa aku mencintaimu sepenuhnya. Mungkin saja, kamu juga tidak ingin aku cepat menyerah. Benar kan? Ngaku aja deh... Menyatakan 'Aku Suka Kamu' tidak akan membuat dirik...