***
Sudah enam hari lamanya aku mendekam di ruang rawat ini. Luka di perut yang dulu sempat memburuk akibat kegilaanku memberontak kini sudah mulai mengering.
Sudah banyak kejadian menyakitkan yang aku alami selama berbaring di sini. Mulai dari tuduhan tidak beralasan Arkan tentang perselingkuhan, pengakuan yang membuat ayahku marah dan sifat Arkan yang selalu berhasil membuatku semakin membencinya.
Sejak kejadian ayahku marah karena pengakuan bohong saat itu, ayahku tidak pernah lagi datang menjenguk. Bahkan beliau juga melarang ibuku untuk menemuiku. Hanya ada ibu mertuaku saja yang senantiasa menjaga karena permintaan dari ibuku. Meskipun beliau tidak bisa menjagaku, tetapi setiap hari ibuku selalu mencuri waktu untuk video call atau sekedar menelpon menanyakan keadaanku. Sedangkan Arkan? Sejak kejadian hari itu dia tidak pernah datang lagi. Setiap ibunya bertanya, alasannya pasti karena ada pekerjaan kantor yang sedang menggunung dan aku tau itu hanyalah kebohongan semata.
Aku beberapa kali mengeluh bosan berada di dalam ruangan ini. Apalagi saat aku sudah mulai sanggup berjalan walaupun masih sedikit tertatih. Ingin rasanya aku menghirup udara segar di luar selain menghirup bau obat-obatan di dalam ruangan ini.
Tidak lama setelah itu, seorang perawat masuk ke dalam ruang rawat ku.
"Selamat pagi, Ibu Asha. Saya ingin memberitahukan kabar dari dokter Karina bahwa jahitan Ibu akan dibuka siang nanti saat beliau tiba di rumah sakit." Jelasnya dengan senyuman ramah.
"Baiklah." Balasku.
"Kalau begitu, saya permisi. Selamat beristirahat kembali." Ucapnya lalu berbalik arah.
Sejenak aku berpikir untuk menanyakan sesuatu kepada perawat itu yang mungkin boleh aku lakukan.
"Sebentar, saya ingin bertanya." Cegat ku sebelum perawat itu memegang gagang pintu.
"Ada yang bisa saya bantu, bu?" Tanyanya sambil mendekati ranjang ku.
Aku berdehem sebentar untuk mengatur nada suaraku.
"Begini, saya merasa bosan jika harus selalu berada di dalam ruangan dan berbaring sepanjang hari. Keluarga saya juga belum ada yang datang. Boleh tidak kalau saya keluar ke taman rumah sakit? Hanya untuk mencari udara segar saja." Tanyaku pada perawat tersebut.
Perawat itu tampak berpikir sebelum akhirnya menjawab.
"Saya akan coba menghubungi dokter Karina terlebih dulu untuk menanyakan boleh tidaknya Ibu keluar. Sebentar ya, Bu. Nanti saya akan kembali lagi ke sini." Ucap perawat tersebut yang ku balas dengan anggukan saja.
Tidak lama setelah itu, perawat tersebut kembali masuk sambil membawa sebuah kursi roda yang artinya aku di izinkan untuk keluar meski masih harus duduk di kursi roda tersebut.
"Permisi, Ibu Asha. dokter Karina mengizinkannya, tetapi Ibu masih harus menggunakan kursi roda untuk memastikan tidak terjadi sesuatu dengan luka Ibu. Saya akan mengantarkan Ibu sampai ke taman. Kalau Ibu ingin sendiri, Ibu bisa menelepon saya saja untuk menjemput Ibu kembali." Jelas perawat itu ramah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menelusuri hati
RomanceKisah seorang perempuan yang mencoba menerima takdir. Meski kehidupan setelah pernikahannya tidak sebaik yang dia harapkan, namun keyakinan untuk bertahan selalu di sematkannya. Sifat dingin tak tersentuh sang suami tidak membuatnya menyerah. Hingga...