***
Sudah dua hari aku berada di dalam kamar ini tanpa sekalipun beranjak ke luar. Selama dua hari ini pula aku menjadi nyonya besar yang semua keperluannya dilayani oleh para pengurus rumah. Ibu mertuaku senantiasa menjaga dan memperhatikanku, baik untuk kesembuhan ku atau jauh dari keributan dengan Arkan.
Sejak adegan pelukan paksa yang di lakukan olehnya tempo hari, lelaki yang masih menjadi suamiku itu hilang tanpa kabar berita. Saat aku bertanya pada ibunya, ibu mertuaku tersebut hanya mengatakan jika Arkan sedang berada di Bali untuk mengurus keperluan kantornya.
ddrrt drrtt.
Kepalaku langsung menoleh ke arah samping kanan ranjang yang terdapat meja tempat benda itu bergetar. Sudah lama rasanya aku tidak mendengar getaran dari benda canggih itu sejak pulang dari rumah sakit.
Dengan perlahan aku turun dan mengambil benda pipih yang berbentuk persegi panjang tersebut dan melihat nama si penelpon.
Bang Dino is calling...
"Apa Bang Dino benar-benar akan datang ke sini?" Gumamku dengan keringat sudah mulai mengucur di sekitar wajah.
Perutku mendadak terasa melilit saat memikirkan jika kakakku tersebut benar-benar akan datang ke rumah Arkan. Apalagi jika dia membawa serta kedua orang tua kami. Aku pastikan riwayatku akan tamat karena ulah emosi sesaat waktu itu.
Dengan helaan napas pasrah aku pun mengangkat panggilan tersebut.
"Assalamualaikum, Bang Dino." Salam ku yang kini sudah ketakutan.
"Waalaikumsalam. Satu jam lagi kami sampai." Ucapnya lalu mematikan panggilan begitu saja.
Mendengar suaranya yang sumbang membuat aku semakin takut dengan fakta yang akan aku hadapi nanti. Ucapannya yang mengatakan kata 'kami' membuat tubuhku panas dingin. Ucapan 'kami' yang dimaksud olehnya pastilah kedua orang tua kami. Apalagi saat mengingat Arkan sekarang sedang tidak ada di sini, kegelisahan ku menjadi semakin bertambah besar.
"Asha, tadi mama kamu telpon katanya sudah di jalan menuju ke sini." Jelas ibu mertuaku yang entah kapan sudah berdiri di pintu kamar.
"Iya, ma. Tadi sudah di kabari juga oleh bang Dino," jawabku dengan sisa tenaga yang ada.
Mendengar nada suaraku yang cemas itu, ibu mertua datang mendekat dan duduk di tepi ranjang.
"Tenang saja, Asha. Arkan sudah tiba di sini. Kita selesaikan semua masalah ini dengan baik. Mama harap kalian masih bisa bersama, mama sudah menyayangi kamu seperti anak mama sendiri. Mama hanya ingin kamu yang jadi menantu perempuan mama, bukan yang lain. Jadi Mama mohon pertahankan rumah tangga kalian, ya?" Pintanya sambil mengelus pipiku dengan sayang.
Sebenarnya bukan ini juga yang aku inginkan. Saat pertama kali mendengar Arkan mengucapkan ijab kabul, aku sudah memantapkan hati untuk mencintainya. Namun, siapa sangka jika jodoh pilihan orang tuaku tersebut akan sebegitu buruknya. Ditambah lagi aku pun ikut andil dalam memperkeruh suasana dengan mengatakan bahwa telah berselingkuh di hadapan ayahku. Hingga kini aku harus menerima kemarahannya yang belum pernah kurasakan selama dua puluh lima tahun hidupku.
"Mama percaya dengan Asha?" Tanyaku pada ibu mertuaku itu.
"Tentu, kamu tidak akan melakukan hal buruk itu 'kan? Mama bisa melihatnya dari sinar matamu. Kamu bukan orang yang akan dengan mudah berpaling, Sayang." Ucapan tersebut membuatku tidak tahan untuk tidak menangis.
Air mataku luruh saat mencoba memeluk ibu mertuaku dengan erat. Kepercayaan yang melebihi pada anaknya sendiri membuat aku tidak mampu melukai hatinya untuk bercerai dari Arkan. Tetapi, aku juga tidak sanggup jika terus seperti ini, rasanya sungguh sangat menyakitkan.
"Sudah, jangan menangis. Sekarang kita turun ke bawah, ya. Kita tunggu kakak dan kedua orang tua kamu." Ucapnya sambil mengusap air mataku.
***
Kini, aku duduk di sofa ruang tamu dengan menyandarkan kepala di bahu ibu mertuaku. Beliau senantiasa mengusap kepala dan menggenggam tanganku sebagai bentuk penguat darinya. Sementara anaknya yang berstatus suamiku duduk di sofa yang ada di depan kami dengan mata yang tidak pernah lepas dari telepon genggamnya.
"Nyonya, keluarga Non Asha sudah sampai." Ucap seorang pelayan kepada kami.
Hatiku yang tadinya mulai santai kini kembali nyeri saat mengingat yang akan terjadi nanti. Apalagi saat mendengar suara ibuku yang memanggilku dengan suara nyaringnya, hatiku menjadi semakin perih.
Aku bangun dari duduk dan segera menghampiri ibuku lalu berhambur ke dalam pelukannya. Aku sangat merindukan wanita yang telah melahirkan ku itu, begitu juga dengan kakak laki-laki ku yang telah lama tidak aku temui. Namun, melihat raut wajahnya dan juga ayahku yang suram membuatku mengurungkan niat untuk memeluk mereka. saat ini aku terlalu takut dengan kedua laki-laki tersebut.
"Sebaiknya kita langsung ke topik pembicaraan." Mulai ayahku dengan dinginnya.
Kini aku duduk bersebelahan dengan Arkan, sementara di depan kami sudah ada para orang tua yang menatap dengan berbagai raut wajah. Tidak lupa di sebelah kiri sudah duduk kakak laki-laki ku dan adik Arkan yang baru saja pulang berlibur dari kuliahnya di kota sebelah.
"Jelaskan!" Perintah ayahku dengan wajah tegasnya.
Aku tidak dapat membuka mulutku saat ini. Jika dulu aku dengan mudah mengucapkan hal bodoh, itu karena aku hanya sedang kalut dan emosi atas apa yang terjadi. Namun, saat kini kesadaran ku telah kembali, aku menyesal dan kembali menjadi seorang perempuan penakut di depan orangtuaku.
"Tidak ada yang mau menjelaskan?" Tanya ayah mertuaku yang mulai jengah dengan kediamanku dan juga Arkan.
"Papa..." Kepalaku langsung menoleh ke arah Arkan yang sudah mulai membuka suaranya.
"Semua yang terjadi hanya salah paham. Asha tidak berselingkuh, dia istri yang setia untukku. Hanya saja kita tidak bisa memaksakan cinta, bukan? Jika dalam hatinya bukan aku yang dia cintai, maka pernikahan ini tidak akan ada artinya lagi. Jika dipaksa untuk melanjutkan pun, saya rasa ini tidak akan berhasil."
Aku menatap tidak percaya dengan ucapan yang baru saja di lontarkan olehnya. Bukan aku yang tidak mencintainya, namun dia yang bermain di belakangku. Manis sekali kata-kata yang keluar dari mulut itu. Seakan-akan aku lah yang merusak rumah tangga ini.
Hatiku memanas saat melihatnya kembali santai seperti semula.
"Lalu kamu sendiri?" Tanyaku sinis sambil masih melihat ke arahnya yang berada di sampingku.
"Asha, dia suamimu. Tidak sepantasnya kamu berbicara sinis seperti itu." Teguran ayahku tersebut memancing kekesalanku.
"Lalu? Apa hanya suami yang bisa berlaku seenaknya, sedangkan istri hanya bisa diam? Apa harus selalu seperti itu?" Tanyaku.
🍀🍀🍀
Versi lengkap udah tersedia di aplikasi KBM ya...
Akun: Rahmayani ZA
KAMU SEDANG MEMBACA
Menelusuri hati
RomanceKisah seorang perempuan yang mencoba menerima takdir. Meski kehidupan setelah pernikahannya tidak sebaik yang dia harapkan, namun keyakinan untuk bertahan selalu di sematkannya. Sifat dingin tak tersentuh sang suami tidak membuatnya menyerah. Hingga...