Day five

8K 614 51
                                    

Entah untuk keberapa kali Ben menengok ke arah Dewa yang sedang duduk sambil memakan sarapannya itu.

Dia memastikan, bahwa Dewa baik-baik saja. Semenjak serangan tadi malam, dia menjadi sangat khawatir. Karena setahunya, itu adalah serangan terlama dari Dewa.

Entah Dewa sadar atau tidak, bahwa dirinya sedang diperhatikan oleh Ben. Hanya saja, Ben tidak menghentikan kegiatannya satu itu.

Ben sangat khawatir jika Dewa kumat dalam waktu dekat ini, seingatnya di rumah sakit tempat dia bekerja belum ada keputusan siapa yang menggantikan posisi Banyu.

Bisa saja dia, tapi pendidikan s2 dibidang kankernya saja belum rampung. Lagipula, berada di divisi tulang sangat menyenangkan, karena dia bisa bertemu banyak atlet dan bertemu banyak ahli olahraga.

"Bang bikinin tahu bebeklah, yang kayak nik akung" Pinta Dewa tiba-tiba.

Abangnya tidak langsung menjawab, karena dia hanya mengurut dadanya pelan, "Tadi roti isi dua kamu kemanain?".

"Perut lah, dikira kesakitan semaleman gak pake tenaga". Jawabnya cuek.

Ben sangat bersyukur, Dewa tahu apa yang dia perlukan, yaitu nutrisi yang baik serta banyak untuk membantunya melawan sakit-sakitnya itu.

"Pake cabe rawit, terus.. "

"Nggak ada cabe-cabean, emang abang gak tau kenapa kamu sakit tadi malem".

Dewa terkekeh pelan, harusnya dia tahu diri, kalau abangnya pasti tau, penyebab sakitnya kambuh, salahkan ogliolio yang kelewat pedas hingga membuat pencernaan dan tubuh bagian dalamnya terlalu panas. "Iya, apapun lah bang. Yang jelas kangen masakan Nik akung"

Ben mengangguk pelan, "Dek, ke rumah sakit ya. Abang gak bisa jagain kamu hari ini, takutnya.."

"Takut aku kambuh lagi?".

Abangnya tidak langsung menjawab, dan dari gerak tubuh Ben, Dewa tahu jawabannya pasti iya.

Dewa menghela nafas pelan, "Abangkan yang tadi malem ngomong kalo umur tu rahasia tuhan, lagian aku bisa kok jaga diri. Aku kemana sih, paling juga ke kafe di bawah apartment atau kalo enggak ketemuan ama Bian".

"Wajar dong kalo abang khawatir ama lo" Ben menatap Dewa dengan tatapan yang sulit adiknya mengerti, "Justru karena semua rahasia tuhan, abang gak mau terjadi sesuatu waktu lo sendiri".

Dewa mendengus kesal, rasanya semua rasa laparnya menguap entah kemana. "Abang, gue sakit bukan berarti gue balik jadi bocah, gue bisa kok jaga diri gue sendiri. Jangan egois dong, bang! Ini hidup gue, gue berhak nentuin kemana gue hari ini".

Dewa geram, tapi abangnya lebih geram. Dia tidak langsung menjawab omongan tegas Dewa tadi, tipikal Ben saat marah.

Dan Dewa tahu, abangnya sedang marah. Dia berjalan melewati Dewa, masuk ke kamar lalu membawa tas kerjanya dan pergi, tanpa pamit, tanpa sarapan, tanpa kata-kata apapun lagi, dan Dewa merasa menyesal akan hal itu.
🌿🌿🌿

Bang?

Abang ganteng, marah?

Abang maafin Dedek 😕

Abang jangan marah, Dedek nyesel.

Atuh, Abang. Dedek jangan dimarahin lama2

😢😢😢😢

Abang, Dedek kesana ya?

TodayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang