Dua

53 2 0
                                    

Kemarin...

Aku tidak pernah menyangka akan bertemu dengannya lagi sejak kepergiannya yang tiba-tiba setelah malam perpisahan SMA. Dia tidak pernah datang lagi ke sekolah. Bahkan untuk keperluan mengambil ijazah pun saat itu diwakili oleh kakaknya. Tapi aku tidak begitu heran. Dia memang selalu menjadi gadis yang introvert. Tidak banyak teman yang tahu tentang kehidupannya.

Mungkin cuma aku yang peduli padanya. Menurutku dia adalah gadis yang sangat manis. Naluri lelakiku tak bosan-bosannya menghasut benakku untuk selalu memikirkannya.

Diandra. Gadis yang tidak pernah membuat mataku berhasil untuk beralih dari memandangi wajahnya. Mungkin kadang membuatnya risih kalau secara tidak sengaja kami bertemu pandang.

Meski sudah 10 tahun berlalu ternyata kebiasaanku memandangi wajahnya belum bisa kuhentikan. Apalagi jika dia tepat berada di hadapanku seperti sore ini. Dengan rambut yang dia biarkan tergerai seperti hendak mengelus pundaknya dengan lembut. Serta poni yang dia tutupi dengan bandana lebar berwarna pink. Dahinya yang rata dan bersih semakin memperjelas garis alisnya yang hitam. Tak ada kata yang paling cocok untuk mewakili wajahnya selain "cantik"

"Jadi kamu kerja di mana sekarang?" katanya tiba-tiba menghentikan lamunanku.

"Ah..? Apa?" aku tidak begitu menyimak apa yang dia ucapkan sedetik yang lalu itu.

"Kamu dari dulu begitu ya. Sering tidak fokus", katanya sedikit merajuk.

"Ah enggak... aku fokus kok" jawabku "fokus memandangimu" lanjutku dalam hati. "Tadi kamu bilang apa?" tanyaku.

"Aku tanya, kamu kerja di mana sekarang" katanya mengulangi pertanyaannya dengan sedikit menekankan nada suara.

"Oh itu. Aku kerja di Bakrie Group" jawabku pendek.

"Wow! Canggih dong" serunya antusias. Jujur, aku tidak menyangka kalau dia akan merespon seantusias itu.

"Iya dong. Kok kaget begitu?" tanyaku heran

"Hehe... Enggak... yang kuingat, kamu yang paling sering tidur di kelas. Bisa juga ya kamu dapat pekerjaan yang mentereng begitu. Hehehe" jawabnya sambil cekikikan.

"Wah... kamu jangan anggap remeh aku dong. Mau tahu rahasia kesuksesanku? Aku punya kekuatan super. Bisa belajar sambil tidur. Hahaha" selorohku asal. Berusaha membuat lelucon agar dia cekikikan lagi. Sepertinya cekikikannya itu membuatku merasa ketagihan.

"Hahaha"

Leluconku berhasil. Kali ini dia bahkan tertawa geli. Ada perubahan yang menyenangkan dari Diandra setelah 10 tahun ini. Nampaknya dia lebih ceria daripada jaman SMA dulu. Hal yang membuatku makin menyukainya.

"Kamu sudah punya pacar?" tanyanya tiba-tiba seperti menodongkan senjata ke dahiku.

"Ah? Apa?" Aku bingung mau menjawab apa. Aku sungguh tidak siap dengan pertanyaan itu.

"Dengan pekerjaanmu yang keren dan keahlian humor, sepertinya cewek yang ngantri sudah berjejer dari Sabang sampai Merauke ya?" katanya sambil mempermainkan bola matanya dengan sedikit nakal.

Aku sungguh tidak tahu harus menjawab apa untuk pertanyaan sesederhana ini. Faktanya saat ini, aku sudah punya Julia – rekan kantor yang kupacari sejak 5 tahun lalu. Besok adalah hari ulang tahunnya. Aku sudah merencanakan kejutan spesial untuknya malam ini. Mendatangkan semua teman sekantor untuk mengabadikan sebuah momen yang seharusnya bersejarah untuk kisah cinta kami yang panjang.

Aku hendak melamar Julia. Cincinnya sudah kubeli sejak jauh-jauh hari. Tapi pertemuanku dengan Diandra sore ini membuat rencana istimewaku itu serasa seperti terhadang bencana alam. Aku tidak tahu apakah ini adalah pertanda takdir, ataukah ini semacam satu dari segala ujian yang harus kuhadapi demi komitmenku kepada Julia. Entahlah.

"Aku tidak sangka kalau pertanyaanku sesulit itu untuk dijawab. Sori, mungkin itu privasi buat kamu" kata Diandra setelah menangkap air mukaku yang gundah.

"Maaf ya. Aku banyak tidak bengongnya..." kataku sambil mengusap wajah dan menghela nafas. "Tapi aku senang sekali bisa ketemu lagi sama kamu" kataku tersenyum penuh makna.

Diandra ikut menyunggingkan senyumnya dengan tulus "Aku juga senang. Hanya kamu yang selalu setia menjadi temanku sejak dulu" ujarnya pelan.

"Diandra..." ujarku lirih sedetik kemudian.

Kuraih tangannya yang terkatup di atas meja café sore itu. Lalu kuggenggam dengan erat. Dia nampak salah tingkah. Wajahnya yang tiba-tiba merona merah membuatnya semakin mempesona. Seperti bidadari yang tersiram cahaya bintang gemintang dari seluruh jagad raya.

"Buatku kamu lebih dari sekedar teman... Aku mencintaimu... Sejak dulu..." ujarku sambil menatap matanya dengan sungguh-sungguh.

Entah. Perkataan itu meluncur begitu saja dari bibirku. Perkataan yang seharusnya sudah kusampaikan padanya sejak 10 tahun lalu. Kuabaikan bayangan Julia yang berlalu lalang di kepalaku. Kebersamaan dengannya selama 5 tahun terasa tak berarti dibanding pertemuanku dengan Diandra yang sungguh ajaib hari ini. Kali ini aku tidak ingin membiarkan hidupku kehilangan Diandra lagi.

***    

[Bersambung...]

Lukisan dari Masa DepanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang