Keesokan harinya Vandy dan Jennie berangkat ke Amerika Serikat. Awalnya Ibunda Jennie merasa keberatan dengan rencana Vandy dan Jennie untuk menetap sementara di Negeri Paman Sam tersebut, namun akhirnya ia mengizinkan mereka.
***
Saat ini Jennie tengah menjalani kemoterapi rutinnya di sebuah rumah sakit di Amerika Serikat. Sepulang dari pekerjaannya, Vandy selalu berada disamping Istrinya, Jennie, menemaninya untuk melawan penyakit mematikan yang tengah menggerogoti tubuhnya tersebut. Walaupun Jennie mengatakan bahwa sekarang ia merasa baik-baik saja tanpa kehadiran Vandy, Pria tersebut tetap saja datang. Dia benar-benar– menyayangi Wanita itu..
Hari, Minggu dan Bulan pun berlalu seiringnya berjalannya waktu, dan seperti yang diharapkan, penyakit mematikan Jennie akhirnya bisa disembuhkan secara total, bukankah itu sungguh ajaib? Tentu saja. Hal tersebut benar-benar jarang terjadi dan pasutri ini (Vandy - Jennie) tidak henti-hentinya mengucapkan syukur atas hal tersebut.
Tepat hari ini usia kehamilan Jennie telah memasuki usia 9 bulan dan hari ini juga Vandy dan Jennie berencana untuk kembali ke Jakarta. Sayangnya Vandy memiliki sebuah rapat penting pada hari tersebut, tinggallah Jennie seorang diri.
Sejujurnya Vandy menahan Jennie untuk kembali sendirian. Ia sangat takut Jennie-nya tersebut kenapa-kenapa, juga mengingat wanita itu sedang hamil besar. Namun Jennie meyakinkan Vandy. Dia menyuruh Vandy agar tidak terlalu mengawatirkan dirinya karena ia bisa melakukannya.
“Lagian Kak Felix stand bye di bandara soe*tta kok kak, jadi ga usah khawatir.”
Dengan berat hati, ia pun mengizinkan Jennie untuk kembali sendirian.
***
Setelah sekitar 13 jam lamanya Jennie terbang dari Amerika Serikat menuju Indonesia, akhirnya ia sampai dengan selamat di bandara soe*tta. Sebelum mencari keberadaan kakaknya, Felix, ia memutuskan untuk mengirim sebuah foto serta pesan kepada Suaminya, Vandy, agar Pria tersebut tidak khawatir terhadapnya secara berlebihan.
(skip)
“Gimana kabar dari penyakit lo?” Felix akhirnya membuka suaranya ditengah malam yang canggung tersebut bersama adiknya, Jennie. Saat ini keduanya tengah berada disebuah café, café yang menjadi tempat favorit Vandy dan Jennie ketika keduanya masih berteman baik dulu, café yang berada tidak jauh dari apartement-nya– dulu.
“Ya, gitu deh.” Jawab Jennie dingin sambil menyeruput secangkir hot chocolate-nya.
Felix kemudian terkekeh sesaat lalu memalingkan wajahnya.
“Lo ga berubah, ck.” Ucap Felix. Jennie kemudian menatapnya tajam.
“Apa?” Tanya Jennie. Felix kemudian memalingkan wajahnya kepada Jennie dan tersenyum, “Ga.” Katanya.Ketika keduanya tengah asyik-asyiknya bercanda gurau, Jennie tiba-tiba merasakan sakit yang teramat dahsyat dari perutnya. Felix panik. Dia kemudian memanggil ambulance dan pergi menuju rumah sakit terdekat.
***
Wajah Vandy terlihat pucat, sangat pucat.
Setelah menerima telfon dari Felix, Vandy langsung memutuskan untuk mengambil penerbangan cepat ke Indonesia, tepatnya ke Jakarta, untuk melihat kondisi Istrinya, Jennie, yang katanya sedang kritis itu.< Flashback <
Vandy tampak menghela nafasnya lega setelah menerima pesan dari Jennie yang ditambah sebuah foto dirinya yang– ah, cantik, cantik sekali. Dia kemudian melanjutkan pekerjaannya dengan tenang sembari sesekali tersenyum-senyum sendiri mengingat akan Istrinya tersebut. Namun kebahagiaan tersebut hanya berlaku sesaat karena tak selang satu jam Felix mengabarkan sebuah kabar buruk kepadanya bahwa kondisi Jennie saat ini benar-benar buruk.
< Flashback End <
***
Felix bersama dengan Orang Tua-nya saat ini tengah menanti penjelasan dari Dokter mengenai keadaan Jennie, namun sedari tadi, tidak– ini bahkan sudah lebih dari 3 jam dan tidak ada penjelasan sedikitpun?! Ini benar-benar gila, pikir Felix.
Tiba-tiba pintu ruang operasi terbuka dan keluarlah sesosok Pria lengkap dengan pakaian operasi-nya (?) ,. dia adalah Dokter yang menangani operasi Jennie! Felix kemudian menghampirinya, disusul dengan Orang Tua-nya.
“Operasinya berjalan dengan lancar kan, Dok?” Tanya Felix dengan tatapan yang penuh harap. Pria tersebut kemudian melepaskan kacamatanya dengan wajah yang terlihat– entahlah,.
“Ya, operasinya berjalan dengan lancar. Namun–” Sang Dokter menghela nafas panjang kemudian ia melanjutkan kalimatnya, “Dia masih belum sadar.”Kaki Ibu Jennie terasa lemah setelah mendengar perkataan Dokter tersebut, dia ambruk (?), untungnya suaminya berada disebelahnya, jadi ia bisa menahan Istrinya sembari mengelus-elus punggungnya. Menenangkannya.
“J-jennie koma?” Tanya Ibu Jennie.
“Sejujurnya ini kali pertama untuk kami melihat hal yang seperti ini Bu.. tetapi kami akan melakukan yang terbaik untuknya.” Kata Dokter tersebut.Setelah mendengar perkataan dari Dokter tersebut, Ibu Jennie kemudian menangis dengan histeris.
***
Vandy benar-benar khawatir dengan keadaan Jennie. Terlebih lagi Felix tidak membalas pesan dan mengangkat telfon darinya. Kekhawatirannya menjadi berlipat-lipat. Setelah sampai di bandara soe*tta, Vandy langsung bergegas menuju rumah sakit dimana Jennie dirawat.Ketika ia telah sampai pada tujuannya, ia melihat Felix. Wajahnya terlihat– perasaan Vandy kemudian menjadi tidak enak. Dia lalu menghampiri Pria tersebut.
“Lix!” Seru Vandy sembari berlari menghampiri Felix yang hendak memasuki mobilnya. Felix kemudian mengurungkan niatnya lalu menghampiri Vandy.
“Gimana keadaan Jennie? Dia baik-baik aja kan? Kenapa lo ga bales pesan sama ngangkat telfon dari gue?” Tanya Vandy bertubi-tubi kepada Vandy. Felix yang sedari tadi menundukkan kepalanya tersebut pun kemudian mengangkat kepalanya, memandang lekat-lekat wajah Pria itu– wajah yang pernah ia rindukan, dulu.
“Lo cek aja sendiri.” Jawab Felix dingin. Ia kemudian berjalan menuju mobilnya, menaikinya lalu pergi meninggalkan Vandy begitu saja.“Bajingan itu..” Ucap Vandy sembari memperhatikan mobil Felix yang semakin lama semakin kecil tersebut.
***
Vandy saat ini sedang berdiri di depan pintu kamar dimana Jennie sedang dirawat. Dia takut, sangat takut untuk melihat kondisi Jennie yang saat ini. Dia– ah,.
“Vandy?” Tiba-tiba Vandy mendengar sebuah suara seseorang yang memanggilnya. Suara tersebut tidak asing untuknya. Suara yang tidak asing lagi ditelinganya tersebut adalah milik Ayah Jennie. Vandy kemudian berbalik. Raut wajahnya benar-benar– menyedihkan.. TT TT
Ayah Jennie tersebut kemudian perlahan-lahan menghampiri Vandy lalu memeluknya erat. Tangisan Vandy pecah dipelukan Pria tersebut.
***
“Ay, kamu kok betah banget sih tidurnya? Bangun dong.. Vannie butuh sosok kamu ay TT TT tolong bangun demi kita..” Ucap Vandy dengan mata yang berkaca-kaca sembari membelai-belai lembut rambut Jennie.
Ini sudah 4 bulan lamanya Jennie ‘tertidur’ diatas ranjang putih itu dan ia belum juga menunjukkan tanda-tanda bahwa ia akan bangun dari ‘tidur’-nya tersebut.
Dan,
Vannie,
Vannie merupakan nama dari bayi perempuan Vandy dan Jennie yang saat ini usianya sudah memasuki 4 bulan.
Bayi perempuan tersebut, Vandy mengurusinya seorang diri. Sebenarnya orang tua Jennie dan Vandy menawarkan diri untuk mengurusi Vannie karena Vandy pasti tidak bisa mengurusinya dengan kesibukannya sebagai seorang CEO dan juga mengurusi Jennie yang masih terbaring tidak sadarkan diri diatas ranjang yang berbalut sprei putih khas itu, apalagi Vandy tidak memiliki pengalaman dalam hal tersebut, namun Vandy mengatakan bahwa ia bisa melakukannya. Dia ingin mencurahkan semuanya, ketika Jennie bangun dari ‘tidur’-nya nanti,– bahwa ia benar-benar telah bersusah payah untuk membesarkan Vannie seorang diri.“Jen,.” Ucap Vandy sembari menatap lekat-lekat wajah lusuh dan pucat Jennie. Tak terasa airmatanya mengalir, sangat deras, ia tidak bisa mengendalikannya.
“Jen, tolong bangun jeeen ...”
(to be continued)