Bagian 16 - Seharusnya

4.3K 618 56
                                    

[Han]

Pagi ini, dia tampak gelisah. Aku tahu alasannya : chocochipnya habis. Dia lupa memasukkan chocochipnya dalam keranjang belanja hari Minggu kemarin. 

"Tidak masalah kan kalau berhenti makan itu hari ini? Nanti malam kita bisa beli." kataku, mencoba menenangkan hatinya yang jelas sedang galau.

Dia menggeleng, "aku bolos kursus saja. Aku gak punya semangat menjalani hari tanpa dirinya." Dia mulai sok puitis.

Kalau begini aku ragu, apa kehadiranku di kehidupannya tidak juga cukup memberinya semangat? Apakah kedudukan chocochip itu sekarang lebih tinggi daripadaku--yang jelas-jelas kekasihnya? Dasar produk komersil menyesatkan!

"Terserah, terserah." Balasku, akhirnya mengalah. Daripada berujung perang dunia ke-3, hm?

Kursi makan di sampingku berderit mendekat, satu lutut kecil ikut menempel di sisi luar pahaku. Dia meletakkan tangannya di leher, kemudian mulai mengamatiku dari jarak 'kurang' aman.

"Kenapa?" tanyaku. Seharusnya ini waktu yang tepat untuk ciuman pagi, bukan observasi pagi. Dia memang jago memutarbalikkan momen.

"Semakin hari, semakin kuperhatikan, kok kamu makin tampan ya? Dan aku gak?"

Wah.

Tampan. Tampan. Tampan. Tampan. Tampan. Tampan. Tampan. Tampan.

Yeah, aku memang tampan!

"Tuhan memang adil. yang tidak tampan disatukan dengan yang tampan." bergantian aku menunjuk dadanya kemudian dadaku sendiri.

"Cih." Dia tampak tidak terima dengan ucapanku.

Aku terkekeh pelan. "Ok?" tampaknya tanggapanku makin membuatnya kesal.

"Gak ok." Dia menggeram pelan.

Aku tersenyum tipis, diam-diam menikmati wajahnya dari dekat. Sebenarnya, dia juga cukup tampan kok. Tapi aku tidak ingin mengatakannya langsung. Ini tentang harga diri dan kehormatan.

Suasana berubah hening menenangkan. Akhirnya kami saling menatap, sembari memasang wajah lucu masing-masing. Kenapa ya? Rasanya aneh tapi aku tidak keberatan. Kupikir, aku tidak pernah senorak ini sebelumnya.

Aku tenggelam dalam pikiranku sendiri. Apa yang akan terjadi besok, apa yang akan terjadi hari ini, semua itu seperti mimpi. Aku tidak bisa memprediksinya. Yang pasti, momen ini (harusnya) ada selamanya.

###

Ayah Han datang. Derap langkah asing melintasi ruang tengah. Rumah yang biasanya tenang tanpa tamu, tau-tau harus dikunjungi tamu yang sama sekali tidak diharapkan.

"Han?" Ayah Han memanggil nama putranya. Dia punya kunci cadangan apartemen Han, jadi bukan hal sulit untuk masuk dengan atau tanpa kehadiran pemiliknya.

"Gak usah teriak, Pops. Ini belum sore." Kalimat ganjil muncul dari mulut Han--yang sedang sibuk mengamati Deni di ruang makan. Patut mengundang tawa sebenarnya, tapi apa daya. Lawan bicara Han bukan penonton yang gampang ditaklukkan. 

"Sedang apa?" nada suara Ayah Han mulai mirip kekasih yang posesif.

"Berduaan." Han mengatakannya tanpa basa-basi, membiarkan fakta tetap menjadi fakta. Bukan fakta menjadi gosip.

"Siapa dia?" Ayahnya menunjuk dengan dagu sedikit dimiringkan.

"Pacarku. Kenapa?" Han balik bertanya. Sebaliknya, Deni sekarang sempurna jadi patung diantara mereka. Rasa dingin mulai merambat dari ujung kaki ke dadanya, membuat jiwanya seolah melayang diatas kepala. Kejam.

DewataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang