Bagian 15 - Keluarga

4.2K 645 45
                                    

Kehidupan mereka pun berubah semenjak kehadiran bayi lucu itu. Tidak ada yang namanya waktu bersantai atau waktu berdua. Mereka yang sibuk dengan urusan masing-masing, harus ditambah dengan satu urusan lagi. Menjaga bayi. Dan itu sama sekali tidak mudah.

"Tenang, Alice sayang." Han mengangkat Alice dari box bayi. Sekarang pukul satu dini hari, dan dia harus bangun untuk menenangkan bayi perempuannya yang menangis.

Deni datang membawa sebotol penuh susu formula. "Empat sendok susu, air panas seperempat botol, ditambah air biasa sampai penuh. Benar kan takarannya?"

"Iya, Sayang." Han mengambil botolnya, tentu saja dia tidak lupa mencium kening Deni sekilas sebagai ucapan terima kasih.

Untuk ukuran dua laki-laki awam yang mengandalkan Youtube sebagai tutor setiap detail mengurus bayi, mereka melakukannya cukup baik—untuk saat ini. Entah besok, besok lusa, atau seterusnya...

###

[Deni]

Selasa sore menjelang malam, aku baru pulang dari kursus. Badanku sangat letih karena memang materi hari ini agak berat. Baru juga meletakkan tas di atas laci dan berniat mandi, Han muncul dari kamar sembari menggendong Alice yang merengek.

"Baru pulang, Sayang?" tanyanya.

Aku tersenyum, mengangguk. "Iyap, aku mandi dulu ya."

Dia menghampiriku. "Tolong gendong Alice sebentar? Aku mau membuat susu."

Aku heran, apa dia tidak dengar ucapanku? Aku kan udah bilang mau mandi. "Tapi aku mandi dulu ya? Badanku lengket semua." Ulangku. Karena aku memang paling benci dengan badan yang lengket dan bau keringat.

"Sebentar saja, kan." Dia menaikkan nada bicaranya.

Aku yang gampang terprovokasi, tentu saja sedikit tersinggung. Dengan nada tak kalah menyebalkan aku menanggapi ucapannya. "Aku sudah bilang mau mandi! Kok kamu maksa?"

Tiba-tiba, ekspresi dingin Han muncul. "Kau yang egois, sialan!"

"Apa katamu?!" Aku membelalakkan mata tak percaya. Makian itu terdengar sangat panas di telingaku.

"Dasar egois!"

"Aku udah berusaha melakukan semua kemauan sepihakmu! Beraninya kamu mengumpatku hanya karena hal sepele. Shit!" Pekikku penuh amarah.

Bukan perkara mudah untuk menuruti semua kemauan orang lain. Harusnya dia tahu itu.

"Hah?! Memangnya aku pernah memaksamu menuruti permintaanku? Aku hanya menawarkan. Kalau kau punya otak, boleh-boleh saja kau menolaknya."

Mendengar balasannya yang menusuk hati, benar-benar membuatku nelangsa. Aku langsung terdiam. Ternyata, pengorbananku tidak dihargai. Dengan gontai aku beranjak duduk ke sofa, menyandarkan tubuh, kemudian merenung.

"Ya, aku memang gak punya otak." Wajahku mulai memanas, mataku terasa lembab. "Aku meninggalkan orangtuaku, teman-temanku, dan memutuskan tinggal disini demi kamu. Susah payah aku belajar bahasamu, siang-malam mencoba memahami supaya kamu bangga pada kerja kerasku. Meskipun rasanya sangat melelahkan sampai aku ingin pulang ke rumah karena homesick, aku tetap bertahan. Aku memang benar-benar bodoh. Aku menahan diri untuk tidak mengeluhkan semua itu padamu, dan sekarang kamu marah pada hal sepele seenaknya, berani memakiku! Sebenarnya, siapa yang lebih menderita disini? Aku atau kamu?" Aku mengucapkannya pelan, menahan getir. Sembari berusaha untuk tidak menangis.

Dan, apa yang kudapat selanjutnya?

Han tetap menyerahkan Alice ke pangkuanku. Sadar bahwa dia sama sekali tidak mendengarkanku, aku menangis terguguk sambil memeluk Alice. Bayi perempuan itu memang begitu lucu, tapi sekarang rasanya kesal sekali melihatnya. Gara-gara dia, Han marah padaku.

Kemudian, Han meninggalkan kami tanpa sepatah katapun.

###

[Han]

Aku, benar-benar bajingan.

Rasa lelah karena semalam kurang tidur membuat mood-ku hancur sejak pagi. Harusnya aku tidak mempermasalahkan hal sepele seperti itu. Harusnya aku mendengarkan ucapannya dan menunggu dia selesai mandi. Harusnya aku bisa menahan diri.

Apa yang aku pikirkan? Ah, dasar tolol!

Mendengar tangisannya di ruang tengah sangat melukai perasaanku. Sial. Buru-buru aku membuat susu formula untuk Alice. Setelah selesai, aku kembali ke ruang tengah. Kemudian, duduk di samping Deni.

Karena tidak tega mendengarnya menangis sesenggukan tanpa menoleh padaku, aku segera mengambil alih menggendong Alice dan membawanya ke kamar. Aku sengaja menutup pintu kamar supaya dia cepat tidur. Sambil menimang Alice, aku mencoba berpikir apa yang seharusnya aku lakukan untuk menenangkan Deni.

Begitu Alice terlelap, aku segera menidurkannya. Bukan di box bayi, tapi di tempat tidurku dan Deni. Untuk menjaga agar tidak jatuh, aku mengapit tubuh Alice dengan bantal.

Setelah selesai menyelimuti Alice, aku membuka pintu kamar, dan beranjak duduk ke sofa dimana Deni menangis.

Aku meletakkan tanganku ke bahunya, dia menepisnya. Kucoba sekali lagi meletakkan tanganku ke atas pahanya, dia juga menepisnya. Mulai kesal, aku merengkuhnya paksa. Dia menolak. Semakin dia meronta, semakin erat pelukanku. Sampai dia berhenti meronta dan membiarkanku memeluknya.

Dia menenggelamkan wajahnya ke dadaku, kemudian menangis sesenggukan.

"Kau tahu, kau luar biasa. Terima kasih." Pujiku, mencoba menenangkan hatinya. Tanganku berpindah ke puncak kepala Deni. Aku menepuknya perlahan, sesekali berhenti untuk menikmati halusnya rambut hitam miliknya.

Lama-lama, Deni berhenti menangis.

Perlahan, dia mengusapkan sisa air mata dan ingusnya ke kaosku. "Kamu tega," bisiknya.

Melihat tingkah menjijikkan dari...argh...pacarku, aku hanya mampu menarik napas dalam. Menenangkan diri. Betapapun menjijikkannya ingus orang lain, aku harus bertahan. Ini adalah pengorbanan cinta. Kalau dipikir-pikir, sebenarnya dia lho yang lebih kejam dariku.

"Ngomong-ngomong, kamu pernah homesick ya?" tanyaku, mengalihkan topik pembicaraan. Lucu juga sih membayangkan Deni yang pecicilan bisa homesick.

"Iya! Setiap malam aku selalu melampiaskannya di kamar mandi." Dia mengangguk, mengakui kelemahannya.

Aku mulai tertarik. "Setiap malam?" tanyaku sembari menatapnya curiga. Apa ini alasan kenapa tisu toilet sering habis?

"Iya, setiap malam..." tandas Deni. Dia sekarang menatap wajahku. "Kamu marah?" lanjutnya, terdengar khawatir.

"Kamu homesick atau....?" Sengaja aku menggantung ucapanku.

Deni menatapku heran, kelihatan mulai berpikir. Begitu dia mengerjapkan mata dan (mungkin) tahu jawabannya, dia menarik rambutku gemas.

"Aku gak pernah masturba—tiit ya! Dasar pikiran kotor!" Pekiknya, ganas.

Melihat reaksi Deni yang overact, aku tertawa. "Aku belum bilang lho," godaku. Meskipun hal itu memang yang awalnya kupikirkan.

Deni langsung mengalungkan tangannya ke leherku dan mendorong tubuhku sampai jatuh ke sofa.

"...." Melihat kebisuannya, aku terus tertawa terbahak-bahak. Ternyata dia bisa malu ya, batinku.

Secara mengejutkan, kesalahpahaman kami selesai kurang dari 1x24jam. Keren! Dan jangan lupakan fakta bahwa malam ini kami akan tidur bertiga bersama Alice.

Akhirnya, mimpiku punya keluarga bahagia sejahtera damai aman sentosa terwujud juga!

###

Hm, apa ada yang tahu kapan terakhir Dewata update? :v

Hehe.

Terima kasih sudah meluangkan waktunya untuk membaca tulisan saya. Terima kasih juga untuk yang (masih) mau menunggu kemoloran saya :D

Jangan lupa vote dan comment ya 

15/1/18

DewataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang