Bagian 18 - Full Team

4.9K 507 58
                                    

Terhitung sudah dua setengah bulan sejak kembalinya Deni ke rumah keduanya. Dalam kurun waktu itu, baik Deni maupun Han sama-sama berusaha memperbaiki hubungan mereka. Han juga membawa Alice kembali ke rumah secepat yang dia bisa. Dia sudah cukup tercengang dengan pengeluaran yang disebabkan oleh kepergian Deni, dan dia tidak butuh pengeluaran tambahan lagi.

“Kenapa kau melakukan ini padaku?!” Saat pertanyaan itu akhirnya terucap dari jiwa raganya yang terluka karena isi ATM-nya hanya tinggal separuh, Deni hanya tersenyum tidak jelas sebagai balasan. Setelah Han terus mendesak Deni untuk mengatakan yang sejujurnya, Deni pun mengaku. Dia mencatat semua pengeluarannya mulai dari tiket pesawat, biaya penitipan Alice, biaya oleh-oleh untuk keluarga Deni, dan biaya ini-itu di buku Han. Begitu Han melihatnya, jujur saja Han ingin melumat Deni saat itu juga. Dia yang cari uang, eh pacarnya yang menghabiskan. Kan lucu.

Tapi sekali lagi, seperti kata Agnes, cinta kadang tak ada logika. Bukannya melumat Deni, Han justru menciumi pacarnya sayang. “Ok deh, lain kali jangan diulangi ya.” Mendengar ucapan Han yang lembut, Deni pun mengangguk-angguk lega. Setidaknya, dia tidak jadi mayat hari itu.

“Oh ya, besok ulang tahun Pops. Mau merayakan?” Tanya Han, bergelung manja di bahu Deni.

“Boleh.” Setelah menyetujui usul Han, Deni mencatat apa saja yang perlu dibeli besok. Pertemuan terakhirnya dengan Ayah Han tidak berjalan dengan baik. Jadi, dia ingin memperbaikinya segera dan mengambil hati Ayah Han. Jangan heran, Deni memang calon menantu tipe penjilat.

###

[Deni]

Hari ini ulang tahun Ayah Han yang ke-67. Aku dan Han sudah membuat pesta kejutan di apartemen kami. Salah, lebih tepatnya apartemen Han. Kue sudah ada di kulkas, dekorasi dinding sudah siap, meja makan sudah tertata rapi, dan berbagai makanan ringan sudah siap sedia. Tinggal menunggu Ayah Han datang.

“Pops, nanti malam datang ke apartemenku ya? Pokoknya ada lah sesuatu. Datang saja. Sudah ya, kututup.” Seperti biasa, Han tidak pernah basa-basi bahkan dengan Ayahnya sendiri. Tidak ada salam pembuka dan kalimat manis nan sopan. Seandainya aku melakukan hal yang sama pada Bapakku, mungkin besoknya namaku dicoret dari KK kali ya? Hadeh.

“Kamu gak bisa lebih sopan ya?” Tanyaku sembari merapikan kembali meja makan. Han meletakkan ponselnya, kemudian berjalan ke boks Alice. Pertanyaanku sama sekali tidak digubrisnya. Menyebalkan. “Han!” Teriakku, “aku sedang bicara padamu.”

Han memasang wajah sok terkejut. “Ya ampun, Alice. Suara siapa itu tadi? Sepertinya rumah kita mulai berhantu.” Alice tertawa di boksnya. Aku mendekati Han. Dengan kesal aku naik ke punggungnya tanpa aba-aba.

“Aduh, berat. Kuda nil kenapa di sini?” Dia menatapku dengan ekspresi jahilnya. Kurang ajar memang. “Aku tidak seberat kuda nil, gajah!” Pekikku di telinganya. Han tertawa menanggapi ucapanku. Dia mencium pipiku kemudian membujukku untuk turun dari punggungnya.

Aku turun dan mencium pipinya singkat. Setelah itu, aku melirik ke boks Alice. Dia kelihatan lebih lucu dengan baju merah jambu dan bandana merah dari Ayah Han. Aku merunduk, menggodanya sebentar, lalu menciumi seluruh wajahnya.

“Ayahmu datang jam berapa?” Tinggiku bertambah lima sentimeter beberapa minggu yang lalu. Meskipun belum bisa mencium kening Han tanpa menjinjit, setidaknya aku tidak terlalu mendongak ketika berbicara dengannya.

“Malam.” Han memainkan pucuk hidungku. Satu kebiasaan baru yang sangat mengganggu. Aku sudah berusaha mencegahnya, tapi tangan Han selalu kembali. Daripada cepat mati karena darah tinggi, akhirnya aku berhenti mencegahnya. Biarkan Han berkreasi dengan gangguan perilakunya.

“Iya tahu, jam?” Ulangku, belum puas dengan jawabannya. Pertanyaanku apa, jawabannya apa. Kadang-kadang susah memang berbicara dengan Han.

“Pokoknya malam, Sayang.” Ampun. Aku menepuk keningku keras-keras. Dan seperti biasa, aku hanya mampu untuk mengangguk. Saking bingungnya harus menjawab apa.

DewataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang