"Unnie, rumah unnie dimana?"
"Di jalan 123 bimbap"
"Jinjja?" aku terkejut, "Deket rumah ku dong unnie!"
Dia tersenyum, sorot matanya meneduh, "Ah, baguslah, mari pulang bersama"
Senang! Deg-degan!
Eh, tapi..kenapa aku senang? Kenapa jantungku deg-degan juga? Wae Seulgi! Dia masih asing bagimu, dia wanita yang menjadi dosen, jangan kelepasan kontrol!
Di cafe ini, kami melewatkan waktu, mulai bercerita meskipun masih tahap umum, ya.. kita berdua masih asing bagi satu sama lain.
Tidak terasa, waktu menunjukkan pukul 21.00 malam, kami memutuskan untuk melangkah pulang dari cafe ini.
Angin malam menerpa wajahmu, rambut panjang itu menari-nari mengikuti alur sang angin, kamu menutup mata sambil berjalan seakan-akan sangat menikmati keadaan. Aku..aku terpukau, melihat wajahmu dari posisiku, indah, terlalu indah, aku tak sanggup melepaskan mataku dari mu.
Sampai..kamu kembali membuka mata, menoleh ke arahku. Langsung..aku membuang wajahku, tersipu malu, terlalu malu. Wajahku panas, bulatnya matamu menyapa mataku, mata yang senduh dan memancarkan cahaya bulan merobek gerbang pertama dari pertahananku.
"Kenapa melihatku?"
Aku menggenggam erat kantong jaketku, mencoba kembali tenang. "Ah..tidak" aku memalingkan muka ke arahnya "Aku tidak melihatmu, unnie. Aku melihat ke arah belakangmu, kau sangat pede" tawaku kikuk.
"Oh okay" dia melihat kembali ke arah depan.
Aku memelankan langkah kakiku, sengaja.. agar kamu berada di depanku, aku masih bulshing. Hati ku masih belum tenang dan jantungku masih saja berdetak kuat. Aku membiarkan posisi kita seperti ini, sampai kamu pamit memasuki rumahmu.
Ah! Sial! Hati dan jantung sial!
-------------
"Aku pulangg..." aku sedikit meninggikan suaraku, memberitahu keluarga bahwa salah satu bagian mereka telah kembali.
Appa menoleh dari ruang Tv "Seulgi, kemari, nak" appa menepuk-nepuk sofa disebelahnya.
Dengan lunglai aku menghampiri appa, "Ada apa appa?" tanyaku sembari duduk.
Appa memijat alisnya, "Beberapa hari kedepan, appa dan omma akan terbang kembali ke German, mengurus perusahaan kakekmu, Sewu akan appa bawa"
"Ne?"..."APPA!! Wae?" aku terkejut mendengarnya, kenapa appa dan omma harus pergi dari Korea, meninggalkan ku pula! Belum genap 3 tahun, mereka harus kembali ke German untuk mengurus perusahaan kakek. Bukannya samchon sudah setuju untuk mengurus perusahaan, mengapa sekarang appa dan omma harus ke sana lagi?
"Appa wae? Bukannya Minhyuk samchon yang mengurus perusahaan kakek?"
"Minhyuk samchon tidak mahir sayang, kakek merasa selalu merugi, dia memelas meminta appa yang mengurus"
"Tapi appa, mengapa hanya Sewu yang diajak, aku ingin ikut juga appa" ujarku cemberut.
Appa mengelus kepalaku, "Datanglah saat kuliahmu sudah beres sayang, appa ingin kamu fokus di Korea, ok?"
"Tapi appa.....
"Ganti bajumu, kemudian makan, sebelum pergi dengan Sewu ke Seoul omma membuat gimbab kesukaanmu"
"Ne appa.." aku tidak bisa membantai appa karena ya, aku harus menyelesaikan kuliahku dulu, siapa yang mau menampung aku di German sana? Aku harus menunggu beberapa bulan untuk mengikuti ujian masuk universitas, tapi apakah ada jaminan aku masuk?
YOU ARE READING
Could We?
Fanfiction(Guratan dari Seulgi) Ini tentang ku, hidupku, kisah cintaku yang aku pun tidak tau bagaimana kelanjutannya. Namun, kisah cintaku memberi aku sebuah mata lagi, bahwa cinta bisa berkhianat walaupun telah menyatakan setia. Dia, Bae Irene, nama aslinya...