Sinar matahari pagi menyeruak, berpencar mencari celah dari jendela kamar, kemudian berakhir di wajahku.
Silau sekali! Aku hendak membalikkan badan, membelakangi sang matahari, tetapi aku merasakan tangan kanan ku sangat berat. Ku buka mataku pelan, "Ah unnie" , dia masih tertidur pulas di pelukan ku. Meringkuk seperti anak kecil yang membutuhkan kehangatan. Sinar matahari menambah nilai wajahnya, meskipun hanya mengenai telinga dan pipi sedikit.
Aku terus memandanginya, bidadari ini sangat cantik, bagaimana Yang Diatas menciptakannya sesempurna ini? Apa yang dipikirkanNya saat itu?
Aku masih terus memandanginya sampai kelopak dan bulu mata yang melengkung itu bergerak naik. Kepalanya mendongak ke atas seolah mencari keberadaan sesuatu. (posisi kepala ku lebih tinggi dari kepalanya). Mata kami bertemu, aku merasakan tatapannya sangat berbeda, tatapannya menyimpan ras sakit yang dalam, sulit ku deskripsikan melalui kata-kata.
"Unnie.." panggilku,
"Ya?" jawabnya, sangat lembut..
"Unnie, gwenchanayo?"
Dia menggeleng kepalanya pelan,
"Unnie, Saranghe"
Dia hanya tersenyum, nyess..hati ku tiba-tiba merasakan sesuatu yang mengalir lagi. Ya, dia tidak mungkin mencintaku, tetapi biarlah, aku juga tidak memaksanya walaupun hatiku ingin. Cinta yang dipaksa bukankah menyakitkan melebihi cinta yang bertepuk sebelah tangan?
"Kenapa kamu menyukaiku?"
"Menyukaimu? Tidak, aku tidak menyukaimu"
"Lalu?" alisnya berkerut
"Aku mencintaimu"
"Terimakasih telah mencintaiku, maaf aku tidak bisa membalasnya"
"Tidak mengapa unnie" wajah ku mengeras, dia mengatakan tidak bisa, aku merasakan gigiku sangat mengeras, kenapa rasanya sakit. Aku berani mengatakn semua ini karena kejadian di kamar Sewu yang jadi pertimbangan 30%, 70% lagi berasal dari hatiku.
"Unnie, aku boleh bertanya sesuatu" aku ingin menanyakan kejadian itu,
"Boleh"
"Kenapa unnie mendekatkan wajah unnie ke wajahku saat di kamar Sewu?"
"...." Dia diam, matanya berkedip-kedip, seolah mencari alasan. "Kamu tau?"
"Ya aku tau, aku sadar"
Dia menghela nafasnya, "Mianhe, Seulgi. Aku membayangkan wajah Sehun, aku tidak bi......
Sakit sekali, terlampau sakit. Dunia ku seolah runtuh, rahang gigi ku semakin mengeras, bibrinya masih menjelaskannya, tetapi aku tidak bisa mendengarnya, aku..aku..terlalu pede.
Ku tarik tanganku yang masih menopang kepalanya, dia kaget.. menatapku bingung,
Aku beranjak dari tempat tidur, aku rasa dia memanggilku, tetapi aku tidak bisa menoleh, hatiku sangat sakit..aku-aku ingin ke kamar Sewu. Please, jangan menangis Seulgi, aku menekan bagian hatiku, bergantian menjadi jemari ku memegang helaian bajuku masih di bagian hati , meremasnya sangat kuat. Langkah ku sangat lemah, aku tidak tahan.. bendungan air mataku pecah,
"Seulgi.." ku dengar suaranya dan langkahnya samar-samar, dia mengikutiku? Kamar Sewu rasanya jauh sekali.
Sedikit lagi, itu gagang pintu kamar Sewu.
Ku arahkan tanganku, mencoba mencapai...
Namun, tanganku tidak pernah menggapainya, Irene menarik lenganku, membawanya ke belakang.
YOU ARE READING
Could We?
Fanfiction(Guratan dari Seulgi) Ini tentang ku, hidupku, kisah cintaku yang aku pun tidak tau bagaimana kelanjutannya. Namun, kisah cintaku memberi aku sebuah mata lagi, bahwa cinta bisa berkhianat walaupun telah menyatakan setia. Dia, Bae Irene, nama aslinya...