Woojin pergi dan Sohye tidak mencari.
Ya setidaknya itulah yang Woojin rasakan. Karena setelah pisah selama 2 tahun sehabis lulus, Woojin dan Sohye tidak pernah berhubungan lagi.
Ah, bukan tidak pernah.
Lebih tepatnya tidak tau. Karena Woojin memutuskan semua komunikasi yang berjalan antara dia dan Sohye.
Woojin tidak ingin tau kabar Sohye dan Mark. Putuskah? Atau masih berlanjut? Woojin tidak tau. Yang Woojin tau sekarang adalah gimana cara dia survive didunia nyata ini, mempergunakan gaji seminim mungkin ditengah hiruk piruknya dunia Ibukota.
Kepikiran Sohye?
Sering.
Bohong kalau Woojin bilang tidak pernah memikirkan Sohye.
Bola matanya menatap foto yang sengaja ditempel didekat layar monitor kerjanya. Senyuman miris terpampang jelas dibibir Woojin
Haduh, gimana kabar Sohye?
Dimana dia sekarang?
Apa dia masih dengan Mark?
Mungkinkah Sohye merindukan Woojin sama seperti Woojin merindukan dirinya?
Woojin tidak tau.
"Jin, dipanggil keruangan editor." ucap salah satu teman kerja Woojin.
Woojin mengalihkan pandangannya dari foto yang sedari tadi dia lihat lalu mengangguk pelan, ia berdiri dari kursinya setelah itu melangkahkan kaki menuju ruangan editor yang berada didekat lorong menuju lift.
Setelah mengetuk pintu tiga kali, akhirnya Woojin masuk dan menemukan salah satu rekan kerjanya, Woojin tersenyum.
"Bapak memanggil saya?"
"Jin, kamu bisa ambil berita sidang di KPK sekarang?"
Woojin menaikan sebelah alisnya, "Loh, memang team politik kenapa, Pak?"
"Sanha gejala tifus, barusan dia ijin pulang, badannya panas katanya, disana gak ada yang nemenin Suhyun. Kasian cewek sendirian."
Woojin mengangguk lalu tersenyum, "Siap, Pak. Saya pergi sekarang."
Beginilah Woojin menjalani hari-harinya, mencari berita. Dia merupakan team sport, disalah satu stasiun televisi terkemuka, jadi pekerjaan Woojin mencari berita untuk bagian olahraga saja. Sebenarnya Woojin malas jika harus menggantikan bidang lain, terutama politik.
Masalahnya, pusing.
Terlalu banyak permainan kotor disana.
Tapi, Woojin harus profesional. Setelah berhasil mengambil semua barang yang harus dibawa, termasuk handphone dan buku catatan kecil beserta pulpen, dia melangkahkan kakinya menuju lift untuk pergi ke parkiran.
Didalam lift Woojin terus berimajinasi kalau dia akan bertemu dengan Sohye, berharap Sohye ada disini, disampingnya.
Woojin tersenyum licik, mengejek segala fantasy nya. Mana mungkin? Memang tempat kerja anak komunikasi hanya di televisi? Woojin mengetuk-ngetuk pelan kepalanya berusaha menyadarkan dirinya dari segala bayangan tentang teman kuliahnya itu.
Pintu lift terbuka dan pikiran Woojin masih melayang pada dua tahun lalu, ketika dia masih mengejar gelar sarjana disalah satu universitas negeri impiannya.
Memang bodoh. Woojin lebih memilih diam daripada mengungkapkan apa yang dia rasakan. Benar kata Bunda, perempuan itu butuh kepastian.
Lengannya meronggoh saku celana bahan hitam yang ia pakai lalu mengeluarkan kunci motornya. Woojin memasukan kunci pada motornya lalu naik dan memakai helm fullface yang digantung di spion motor.
Pikirannya melayang pada Sukro, kini kucing abunya itu sudah tumbuh besar, gendut, gemas. Woojin tinggal sendiri di apartemen, jadi Sukro ada dirumah dengan Bunda, Ayah dan Adek. Kakak sudah menikah, hidup dengan istrinya diluar pulau. Woojin merantau sendirian ke Ibukota.
Woojin menyalakan motornya lalu membenahi spion kira dan kanan, bersiap untuk memasukan gigi dan menjalankan motornya.
Setelah semua dirasa telah pas, Woojin bergegas menjalankan motornya menuju gedung KPK untuk mengambil berita.
*
Woojin memasuki apartemennya dengan langkah letih. Diam didepan gedung KPK selama 15 jam menguras habis tenaganya. Dia melempar asal helm fullface yang dipegang lalu menjatuhkan dirinya pada sofa depan tv.
Mata Woojin terpejam, fisiknya lelah. Dia butuh istirahat.
Ponsel yang berada di saku celana Woojin bergetar, Woojin beranjak sedikit dari posisinya untuk mengeluarkan ponselnya. Matanya menyipit dan alisnya menyatu melihat nomor yang tidak diketahui meneleponnya.
Dengan malas Woojin mengangkat teleponnya, "Halo."
"Woojin?" suara yang sudah tidak asing ditelinga Woojin membuat dirinya membuka kedua matanya dengan lebar.
Woojin tidak menjawab.
"Jin!"
Woojin masih belum menjawab.
"Jin, Ih!"
Kali ini Woojin menghela napasnya lalu menjawab, "Apaan, Mina?"
Kikikan jail terdengar diujung telepon, "Lagi dimana lo?"
"Apartemen."
"Ih, sini dong ke tongkrongan."
"Capek ah."
"Yakin gak mau kesini?" goda Mina diujung sana.
"Iya ah capek gue baru balik dari gedung KPK."
"Ih, lo mah. Gue deh sama Rocky yang kesana, ya?"
"Terserah lo."
"Okedeh!"
"Lo kenapa sih gonta ganti nomor mulu?"
"Ih, kenapa ya sewot. Suka-suka gue, lah."
"Yaudah bilangin Rocky kalo kesini bawain FG Troches, sakit nelen gue."
"Iyadeh. Mau dibawain cewek sekalian gak?" goda Mina lagi.
Woojin mendecih pelan, "Mau Sohye satu."
Suara tawa lepas terdengar dari ujung sana, "Gak ada. Udah abis."
"Ck, yaudah buruan kalo mau kesini, pencet bel terus-terusan aja kalo gue gak keluar. Mau tidur dulu ngantuk."
Telepon langsung ditutup oleh Woojin sebelum Mina berhasil menjawab ucapan Woojin. Dia menyimpan ponselnya disamping paha lalu kembali pada posisinya.
Mina dan Rocky memang rajin main ke apartemen Woojin. Mereka sama-sama kerja di Ibukota tapi beda kantor. Woojin sempat heran, kenapa mereka langgeng banget ya, dari kuliah.
Maksudnya, Mina dengan kepolosannya dan Rocky dengan keberisikannya.
Woojin menjadi tempat curhat Mina dan Rocky kalau mereka sedang berantem. Kadang pusing sendiri, dia udah lama gak pernah pacaran malah disuruh ngasih saran untuk orang pacaran. Hadeuh.
Kalau ada yang bertanya Jihoon, Woojin dengan bangga akan menjawab, Temen gue lagi kuliah di Aussie pake beasiswa, dong!
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumah! \\ Woojin X Sohye ✔
Fanfiction% SECOND BOOK OF "RUMAH?" % Waduh, sakit juga ya? deosnim on wattpad ©2018