Pagi-pagi sekali ponselku sudah berisik. Senyumku terkembang saat melihat nama Samsir tertera di layarnya. Dengan sengaja kuubah pengaturan ponsel ke mode senyap. Biar saja Sam menelepon hingga ribuan kali, aku tak akan mengangkatnya. Kafe buka nanti pukul sebelas, masih ada waktu empat jam untuk membuat lelaki itu merasakan apa yang kurasakan kemarin. Bukan, aku bukan ingin balas dendam. Aku hanya memberi sedikit pelajaran pada orang yang tidak bisa menghargai waktu.
Rasanya nyaman dan tenang bisa menikmati pagi dengan secangkir kopi dan beberapa potong brownies sisa kemarin. Tentu saja sambil membayangkan ekspresi marah-marah di wajah Sam. Ah, aku jadi penasaran. Jangan-jangan dia ngamuk ke Rano. Aku terkikik pelan membayangkan Rano yang kewalahan menghadapi amukan sepupunya.
Satu jam sebelum berangkat ke kafe, mode senyap ponsel kukembalikan ke mode normal. Mataku membelalak saat melihat pemberitahuan. Hanya ada satu panggilan tak terjawab, satu pesan singkat, satu pesan di Whatsapp dan beberapa pemberitahuan media sosial lain yang segera kuabaikan.
Kafe buka jam 11 kan? Aku nunggu di kafe, ya.
Hanya ada sebaris pesan itu dari Sam.
Apa-apaan, sih, dia ini? Aku mendecak. Aku yang apa-apaan. Bisa-bisanya membayangkan Sam akan menghujaniku dengan puluhan telepon dan pesan atau menanyakan alamatku pada Rano agar dia bisa langsung datang ke rumah dan minta maaf. Kuembuskan napas kesal, lalu mengetikkan sebuah pesan pada Wanda dan memintanya datang ke kafe sekarang juga.
**
Pukul setengah sebelas, Sam benar-benar datang. Dia pasti berpikir aku belum datang jadi dia yang akan menungguku. Huh, maaf saja ya. Aku tidak terbiasa ditunggu. Seperti yang sudah kuperkirakan sebelumnya, dia tampak syok waktu melihatku sudah di kafe yang belum buka.
“Masih ada waktu setengah jam sebelum kafe buka, kita bisa pakai buat diskusi,” sambutku langsung. Tentu saja aku takkan membiarkannya berbasa-basi lebih panjang.
Bang Artha dan Wanda sudah menunggu di meja yang akan menjadi tempat diskusi kami. Aku mendahului Sam duduk di sebelah Bang Artha. Wanda membagikan draft berisi rancangan konsep pernikahan yang dia inginkan.
Wanda ingin pernikahan dengan tema sederhana dan minimalis. Dia ingin pesta kebun dengan resepsi bergaya internasional. Sejak SMA, Wanda selalu mengimpikan pernikahan ala negeri dongeng. Itu juga yang menjadi pertimbangan mengapa dia ingin pesta kebun.
“Pertama-tama, kita harus mencari venue yang sesuai dengan keinginan Wanda.” Aku memulai rapat setelah beberapa saat jeda tercipta di antara kami karena sibuk membaca draft yang tadi dibagikan Wanda. “Wanda ingin tempat yang luas, banyak tanaman dan pohon.”
Kudengar Sam berdeham pelan. “Gini, apa tempatnya harus di Surabaya? Kok kayaknya susah nyari tempat kayak gitu di sini.”
Tanpa sadar aku mendecak. “Kita kan belum coba cari. Jangan keburu pesimis dong.”
“Aku nggak pesimis, Ras. Cuma ngasih pandangan yang realistis aja.” Sam tampak menggigiti kuku ibu jarinya. Dia sedang... berpikir?
Melihatnya tampak serius dengan kuku ibu jarinya, entah mengapa membuatku salah tingkah. Di satu sisi ingin sekali kusingkirkan jarinya itu jauh-jauh agar dia tidak bisa menggigit kukunya lagi, oh man, itu jorok. Lagian dia sudah dewasa, kan? Seharusnya kebiasaan menggigit kuku begitu sudah punah sejak bertahun silam.
Di sisi lain, semakin dipandang Sam tampak semakin menggemaskan. Tanpa sadar aku mengulum senyum. Badannya doang nih cowok yang gede, ternyata ada jiwa anak-anak yang terperangkap di dalamnya.
“Aku sebenernya tahu venue yang sesuai sama keinginan Wanda, tapi jauh. Di Kebun Raya Purwodadi. Di sana kita bisa bikin pesta a la Twilight. Kan lagi ngetren tuh sekarang.” Setelah beberapa waktu berpikir, Sam melontarkan idenya yang tidak masuk akal.
Kulihat wajah Wanda berseri-seri ketika mendengar pesta pernikahan a la Twilight. Sebuah desahan pelan keluar dari hidungku. “Memangnya kamu tahu, Nda, Kebun Raya Purwodadi tuh di mana?” tanyaku akhirnya.
Seperti dugaanku sebelumnya, Wanda memang tak tahu apa-apa. Dengan polos dia menggeleng untuk menjawab pertanyaanku.
“Kebun Raya tuh di Pasuruan, Nda,” sahut Bang Artha. “Kalau dari sini naik mobil sekitar dua jam perjalanan, itu kalau nggak macet.”
“Kan kita bisa nginep di hotel dekat sana, Tha.” Sepertinya Wanda sudah teracuni kalimat Sam tentang Twilight.
“Terus kamu nggak mikirin gimana dengan para tamu nanti?” Aku heran, bagaimana Bang Artha bisa sesabar itu menghadapi sikap tidak konsisten Wanda. Rencana awal kan pesta kebun, begitu dengan pesta hutan a la Twilight Wanda langsung berubah pikiran.
Pertanyaan itu berhasil membuat Wanda terdiam. Segera kualihkan pandangan ke arah Sam. “Lain kali kalau ngasih usul tuh, yang realistis dikit.”
“Loh, kan kamu yang bilang Wanda pengin yang banyak pohonnya.”
“Iya, tapi tempatnya nggak harus sejauh itu. Kalau emang di sini nggak ada yang banyak pohonnya kita bisa sewa lapangan golf atau club house.”
Sam tertawa. Seketika aku merasa dongkol, marah untuk hal yang tak kutahu alasannya. Tawa Sam seperti tengah mengejek dan aku tak menyukainya. Dia bisa kan langsung mengeluarkan sanggahan kalau memang tak menyetujui pendapatku, kenapa harus menertawakanku?
“Dengan budget segini, kamu pikir cukup buat nyewa club house?” Sam menunjukkan rentetan angka di dalam draft. “Ya kalau kamu merasa cukup, silakan aja cari club house dengan harga sewa segitu. Aku akan urus yang lain.”
Lelaki itu segera mengalihkan pandangan dariku, menghadap Wanda dan Bang Artha. Masih melanjutkan bicara tentang katering, gaun pengantin, suvenir, dan printilan-printilan yang lain. Aku merasa diabaikan.
“Jauh-jauh hari aku udah urus printilan macam gitu.” Tanpa memedulikan Sam yang masih terus nyerocos, aku memotong pembicaraan mereka. “Baju pengantinnya udah siap, tinggal fitting. Vendor buat dekorasi sekaligus make up-nya sudah ditangani Tiffany, temenku. Undangan dan suvenir aku sudah pesan Mas Bimo, sepupuku. Tinggal urusan katering dan foto. Tadinya sih urusan foto dan video mau ditangani Rano, tapi kalau dia nggak ada di sini, gimana dia bisa nangani. Lagian kamu tuh nggak mikir ya, Sam. Pernikahan tinggal dua bulan, ya kali aku belum siap apa-apa.”
Kulihat lelaki berambut blonde di hadapanku itu tersenyum miring. Satu alisnya terangkat. “Kalau gitu kenapa nggak kamu kerjain aja semuanya sendiri?” Dia lantas berdiri. “Aku pamit ajalah, nanti kubilang sama Rano kalau persiapannya udah selesai.”
Aku berdiri dan mengejar Sam yang sudah beranjak keluar dari pantry. “Enak aja kamu mau lepas tanggung jawab gitu aja,” sergahku.
“Tanggung jawab apa, Ras? Kamu udah siapin semuanya, buat apa lagi aku ada di sini? Hah?” Tanpa sadar kakiku melangkah mundur saat mendengar bentakannya.
Kurasakan kakiku gemetar. Dia... nggak harus membentakku begitu, kan? Dia bisa bicara baik-baik tanpa harus membuatku ketakutan. Iya, kan? Sam tampak terkejut melihat reaksiku. Saat dia mendekat dan berusaha menggapaiku, tanganku mencari-cari pegangan.
“Pergi sana! Jangan pernah balik ke sini lagi!” Kupejamkan mata rapat-rapat saat Sam semakin dekat denganku. Tanganku refleks melempar apa yang tengah kupegang ke arah Sam. Beberapa kali lemparan dan aku tidak tahu benda apa saja yang sudah kulempar. Saat kudengar Sam mengerang kesakitan, baru kuberani membuka mata.
Tubuhku membeku saat melihat Sam memegangi lengan kanannya sambil mendesis menahan sakit. Wanda dan Artha sudah berada di sampingnya. Sementara aku, tak berani beranjak dari tempatku berdiri. Terpaku dengan perasaan berkecamuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
LET'S (NOT) FALLING IN LOVE (SUDAH TERBIT)
RomanceNaras Prameswari sungguh sebal dengan pacar jarak jauhnya yang workaholic dan justru menyerahkan tanggung jawab menyiapkan pernikahan sahabat mereka pada orang lain. Pada seorang fotografer pemalas bernama Samsir Hutomo. Sementara menurut Samsir, be...