DUA

1.8K 164 15
                                    

Langkahku terhenti tepat sekitar satu meter dari seorang lelaki berkaus lengan pendek yang oversize. Warna rambut blonde-nya yang mencolok itu langsung membuatku tahu siapa dia. Samsir. Sepupu Rano. Tadi Rano sudah memberikan foto terbaru orang ini.

Saat pramusaji yang mencatat pesanannya pergi, matanya segera saja beradu pandang denganku. Bibirnya tertarik membentuk sebuah senyum lebar. Ada sedikit kerutan di sudut matanya membentuk smiling eyes. Tangannya terangkat melambai padaku. Oh, untuk sejenak tubuhku beku, mataku mengerjap beberapa kali untuk membuang smiling eyes-nya yang terperangkap dalam retina. Senyum tak akan bisa begitu saja membuat kesalahannya termaafkan.

“Kamu tahu ini sudah jam berapa?” tanyaku segera setelah berhadapan dengannya.

Dia tampak terkejut, tapi sedetik kemudian senyumnya kembali muncul. “Tahu, kok. Aku terlambat dua jam. Tapi kan yang bikin perjanjian datang jam dua itu si Rano, bukan aku. Rano kan nggak tahu aku masih ada urusan nggak jam dua itu,” jawabnya panjang lebar.

Aku menggeram. “Loh, harusnya kalau Rano bilang datang jam dua itu kan dia udah konfirmasi sama kamu. Gimana, sih?” Aku meledak. AKU MELEDAK. ME-LE-DAK. Amarahku meledak seperti bom waktu yang disetel sejak dua jam lalu.

Bom waktu di darahku akan meledak dua kali saat kudengar lelaki di hadapanku ini mendecak. Ingin sekali kujambak rambut ikalnya yang berantakan itu lalu mematahkan hidung bangirnya yang membuatku minder sejak awal melihatnya tadi.

“Ternyata bener kata Rano, kamu itu cepet banget naik darahnya.” Lelaki itu berdiri menjajariku, lalu mendudukkan tubuhku di kursi yang berhadapan dengan tempatnya duduk tadi. Kemudian dia mengulurkan tangannya ke hadapanku. “Samsir Hutomo. Panggil aja Sam.”

Aku sudah akan berdiri lagi saat dia menekan pundakku dan memaksa agar aku tetap dalam posisi duduk. Aaarrrgghh... Rano, kamu harus bertanggung jawab karena sepupumu lebih menyebalkan daripada dirimu. Segera kualihkan pandangan dari Sam yang masih berdiri di hadapanku. Melihatku sudah cukup tenang, setidaknya tidak terlihat ingin mencakar atau memasaknya hidup-hidup, Sam kembali ke tempat duduknya semula.

“Kita kan belum kenalan secara resmi, kenalin dulu dong. Aku Sam.”

“Aku udah tahu, nggak perlu diulang-ulang.”

“Terus, kamu?”

Aku mendengkus, sebal. “Nggak mungkin kan, Rano nggak ngasih tahu namaku? Kamu ke sini tadi kan, juga minta diketemuin sama aku. Harusnya nggak perlu nanya lagi, kan?” Kalau ada lomba ngomong panjang dalam sekali napas, kuyakin bisa menang kali ini. Rekor banget. Tiga kalimat dalam satu kali ambil napas.

“Wow, wow. Calm down, Girl. Jangan marah-marah terus, nanti cepat tua lho.” Dengan lancang jari Sam menyentuh kerutan yang terbentuk tanpa kusadari di dahiku. Sentuhan itu segera kutepis dengan keras karena menimbulkan efek merinding di sekujur tubuhku.

“A-apaan, sih,” sergahku demi meredakan gugup. “Aku nggak suka basa-basi. Bisakah kita langsung pada poinnya aja?”

Well, oke. Nggak masalah.” Senyumnya kembali terkembang, setelah itu mulutnya tampak komat-kamit menggumamkan sesuatu. “Heran, Rano bisa tahan pacaran sama cewek pemarah kayak gini sampai enam tahun.”

“Ngomong apa kamu?” Kesabaranku habis. Mama, maaf kalau aku tidak bisa lagi menjadi perempuan lemah lembut dan baik hati seperti yang selalu Mama harapkan selama ini.

**

Ada banyak hal yang harus direncanakan dan Samsir malah terlambat lagi. Ini sudah lebih dari setengah jam lewat dari perjanjian. Aku sudah meluangkan waktu, padahal kafe sedang ramai-ramainya. Kali ini dia tidak akan mudah mendapatkan maaf meski alasannya menemui klien seperti kemarin. Sudah sejak semalam kuingatkan untuk meluangkan waktunya setelah makan siang, seharusnya dia bisa mengira-ngira sendiri dong, jadwalnya.

LET'S (NOT) FALLING IN LOVE (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang