DUA PULUH TIGA

1.2K 103 3
                                    


Ibu menganggap, saat aku keluar untuk mandi dan makan, oh, ingatkan aku untuk berterima kasih pada Sam. Berkat ejekannya, aku memutuskan untuk mandi. Katanya bau badanku sudah seperti bau kandang sapi yang tidak dibersihkan selama seminggu. Huh, kayak dia pernah ke kandang sapi saja.

Aku melahap sup ayam yang dibuatkan khusus oleh ibu. Sejak kejadian malam lalu, ibu berhenti memasak wortel untukku. Sup ayam ini juga tanpa wortel. Memang rasanya seperti ada yang kurang, tapi aromanya jauh lebih baik.

Wanda senang sekali saat melihatku di depan pintu masuk The Farmers. Dia memelukku sambil menangis. “Kamu udah baikan?” tanyanya setelah adegan berpelukan yang nyaris tidak mau dia hentikan.

“Emangnya aku sakit?” Aku menyingkirkan tubuh Wanda yang menghalangi jalan masuk, lalu segera menuju dapur. “Kamu gimana, sih, Nda? Tiga hari lagi kamu nikah, kenapa kafe masih buka?”

“Kupikir aku nggak jadi nikah.”

Aku menggaplok lengannya pelan, Wanda nyengir. “Maaf, karena membuat kalian bertengkar menjelang pernikahan.”

“Oh, jelas kamu harus minta maaf. Kamu juga harus dihukum.” Aku benci saat Wanda bicara sambil mengerlingkan mata seperti itu. Dia terlihat tengah merencanakan sesuatu yang licik.

“Tahu, nggak, kenapa aku nggak pernah setuju kamu jadi kakak iparku?” Tanpa menunggu jawaban dari Wanda, aku melanjutkan kata-kataku. “Karena kamu suka seenaknya.”

Wanda menyatukan telapak tangan di dadanya. “Oh, aku tersanjung. Siapa yang peduli kamu setuju atau enggak.”

Aku kembali memukul lengannya. Dia malah tertawa-tawa sambil kembali memelukku. Diam-diam aku tersenyum. Betapa beruntungnya Wanda, dia memilih lelaki yang tepat untuk dijadikan pendamping hidup. Lelaki yang bisa mengimbangi sifatnya, setia, dan rela berkorban apa saja untuk menyenangkannya.

“Aku senang kamu udah baik-baik aja. Sejak awal aku tahu Rano nggak pernah serius sama kamu, tapi aku nggak bisa bilang itu karena kalian berdua sahabatku.” Wanda mengurai pelukannya.

Kuusap lengannya penuh sayang. “Terima kasih sudah menjadi sahabatku. Aku tahu kemarin aku sedikit berlebihan. Seharusnya aku marah dan memukul Rano daripada nangis dan terpuruk kayak gitu.” Hatiku masih sakit sebenarnya, tapi tidak seperti dua hari lalu. Tidak ada lagi kenangan-kenangan buruk tiap nama Rano terucap dari mulutku. Apa itu bisa kukatakan sebagai perkembangan yang signifikan?

Wanda tersenyum. Dia pasti tahu aku belum sepenuhnya baik-baik saja, tapi memilih mengabaikannya. “Oh, iya. Besok, aku mau ngajak kamu perawatan. Kita spa, ke salon, belanja baju, sepatu. Udah lama kan, kita nggak jalan bareng?”

Keningku mengernyit. “Apa ini ada hubungannya dengan rencana Sam?”

“Rencana Sam? Emang dia bikin rencana apa?”

“Nggak mungkin kamu nggak tahu. Kalian semua pasti udah sekongkol. Termasuk Bang Artha. Iya, kan?”

Kulihat Wanda mengerling. Aku sudah menduga, tidak mungkin Sam melakukannya sendiri. Keberhasilan Sam membujukku pasti juga karena campur tangan Bang Artha dan Wanda. Buktinya, Bang Artha diam saja saat melihat pintu kamarku rusak. Dia hanya memanggil tukang untuk memperbaikinya.

“Aku benar kan, saat bilang Sam bisa bikin kamu hidup kembali?” bisiknya sambil kembali merangkulku. “Cuma dia satu-satunya yang bisa bikin hatimu kembali utuh.”

**

Aku masih memikirkan kata-kata Wanda kemarin bahkan saat tengah menikmati spa dan perawatan tubuh yang dijanjikan Wanda. Gadis itu meminta perawatan tubuh lengkap, termasuk pijat, untuk kami berdua. Rasanya tubuhku rileks dan nyaman.

Apa benar, Sam bisa mengembalikan hatiku menjadi seperti semula? Ah, bukan begitu. Yang benar, apa hatiku bisa utuh kembali setelah hancur berkeping-keping? Aku tak yakin. Namun, setiap yang dilakukan Sam padaku memang selalu mengarah ke situ. Sam membuatku merasa nyaman. Berada dalam pelukannya membuatku menyadari, masih ada yang bisa memberiku cinta bahkan tanpa menuntut apa-apa.

“Kamu kok ngelamun sih, Ras? Keenakan dipijat atau ada hal lain yang kamu pikirkan?” Aku tahu Wanda sengaja menggodaku. Karena itu, aku memilih memalingkan wajah ke arah lain.

Otakku kembali memikirkan Sam. Dalam dua bulan terakhir, aku memang merasakan sensasi perasaan yang berbeda. Mungkin benar, dia sudah mengenalku sejak lama karena menjadi kurir Rano, karena itulah dia jatuh cinta padaku. Ah, mendadak pipiku panas menyadari kenyataan itu. Kugelengkan kepala untuk menepis perasaan berdebar yang tiba-tiba saja hadir di dadaku.

“Kamu lagi mikirin Sam ya, Ras?” Kudengar Wanda terkikik pelan. Kupalingkan wajah kembali menghadapnya, lalu mencibir.

“Kayaknya kamu senang banget kalau aku ketahuan lagi mikirin Sam?”

Kali ini Wanda terkekeh. “Iyalah. Kamu kelihatan bahagia tiap kali mikirin Sam. Aku seneng lihatnya.”

“Emang kelihatan banget, ya?” Wanda mengangguk untuk menjawab pertanyaanku. Aku mendesah. “Padahal aku nggak mau kelihatan kayak cewek murahan yang bisa cepet banget mikirin cowok lain padahal baru putus.”

Wanda tertawa. “Kenapa nggak anggap aja kamu udah putus sama Rano sejak dua tahun lalu?”

Ck. Dia ini memang suka asal kalau bicara, tapi tak kusangka bakal seasal ini. Memangnya siapa yang mau menganggap seperti itu sementara semua orang mengetahui kenyataannya?

“Ras, dua tahun terakhir banyak yang ngira kamu jomlo. Bahkan ada pelanggan cowok yang terang-terangan nanyain statusmu sama pramusaji kita. Aku juga sering dapat pm dari temen Hima dulu, nanyain apa kamu udah putus sama Rano, kok mereka udah nggak pernah lihat kalian jalan bareng.”

Aku terkejut mendengar fakta ini. Jelas saja, selama ini aku fokus pada karierku. Berkutat di dapur membuatku tidak lagi sempat menengok dunia maya. Apalagi kalau sedang sebal dengan Rano. Aku memilih langsung tidur begitu pulang dari The Farmers.

Satu lagi, teman Hima? Aku ikut Himpunan Mahasiswa saat kuliah dulu juga karena Wanda. Aku tak pernah berinteraksi dengan anggota Hima yang lain selain masalah organisasi dan pekerjaan. Jadi, mana kutahu kalau ada di antara mereka yang setia mengikuti perkembangan hubunganku dengan Rano.

“Puncaknya sih, ada yang lihat kalian ciuman di SNQ. Aku kaget waktu ada yang bilang kamu lihat kamu ciuman sama cowok tapi bukan Rano.”

“Jadi sebenernya kamu tahu kejadian malam itu sebelum nginterogasi aku dan Sam?” Aku nyaris memekik kalau tak ingat tempat. Wanda memang jagonya menyembunyikan sesuatu. Lihat saja, dia sampai tertawa saat menceritakan fakta itu.

“Yah, aku nggak percaya sih. Kupikir waktu itu dia salah lihat aja. Eh, rupanya beneran,” ucapnya di sela-sela tawa. “Lagian emang kenapa kalau aku tahu kalian ciuman? Toh, aku setuju sama hubungan kalian.”

Hubungan? Ada hubungan apa antara aku dengan Sam memangnya? Kami bahkan tidak punya hubungan selain pekerjaan. Aku tersenyum kecut saat menyadari fakta bahwa Sam sudah memutuskan untuk melupakanku setelah acara pernikahan Wanda ini berakhir.

LET'S (NOT) FALLING IN LOVE (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang