DUA PULUH DUA

1.1K 114 1
                                    

“Ras, ada Nak Samsir nih, di luar.”

Aku semakin menggelung tubuhku dengan selimut, tak memedulikan ibu yang terus berusaha memanggilku. Memangnya kenapa kalau Samsir ada di luar? Apa aku memiliki kewajiban untuk menemuinya? Sedangkan panggilan Bang Artha dan Wanda saja tidak pernah kupedulikan.

“Sudah, Bu. Biar saya yang panggil.” Telingaku samar menangkap suara Samsir. “Ras, keluar nggak?” serunya.

Aku memilih bergeming, membiarkan Samsir terus berteriak meminta dibukakan pintu. Haha, lucu sekali. Katakan aku sudah gila karena Rano, tapi sampai kapan pun aku tak akan membukakan pintu hanya untuk mendengar ocehan tak bermutu yang pasti akan disemburkan Samsir. Yah, apalagi kan yang bisa dia lakukan selain menceramahiku panjang lebar tentang move on, bangkit, jangan terpuruk hanya karena Rano. Semua itu hal klise yang membuatku makin muak.

“Buka pintunya atau mau kudobrak?” Samsir berseru sekali lagi.

Mendengar ancamannya barusan, aku sedikit terkejut. Apa sebaiknya kubukakan saja pintunya? Ah, kepalang tanggung. Aku pengin lihat, apa dia benar-benar akan mendobrak pintu kamarku, dengan risiko kena omel Bang Artha selama tujuh hari tujuh malam, atau ancamannya tadi hanya gertak sambal yang dia harap bisa membuatku luluh?

Beberapa menit kemudian, kudengar suara gedubrakan di pintu. Tubuhku menegak seketika, lalu oleng karena terbelit selimut dan terguling hingga ke lantai. Kalau tak ada selimut yang membelit, mungkin badanku akan langsung menghantam lantai marmer. Bersamaan dengan bunyi gedubrak yang ditimbukan oleh tubuhku, pintu kamar terbanting keras, terbuka dengan paksa.

Hal pertama yang dilakukan Samsir saat melihatku berusaha melepaskan diri dari belitan selimut adalah tertawa. Tawanya menggema memenuhi ruang kamarku. Dinding kamar berlapis wallpaper warna biru laut seolah ikut bergetar bersama tawanya. Mulutku mengerucut begitu melihat tawanya yang menular.

“Kamu ngapain sih?” tanyanya setelah berhasil meredakan tawa. Tangannya lantas dengan cekatan membantu mengurai selimut yang membelit tubuhku.

“Kamu tuh yang ngapain. Dateng ke rumah orang seenaknya pakai acara rusakin pintu kamar, udah gitu ngetawain pula.” Aku menggerutu panjang setelah tubuhku terbebas dari perangkap selimut yang tadinya kupikir bisa melindungiku. Huh, bahkan selimut saja mengkhianatiku.

“Kita ngobrol di luar aja, yuk. Nggak enak di kamar.” Dia menarik lenganku. Aku bertahan, membuatnya berhenti berusaha menarikku. “Ya udah, kita ngobrol di kamar aja kalau gitu.” Sekarang, dua tangannya menumpu pundakku, lalu mendudukkanku di ranjang.

Sam lalu beranjak membersihkan kamarku yang berantakan. Dia melipat selimut—tempat persembunyianku selama ini, membersihkan bungkus keripik dan kemasan jus yang sudah kosong. Aku baru melihat kemasan jus itu dikerubuti semut saat Sam menyapunya. Selesai membereskan kamarku, lelaki itu lantas mengambil sisir. Dengan telaten dia menyisiri rambutku yang kusut dan berminyak.

Aku merebut sisir itu dari tangannya, malu. Dia lalu memilih berjongkok di hadapanku. Tangannya membantu merapikan helai-helai rambut yang jatuh ke mataku. Jarinya lalu menyentuh bagian bawah mataku, menyusuri garis hitam yang mungkin tercetak jelas di sana.

“Kamu melewatkan banyak hal karena menangis, Ras.”

Tanganku berhenti menyisir. Keningku berkerut tak mengerti.

“Kamu melewatkan pertengkaran Bang Artha dengan Wanda yang kukuh nggak mau menikah kalau kamu nggak keluar kamar sampai hari H. Bang Artha sampai rela nggak masuk kerja cuma buat bujukin Wanda. Kamu melewatkan momen bahagia Tiffany yang menerima lamaran Andrew. Aku baru tahu kalau mereka ternyata pacaran. Mereka minta aku jadi fotografer di acara nikahan mereka nanti.”

Jadi, hanya aku di sini yang merasa sedih dan terpuruk? Semua orang di luar sana bahagia tanpa kehadiranku, kan?

“Yang paling penting, kamu melewatkan aku.”

“Sam....”

Lelaki itu menyentuh tanganku. “Aku tahu, ini bukan saat yang tepat untuk ngomong kayak gini. Tapi ternyata nggak ngelihat kamu seharian bikin aku nggak bisa berpikir. Aku butuh kamu, Ras, kamu tahu itu.”

Aku menelan ludah. Mataku lalu menatap ke tengah mata kopi milik Sam. Kucoba menemukan kebohongan di sana. Yah, bisa saja kan dia mengatakan itu untuk membuatku merasa dicintai. Sejak kejadian kemarin, aku jadi memiliki tameng tak kasat mata untuk mencurigai semua orang.

“Kemarin aku lihat Wanda menangis, dia bilang, dia nggak bisa bahagia kalau kamu nggak bahagia. Dia nggak bisa bahagia di atas semua penderitaan yang kamu rasakan. Dan lebih daripada itu, dia nggak mau bahagia tanpa kamu.”

Nihil. Tidak ada kebohongan di mata Sam. Sampai kapan pun aku menatap mata itu, aku akan terus menemukan kejujuran di sana.

“Aku udah bilang kan, nggak apa-apa kalau sekarang kamu ngerasa buruk. Tapi jangan lama-lama. Aku menunggu.” Tangannya beralih mengelus pipiku. “Apa aku nggak boleh bikin kamu bahagia, Ras?”

Kupalingkan wajah saat merasa mataku memanas. Air mata dengan lancang kembali menetes, padahal, setelah menangis semalaman kupikir air mata itu sudah kering. Sam mengusap air mataku dengan ibu jarinya, lalu tersenyum.

“Lagian, emangnya kamu nggak mau bales perlakuan Rano?”

“Bales? Maksud kamu?”

“Kupikir, acara nikahannya Wanda nanti bakal jadi ajang balas dendam yang tepat.” Sam beralih duduk di sebelahku. Dengan dua tangan, kuusap sisa-sisa air mata di pipi. “Kalau dia ngelihat kamu kayak gini, dia pasti bakal geer dan nganggep kamu nggak bisa hidup tanpa dia.”

Beberapa waktu yang lalu aku memang berpikir tidak bisa hidup tanpa Rano, tapi setelah melewati hari bergelung di kamar tanpa makan dan minum—kecuali keripik dan sekotak jus—buktinya aku masih hidup. Sepertinya, udara luar yang dibawa Sam saat mendobrak pintu kamarku tadi ikut serta membawa pandangan baru. Ya, aku masih bisa hidup tanpa Rano!

“Emangnya kamu mau dia kesenengan karena ngerasa dibutuhin dua cewek sekaligus? Kalau aku sih, ogah. Enak aja. Kayak nggak ada cowok lain di dunia.”

“Sam, bisa nggak, kalau nggak usah ngomongin cowok lain dulu,” sindirku. Sam tertawa lalu mengacak-acak rambutku yang sudah rapi. Aku pura-pura memukul lengannya dengan sisir.

“Kalau dia nggak punya malu sih, dia pasti datang bareng ceweknya. Kan mereka mau nikah, pasti sekalian sama nyebar undangan.” Sam kembali menurunkan tangannya dari puncak kepalaku.

“Terus aku harus gimana maksud kamu?”

Senyum Sam kembali membuatku tersadar. Aku memang sudah melewatkan banyak hal, banyak cinta, banyak kebahagiaan, hanya untuk meratapi orang yang jelas-jelas sudah mengkhianati kepercayaanku.

“Nggak harus gimana-gimana. Kamu cukup dandan yang cantik,” telunjuk Sam menyusuri bagian bawah mataku lagi, “ilangin mata sembab dan berkantong ini secepat mungkin. Senyum yang lebar, tunjukin kamu baik-baik aja. Lalu datang ke nikahan Wanda dengan dagu terangkat.”

Ada desir-desir aneh dalam darahku saat Sam menyentuh daguku dan mengangkatnya sedikit hingga mataku menatap lurus ke depan. Desiran itu semakin nyata saat mendengarnya berbisik sambil tersenyum.

“Selanjutnya, serahkan saja padaku.”

LET'S (NOT) FALLING IN LOVE (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang