TUJUH

1.3K 125 2
                                    

Semalaman aku sudah memikirkan hal ini, tapi ketika berada di depan rumah Samsir, ragu kembali menyerang. Aku sudah berbalik ketika kudengar pintu terbuka. Kugenggam handle tas kain di tangan kanan sekadar untuk mengurai rasa ragu itu. Dengan keyakinan penuh, kembali aku berbalik ke arah pintu yang kutahu sudah terbuka.

Sam berdiri di ambang pintu dengan tatapan sinis yang mengarah kepadaku. Satu dengkusan keluar dari hidungnya saat melihatku. Aku memilih mengabaikan tatapan sinis serta dengkusannya tadi, lalu menerobos masuk ke rumah. Sejenak aku terkejut ketika melihat rumah dalam keadaan berantakan. Namun, sedetik kemudian aku tersadar. Sam tentu kesulitan untuk membereskan semua ini.

Oke, beres-beres rumah menjadi agenda nomor dua hari ini. Pertama-tama, mari siapkan sarapan untuk lelaki keras kepala ini.

"Kamu ngapain lagi, sih?" Sam menarik kursi stainless di ruang makan, lalu mendudukinya. Aku menoleh sebentar untuk melihat ekspresinya, lalu tersenyum kecut saat melihat ketidaksukaan terpancar jelas di matanya.

Kembali kufokuskan diri mengeluarkan makanan yang sudah kusiapkan dari rumah. "Kamu nggak lihat aku lagi nyiapin sarapan?" Ah, kuharap nada suaraku terdengar cukup sengit sehingga bisa membalas kesengitan Sam tiap kali menyambutku.

"Aku kan udah bilang, aku nggak—,"

"Butuh bantuan dariku," potongku cepat. "Right?"

Sam melengos, menghindari tatapanku. Saat sadar aku masih terus menatapnya, dia lantas beranjak. "Aku nggak suka dikasihani," ucapnya singkat sebelum keluar dari rumah.

Tanganku refleks berhenti melakukan aktifitas. Bersama dengan sebuah desahan, tubuhku luruh mengempas kursi. Terduduk dengan perasaan berkecamuk, tak keruan. Jadi selama ini, dia menganggap aku mengasihaninya? Aku melakukan ini karena aku merasa bersalah padanya. Apa itu bisa dianggap mengasihaninya?

Lagipula, kenapa sih Sam harus keras kepala begitu? Tinggal terima permintaan maaf dan semua simpatiku apa susahnya? Pakai drama 'nggak suka dikasihani' segala. Saat berpikir apa yang dilakukan Sam itu hanya drama, senyumku terbit. Aku segera bangkit dari dudukku dan mulai membereskan rumah. Oh, bukan. Kapal pecah lebih tepatnya.

Aku tak perlu memikirkan apa pun lagi sekarang. Seperti saran Rano kemarin, tunjukkan simpati sampai Sam sembuh. Tak perlu peduli dengan perasaannya. Toh, perasaan Samsir tak berpengaruh banyak padaku, kecuali memicu rasa bersalah. Aku akan tetap datang, meski dia terus menolak. Setidaknya akan kupastikan dia benar-benar pulih sebelum memutuskan untuk menghentikan semua perlakuan manis ini.

Samsir pulang tepat saat aku memasukkan pakaian kotor terakhir ke mesin cuci. Kulihat dia langsung menuju kamar, tanpa merasa perlu menyapaku. Bahuku refleks mengedik, kemudian memutuskan untuk menyelesaikan cucian.

Aku mendesah saat melihat jarum pendek jam di dinding menunjuk angka sepuluh. Sementara aku menunggu mesin cuci berputar, tiba-tiba selintas pikiran muncul di kepala. Perban di tangan Sam... apa sudah diganti? Ini sudah tiga hari, seharusnya sudah diganti. Mengingat betapa keras kepalanya Sam yang tidak mau menerima bantuan orang lain, aku sangsi perban itu sudah diganti.

Ragu-ragu kuketuk pintu kamarnya. "Sam, kamu udah sarapan belum?"

Pertanyaan basa-basiku tak mendapat respons. Aku tahu dia keluar tadi untuk sarapan. Ya, tentu saja. Dengan gengsi setinggi langitnya itu, tidak mungkin dia mau memakan sarapan dariku. Di depanku. Entah kalau nanti aku sudah pulang.

"Sam?" Aku mengulangi panggilan, berharap kali ini setidaknya dia menyahut.

Sadar panggilan umum tidak akan membuat Sam keluar dari kamar, aku memutar otak. Seringaiku terbit tanpa kusadari saat memikirkan cara membuat Sam keluar dengan cepat dari kamarnya. Oke, cara ini mungkin terdengar licik, tapi cuma ini yang bisa kupikirkan sekarang.

Buru-buru aku ke ruang makan yang jaraknya tak begitu jauh dengan kamar. Setelah memperkirakan kekuatan tanganku, memastikan agar tidak terlalu bertenaga, kulempar sebuah gelas ke lantai. Suara gelas pecah segera memenuhi ruangan. Karena lemparannya tidak terlalu kuat, pecahan gelas itu tak sampai terlempar jauh.

Seperti dugaanku, Sam buru-buru keluar kamar. Langkahnya terhenti sekitar dua meter dariku. Matanya menatapku nyalang. Bisa kulihat kilatan amarah di sana, tapi aku tak peduli. Toh aku hanya memecahkan gelas, bukan guci keramik yang terlihat mahal di ruang tamu itu. Dengan langkah cepat aku menghampiri Sam. Ya, tentu aku harus cepat kalau tidak ingin Sam kembali masuk ke kamar.

"Kamu kenapa sih, Sam? Segitu marahnya sama aku sampai nggak mau jawab panggilanku? Aku cuma tanya kamu udah sarapan atau belum. Kamu kan masih harus minum obat. Terus ini...." Kutunjuk perban yang membalut tangannya, "sudah diganti belum?"

Aku tersentak saat Sam tiba-tiba tertawa. "Berhenti sok peduli sama aku. Melihatmu begini bikin aku nggak bisa nahan ketawa. Kamu merasa bersalah? Nggak perlu. Aku udah maafin kamu. Tapi tolong berhenti lakuin ini. Aku ngerasa lucu diberi simpati palsu kayak gini."

Entah kenapa rasanya mataku panas mendengar kalimat panjang Sam barusan. Simpati palsu dia bilang? Cih, tahu begitu aku nggak akan pernah merasa simpati padanya. Sejak awal aku memang tak pernah merasa menyesal melempar rolling pin itu padanya. Dia pantas mendapatkannya.

Aku berbalik dan memilih membersihkan pecahan gelas. Kalau semua kalimat Sam tadi kumasukkan ke hati, bisa-bisa hatiku jadi hitam karena perasaan negatif. Aku akan terus-terusan marah bahkan sampai di tempat kerja. Satu-satunya cara untuk meredam kemarahan dalam hatiku karena kesinisan Sam adalah dengan mengabaikannya.

Sam masih berdiri di tempatnya semula sampai aku selesai membereskan cucian. Baju-baju setengah kering itu tinggal diangin-anginkan, tapi rasanya aku sudah terlalu lelah melakukannya. Maka, aku segera beranjak mengambil tas kain di meja makan, lalu menghampiri Sam.

"Masih untung aku cuma ngelempar gelas. Sekarang aku tahu kenapa tidak boleh ada yang masuk ke rumahmu. Kamu akan lebih memilih benda-benda mati di dalam sini daripada manusia. Tapi, Sam, benda mati itu nggak akan bisa membantumu saat kesulitan. Sedangkan manusia yang paling bodoh sekalipun, masih bisa kamu mintai tolong. Jangan memaksakan diri untuk terus marah, untuk terus membenciku. Kita nggak tahu apa yang akan terjadi di masa depan."

Oh, aku tahu diriku keren saat mengucapkan kalimat tadi. Buktinya, Sam terpana sampai mulutnya terbuka sedikit saat melihatku. Tak ingin kekerenan itu tiba-tiba berubah menjadi sesuatu yang memalukan, aku segera meloloskan seulas senyum untuk Sam. Kemudian buru-buru keluar dari rumah itu.

Aku tahu akan melakukan kesalahan yang bisa saja mempermalukan diriku sendiri kalau terlalu lama berhadapan dengan Sam. Kini, saat sudah berada di luar rumah, kusandarkan tubuh di pintu. Sementara itu, tanganku sibuk menekan dada yang terus saja bergemuruh. Napasku mendadak terengah-engah seperti habis maraton seribu kilometer.

Sebuah perasaan asing tiba-tiba menyelinap ke hatiku. Ah, bukan asing. Aku pernah merasakannya tapi entah kapan. Kutarik napas dalam untuk mengurai perasaan tidak nyaman yang membuat perutku mulas. Paling tidak aku sudah melakukan gerakan bagus untuk memberi lelaki keras kepala itu sebuah pelajaran.

LET'S (NOT) FALLING IN LOVE (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang