"Kamu tuh emang nggak pernah mau dengerin omongan orang, ya?" sergah Sam saat membukakan pintu untukku pagi ini.
Seperti kemarin, aku tak perlu mendengar ocehannya. Aku hanya perlu menerobos masuk dan melakukan tugasku. Namun, saat ingin menerobos, Sam mencengkeram lenganku dengan tangan kirinya. Dia lalu mendorong tubuhku menjauh dari pintu. Karena tidak siap, tubuhku limbung dan terjatuh. Aku sudah ingin menyemprotnya karena memperlakukanku dengan kasar, tapi dia menyela. Tak memberiku kesempatan mengeluarkan suara.
"Aku udah berkali-kali bilang, nggak butuh simpati palsu darimu. Tapi kamu terus datang tanpa peduli kata-kataku. Aku nggak pernah ketemu orang yang begitu bebal kayak kamu."
Aku membuang muka. Bebal katanya? Dia yang keras kepala seenaknya mengataiku bebal. Sial. Mataku rasanya panas. Amarahku sudah mau meledak, tapi justru air mata yang meluncur cepat menuruni pipi kiriku. Makanan yang kubawa tumpah berserakan saat aku jatuh tadi, mungkin itu sebabnya aku justru meneteskan air mata alih-alih langsung marah.
Entah karena pandangan yang kabur oleh air mata atau memang aku berharap melihatnya, Sam tampak terkejut melihatku menangis. Tapi keterkejutan itu tak berlangsung lama. Lelaki itu segera menutupi dirinya kembali dengan dinding es tebal. Aku telanjur kecewa hingga tak bisa marah. Aku sedih karena makanan yang terbuang sia-sia, bukan karena Sam memperlakukan diriku dengan kasar.
Sam berbalik memunggungiku. "Jangan datang lagi. Aku nggak akan melepaskanmu kalau datang lagi."
Aku terkekeh pelan melihat punggung Sam yang perlahan ditelan pintu. Hatiku sudah terlalu kacau untuk menyimpulkan apa pun dari kalimat terakhir Sam tadi. Setelah membersihkan makanan tumpah dan membuangnya ke tempat sampah, buru-buru aku pergi dari rumah itu.
Wanda. Hanya satu nama itu yang melintas di pikiranku sekarang. Kukeluarkan ponsel dari tas selempang, lalu menghubungi nomor calon kakak iparku itu.
"Nda, bisa kita ketemu sekarang?" ucapku singkat saat telepon tersambung dan Wanda belum sempat mengucapkan 'halo'.
Aku tahu meski mati-matian kusembunyikan tangis, Wanda akan langsung mengenali suara serakku barusan. Itu saja sudah cukup untuk membuatnya tidak bisa menolak permintaanku.
**
Wanda mengangsurkan segelas es kopi ke hadapanku. Saat aku tak kunjung menerimanya, Wanda meraih tanganku dan menggenggamkan gelas es itu. Aku berjingkat, terkejut dengan sensasi dingin yang menjalar dari gelas. Satu desahan napas kembali keluar dari hidungku. Sesaat aku merasa gugup ketika Wanda terus menatapku. Seteguk es kopi berhasil kutelan demi menghindari tatapan Wanda yang penuh selidik.
"Sampai kapan kamu mau terus ngulur waktu? Aku tahu kamu mau curhat. Cepatlah, atau kita akan terlambat ke kafe."
Kuletakkan gelas es di meja, lalu menekuk kepalaku hingga dahi menempel di meja. Tanpa sadar air mataku kembali menetes. Wanda tampak membelalak saat melihatku menangis. Tangannya terulur menyentuh kepala, mengelus rambutku penuh sayang.
"Ada apa? Rano, ya?" tebaknya.
Masih dengan kepala tertekuk aku menggeleng pelan. Ah, tentu saja Wanda akan langsung mengira ini perbuatan Rano. Selama ini hanya Rano satu-satunya lelaki yang bisa membuatku menangis. Sejenak aku tertegun. Sudah berapa lama aku tak menangis karena Rano?
"Terus?"
Kutegakkan tubuh lalu beringsut menghadap Wanda. "Menurutmu, apa simpatiku pada Samsir itu berlebihan, Nda? Apa merasa bersalah itu sesuatu yang salah? Kok rasanya aku jadi serba salah. Nggak simpati, salah. Nunjukin simpati juga salah."
![](https://img.wattpad.com/cover/141105189-288-k688624.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
LET'S (NOT) FALLING IN LOVE (SUDAH TERBIT)
RomanceNaras Prameswari sungguh sebal dengan pacar jarak jauhnya yang workaholic dan justru menyerahkan tanggung jawab menyiapkan pernikahan sahabat mereka pada orang lain. Pada seorang fotografer pemalas bernama Samsir Hutomo. Sementara menurut Samsir, be...