Y

6.2K 1.1K 121
                                    

Sebenarnya jadi anak rantauan itu tidak enak, kalau lapar harus masak dulu atau beli dulu tapi kalau di rumah sendiri itu langsung tersedia di atas meja, makanya Iqbal senang pulang. Intinya bersama keluarga itu jauh lebih menyenangkan daripada tinggal jauh. Tetapi, jadi anak rantauan itu ada ada manfaatnya, melatih diri lebih mandiri dan tidak bergantung terus kepada orangtua.

Iqbal merasa bosan karena sedari tadi kerjaannya hanya tiduran sambil main game di ponselnya. Ia memutuskan untuk jalan-jalan ke taman kompleks, tentu mengajak adiknya yang lucu dan menggemaskan mumpung hari minggu.

"Iqbal, kondisi kamu belum sembuh total jangan jalan-jalan."

"Gak apa-apa, Ma. Kalau jalan ke taman doang Iqbal masih bisa."

"Yaudah hati-hati."

Iqbal dan Alen pamit, mereka berjalan keluar rumah seraya bergandengan tangan.

Tempat ini gak ada yang berubah, seperti cinta gue ke Valen. Halah kok gue malah baper sendiri.

"Duduk yuk, Al."

Iqbal sengaja memanggil Alen dengan sebutan 'Al' bukan 'Len' karena itu hanya akan mengingatkan Iqbal dengan Valen.

Mereka duduk di bangku panjang yang ada di pinggir taman, kemudian Alen menoleh ke arah Abangnya. "Abang, cinta itu apa sih?"

Spontan Iqbal langsung menatap Alen karena mendengar pertanyaan seperti itu dari bocah 6 tahun, tahu dari mana dia kata cinta?

"Cinta itu seperti sekotak coklat."

"Berarti manis dong."

"Gak selamanya coklat itu manis."

Alen mengangguk, walaupun ia tidak terlalu paham dengam penjabaran cinta tapi sekarang ia jadi mengerti cinta itu tidak selamanya indah.

"Alen tahu kata cinta dari mana?"

"Alen sering dengar Mama dan Papa atau Kak Zea dan Om Zio ngomong 'aku cinta kamu' jadi Alen penasaran."

"Saat Alen dewasa nanti, pasti akan mengerti arti cinta. Tapi jika Alen memutuskan untuk mencintai seseorang, Alen haru siap terluka."

"Kenapa terluka?"

"Suatu saat nanti Alen akan tahu."

Tak lama kemudian muncul seorang anak kecil yang tiba-tiba duduk di sebelah Alen, Iqbal mengernyitkan keningnya karena sebelum itu ia tidak pernah melihatnya. "Hai, Dek," sapa Iqbal ramah sementara Alen sama sekali tidak mengindahkan kehadirannya.

"Nama kamu siapa?"

"Livia Kianara Quinsa, Livia," ujarnya tersenyum menampilkan gigi serinya yang ompong.

"Gak usah senyum, gigi kamu tuh ompong," ujar Alen kepada Livia hingga membuat mata anak kecil itu berkaca-kaca.

"Baru digituin aja udah nangis, dasar cengeng!"

"Alen gak boleh gitu," nasihat Iqbal kepada adiknya.

Isakan tangis Livia semakin terdengar. "Livia kan cumu mau berteman sama Alen."

"Tapi aku gak mau!"

Setelah itu anak kecil yang bernama Livia itu berlari entah kemana.

"Alen kenapa ga suka sama Livia?"

"Dia suka gangguin Alen, dia satu sekolah sama Alen, kemana Alen pergi dia selalu ikutin Alen."

Alen ini tipikal orang yang tidak ingin ketenangannya diganggu, termasuk dingin kepada orang selain keluarganya apalagi termasuk kaum hawa.

Semoga sifat kamu gak kebawa sampai gede, Al. Kasihan cewek-cewek pada patah hati kalau kamu gituin terus.

Iqbal mencubit pipi adiknya. "Jangan cemberut terus, ayo pulang."

***

Alen yang baru samapai rumah langsung nonton tv sedangkan Iqbal ke dapur untuk mengambil minum, ia membuka kulkas langsung meneguk langsung dari tupperware dan mendapat teguran dari Alana yang sedang memasak sesuatu, "pakai gelas, Bal."

"Telat Ma, udah habis juga."

"Kamu belum minum berapa hari, Bal?"

"Baru minum beberapa jam yang lalu. Oh iya, Mama kenal Livia anak yang seumuran Alen gak?"

"Kenapa? Kamu naksir sama dia?"

"Yakali aku naksir bocah, pedofil banget dong."

Tawa Alana pecah mendengar respon Iqbal. "Dia tetangga baru kita seminggu yang lalu."

"Oh, tadi dia samperin Alen pas di taman terus dijudesin sama anak Mama yang sok cool itu."

"Hasil didikan kamu itu."

"Hasil didikan Papa dong, kan Papa yang buat."

Tiba-tiba Gavril muncul dengan seringaian, seolah mengejek Iqbal. "Kasihan deh yang belum bisa buat bocah."

"Ish, Papa. Yaudah aku mau hamilin anak orang. Tanggung jawabnya belakangan kayak Papa dulu."

Alana langsung menatap Iqbal tajam. "Sampai kamu lakuin itu, Mama sunat sampai anu kamu abis."

"Ampun Ma," Iqbal langsung ngacir ke kamarnya seraya menahan tawa.

Keluarga adalah moodbooster terbaik.

Iqbal merebahkan tubuhnya di atas kasur lalu meraih ponselnya yang ia tinggal di atas nakas.

Sudah banyak notif whatsapp dari Naufal, Rara dan Valen.

Ia membuka terlebih dahulu yang dari Naufal.

Naufal : Bal, aku kangen💕

Iqbal mau muntah.

Iqbal : jijik sumpah😤

Setelah itu ia beralih ke pesannya Rara.

Rara : Kak Iqbal, apa kabar?

Iqbal : Alhamdulillah baik

Dan terakhir ia membuka pesan dari Valen, ia sudah mengganti kontaknya Valen tanpa embel-embel calon istri, dosen cantik atau apapun itu.

Valen : Bal

Iqbal : Y

Valen : kamu masih marah?

Iqbal : b aja

Valen : balasan kamu singkat gak kayak biasanya

Iqbal : ogt

Valen : ish, jangan singkat-singkat:( aku harus lakuin apa biar kamu gak marah lagi sama aku

Iqbal : gda

Valen : hah? Ngetik apa? Gak ngerti aku

Iqbal : o

Valen : IqbalQ sayang

"Anjir gue ngakak," ucap Iqbal tidak dapat menahan tawanya.

Valen : Bal, kamu bilang mau lamar aku setelah wisuda nanti, aku tunggu loh

Iqbal : jgn

Valen : kenapa?

Iqbal : bcs ILU

Valen : ga jelas sumpah

Iqbal : emg

Valen : 😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭

Iqbal : 😂

***

Satu part lagi menuju ending, hayoloh apa yang akan terjadi di akhirnya nanti.

Jangan lupa vote dan comment

Sini aku cium satu-satu

Terima kasih

Hello Future (Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang