L

10.3K 1.3K 293
                                    

Rara masih setia di sini, berada di ruangan yang ia benci, saat SMP ia pernah menyaksikan sendiri kakaknya menghembuskan napas terakhir di ruangan serba putih itu. Ia tidak ingin lagi merasakan hal yang sama secepat ini.

Tuhan, aku tidak akan memaksakan hati Kak Iqbal menjadi milikku tapi kumohon Tuhan sadarkan Kak Iqbal dan Kak Valen.

Setetes air mata mengalir dari mata Rara, doa demi doa selalu ia rapalkan untuk kesembuhan dua orang yang berarti dalam hidupnya.

"Kak, maafkan aku yang suka ganggu hidup kamu sejak SMP, aku janji akan menjadi Rara yang baik yang penting kamu bangun, melihat kamu seperti ini seperti ada ribuan jarum tertusuk di hatiku."

Langit yang menginap di rumah sakit bersama Rara masih setia mendengarkan isakan tangisan gadis itu. Ada rasa kasihan di hati Langit melihat Rara seperti itu, Langit memang tidak tahu bagaimana rasanya kehilangan seseorang yang berarti sampai selamanya. Tetapi, ia cukup paham itu adalah hal yang menyesakkan.

"Rara, ayo sarapan. Semoga pas kita balik dari kantin mereka udah sadar."

Rara masih enggan beranjak dari tempat duduknya, pandangannya kosong ke depan, isakan tangis masih terdengar jelas di telinga Langit. "Ayo, Ra. Kita butuh tenaga buat jagain mereka."

Langit membantu Rara berdiri dan menuntunnya melewati koridor rumah sakit. Setelah sampai di kantin, Langit memesan dua porsi bubur ayam dan dua gelas teh hangat.

Sembari menunggu pesanan mereka datang, Langit mencoba ber-dialog dengan Rara, agar gadis di depannya itu tidak melamun terus. Ia meraih tangan Rara di atas meja kemudian menggenggamnya, refleks membuat Rara menatap Langit.

"Jangan kayak orang putus asa gitu dong, yakin mereka bakal baik-baik aja, aku punya keyakinan kalau Tuhan masih membiarkan mereka hidup lebih lama lagi."

Rara tersenyum tipis. "Semoga, kamu gak pulang?"

"Seharusnya kemarin itu balik ke Bandung karena urusanku di sini udah selesai tapi pas lihat orang kecelakaan aku jadi gak tega, terus lihat kamu nangis aku juga gak tega ninggalin."

Rara melepas genggamannya Langit karena sangat tak nyaman digenggam oleh seorang pria yang baru dikenalnya kemarin.

"Kamu kuliah?" tebak Langit.

Rara mengangguk. "Iya. Kamu?"

"Masih SMA."

Mata Rara hampir copot dari tempatnya mendengar kata SMA terlontar dari bibir Langit. Pantas saja wajahnya masih imut-imut, pikir Rara.

Langit tertawa. "Iya kelas 12, sebentar lagi juga jadi anak kuliahan. Lagi survey kampus-kampus di Jogja sih, makanya datang ke sini."

"Tahun ajaran baru juga masih lama," ujar Rara.

"Udah gak sabar jadi anak kuliahan sih. Pengin rasain dunia kuliah itu kayak gimana."

"Lebih enak dari masa SMA cuma tugasnya berat dan yang pasti bakal rindu masa sekolah."

Langit mengangguk paham setelah itu pesanan mereka datang. Mereka menikmati makanan diiringi obrolan-obrolan ringan dari Langit dan Rara.

Langit bisa bangkitin mood juga.

Setelah selesai, mereka kembali ke ruang rawat dan Rara lagi-lagi hanya bisa menghela napas pasrah karena Valen dan Iqbal masih enggan membuka mata.

"Gak hubungi keluarganya aja?" tanya Langit.

Rara menggeleng. "Kalau sampai nanti sore mereka belum sadar, aku hubungi Kak Zea."

"Zea siapa?"

"Kakaknya Iqbal."

Hello Future (Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang