Chapter 11. Searching a Relation

652 44 6
                                    


Fery kesulitan membuka mata ketika mendengar ketukan cukup keras pada pintu kamarnya. Sambil beranjak bangun dan berupaya menenangkan pandangannya yang mulai berkunang dan kepalanya yang sakit, ia pun melihat jam dinding. Pukul 5 sore, berarti ia tertidur hampir dua jam. Diingatnya kembali kejadian tadi siang, ketika Nikki, Ketty dan Vira sibuk menyusun rencana, ia malah mundur dan sibuk memuntahkan isi makanannya. Ia sudah merasa tidak enak badan bahkan sebelum berkubang di pantai tadi pagi, tapi tidak pernah dibayangkan bahwa akan berdampak buruk seperti ini. Menanggapi kekhawatiran ketiga orang tersebut, akhirnya Fery memilih kembali ke kamar untuk beristirahat.

"Woi, Fer, kau ada di dalam, 'kan? Cepat buka!"

Dilihatnya dua kasur di sebelah kanan―kosong. Pantas saja orang di luar sana berteriak-teriak. Tapi, rasanya itu bukan suara Albinus maupun Randa karena mereka pasti memegang kunci masing-masing. Lalu, siapa?

"Ah, sebentar.." Fery berusaha berdiri dan sedikit terhuyung karena pusing. Setelah memegang kenop pintu, ia berusaha menstabilkan pandangan sebelum memutarnya kenopnya. Sedikit terkejut, ia menyambut tamu yang tak biasa. "Denny, Rista, eh tumben sekali kalian―"

"Jangan banyak basa-basi, kami masuk." Tanpa menunjukkan kesopanan sedikitpun, Denny masuk membawa kantong yang entah apa isinya disusul Rista yang juga tidak menyapa Fery sedikitpun. Benar juga. Astaga! Fery tak ubahnya patung penjaga pintu jika dihadapkan dengan kedua orang paling menyebalkan ini.

Denny duduk di kasur tengah sedangkan Rista duduk di samping tepian kasur Fery di ujung. "Tutup pintunya, ada hal penting nih."

Benar-benar seperti babu. Tidakkah mereka melihat wajah Fery yang pucat ini butuh istirahat? Bukan disuruh-suruh begini. Tapi, suatu keajaiban kedua orang yang baru pulang berjaga ini ingin datang ke kamarnya. Hal ini langka sehingga membuat Fery menuruti saja kemauan mereka. "Tumben kalian kesini. Ada apa?"

Fery mengikuti gerak Denny yang mundur menuju tengah tempat tidur dan memberinya ruang untuk duduk. Setelah melihat Fery siap memperhatikannya, ia pun mulai membuka kantong plastik di pangkuannya. "Saat berjaga, kami meminta izin petugas hotel untuk masuk ke teras belakang. Ternyata, kami bisa masuk hanya dengan mengatakan kalau kami teman Freslan. Lalu, kami berjalan memerik―"

"Apa kalian merusak TKP?" potong Fery menatap Denny lalu Rista serius. Bisa bahaya kalau aset yang belum diperiksa polisi itu dirusak.

"Tidak, petugas itu mengawasi kami kok," jawab Rista bernada sewot.

Fery menghela napas lega. Astaga, kenapa kedua orang ini nekat ke teras belakang sih? Ia bersusah payah mendapatkan kepercayaan dari pihak hotel agar bisa bolak-balik dengan sedikit ancaman. Jika mereka yang teman Freslan tidak diperbolehkan memasuki teras belakang, maka tidak ada jaminan mereka akan terus mempertahankan rahasia ini agar tidak terdengar seisi hotel.

"Kami berkeliling kesana kemari dan tidak menemukan apapun. Lalu, ketika aku mencoba memanjat tembok tersebut, aku menemukan ini di luar tembok." Denny mengeluarkan sepatu hitam less putih yang kotor dan berbau tanah basah sebagai pendukung ucapannya. Denny lebih menujukkan tapak sepatunya sedangkan Rista menunjukkan foto jejak sepatu di teras sehingga Fery membagi fokusnya untuk melihat kedua hal tersebut secara bergantian―terutama untuk membandingkan. Matanya terbelalak menyadari hal tersebut. "Mengerti? Sepatu ini yang digunakan pelaku untuk beraksi. Kau juga bisa melihat jejak yang ada di tembok. Kesimpulannya, pelaku kabur melalui tembok."

Fery tersenyum. Tanpa dirinya bergerak pun, ternyata kedua orang ini bisa mendapatkan bukti yang spektakuler. "Kedua hal ini sangat membantu. Kalian luar biasa bisa menemukannya," puji Fery tulus pada kedua orang yang sedang senyum-senyum kesenangan. "O ya, kenapa kalian memberitahukan ini padaku? Apa kalian sudah memberikan pada yang lain juga?"

IN Series 3: LilinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang