PROLOGUE

9.4K 156 4
                                    

Semuanya panik. Baik 120 penumpang maupun belasan awak pesawat yang sibuk memberi ketenangan bagi para penumpang. Bagaimanapun, mereka telah percaya pada takdir ketika mendapat guncangan tak wajar dari kendaraan udara yang mereka tumpangi ini.

Keadaan yang berada di kursi penumpang, tak berbeda dengan cockpit. Peluh sang pilot menetes pelan menggambarkan usahanya untuk tenang dan tetap mengendalikan pesawat yang mulai turun 700 kaki dari langit di atas laut tanpa mampu dinaikkan kembali. Seorang teknisi pesawat ikut andil di ruang ini dan berharap teknisi lain bisa menemukan kesalahan pesawat dan memperbaiki secepatnya. Kesulitan bertambah saat co-pilot berusaha menghubungi menara terdekat namun tidak dapat tersambung. Error Radio. Perbaikan hanya bisa dilakukan saat mereka telah mendarat. Tapi bagaimana dengan keadaan darurat begini?

"Jangan memaksakan diri, Pak," kata sang wakil pengemudi sedikit menenangkan seniornya―sang pilot yang tengah berkutat dengan tombol-tombol. Pria di sampingnya ini telah berpengalaman ribuan kali jam terbang. Ia pasti sering mendapatkan masalah seperti ini. Tapi dilihat dari kepanikannya, mungkin masalah kali ini lebih parah dari yang pernah ia rasakan.

"Apapun yang terjadi, kita harus menyelamatkan pesawat ini. Nyawa penumpang lebih berharga!" tegas sang pilot memandang serius kemudi.

Sang Co-pilot tersenyum. Manusia berkehendak, Tuhan yang menentukan, benar?

Beberapa menit terlewati sangat berat. Hingga Tuhan menunjukkan batasan kemampuan manusia. Pesawat domestik bercorak merah-putih inipun meledak di udara. Asap putih hitam mengepul di langit―bersamaan dengan jatuhnya keping-keping pesawat beserta isinya di tengah samudra luas. Setidaknya jarak meledaknya pesawat tersebut sangat jauh dari seseorang yang baru saja terjun dari pesawat itu menggunakan parasut darurat, terbawa angin dan berada sejauh satu kilometer dari sebuah pulau. Pria muda berkumis tipis dengan kemeja coklat dan celana hitam ini menarik napas sedalam-dalamnya ketika mampu mengapung di laut. Matanya sedikit menyipit lalu sayu menatap parasutnya dan kepingan pesawat berhamburan jatuh jauh di sana.

"Demi nyawa mereka," pria itu mulai mengangkat lengannya dan bersiap berenang―menuju pulau yang ia lihat. "Bertanggungjawablah atas perbuatanmu!"

- To be Continue -

IN Series 3: LilinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang