3. Friendship?

1.7K 144 32
                                    

"Gue nggak tahu gimana caranya berteman, karena gue nggak pernah punya teman."

---

Mungkin menurut Mora, ayahnya terlalu berlebihan. Tetapi bagi Hendri, memang seharusnya ia melakukan ini pada Mora.

Hendri tidak hanya mengantar Mora sampai di depan gerbang sekolah, tetapi laki-laki yang belum tampak menua itu mengantar Mora hingga bertemu dengan wali kelasnya. Hendri menyerahkan Mora dengan sopan dan berharap anaknya bisa belajar dengan baik di sekolah barunya.

Mora termasuk anak yang pintar di akademisnya, tetapi anak itu terlalu tertutup dan anti sosial. Itulah yang Hendri tahu selama ini. Meski ia tidak tinggal bersama Mora, Hendri cukup dekat sebagai ayah dan tahu sedikit bagaimana tingkah laku anak gadisnya itu.

"Pa, sudah. Mora bisa sendiri," kata Mora sambil menghentikan langkah ayahnya yang akan mengantar hingga ke depan pintu kelas.

Hendri tersenyum dan memegang kedua bahu Mora. "Papa lupa kalau kamu udah gede. Ya udah kalau gitu Papa kerja dulu ya. Nanti kamu pulangnya sama Kendra aja." Hendri menepuk puncak kepala Mora dan melangkah pergi.

Mulut Mora membuka ingin mengatakan sesuatu pada ayahnya, tetapi Hendri sudah terlalu jauh. Mora lupa untuk mencium tangan ayahnya.

"Nak, ayo masuk," suara Pak Yoga—wali kelas Mora.

Mora mengangguk dan segera melangkahkan kakinya masuk ke dalam kelas XII IPA 1.

--**--

"Nama saya Mo ...." ucapan Mora terhenti ketika pandangan matanya menangkap sosok yang sangat dikenalnya sedang senyum lebar yang menyebalkan. Mora berdeham sebentar dan melanjutkan perkenalannya di depan kelas. "Nama saya Mora Feryana. Saya pindahan dari SMA Pelita."

"Salam kenal, Mora. Welcome to the jungle," suara cempreng seorang cewek dengan rambut keriting itu sontak mendapat sorakan di seluruh penghuni kelas.

"Huuuuu ... lo kira kita sekumpulan binatang liar? Bukan gitu harusnya, Thin. Welcome to the handsome boy club, Mora," sahut seorang cowok dengan potongan rambut cepak dan jambul yang berdiri dengan kekuatan pomade.

Seketika cowok berambut jambul itu mendapatkan lemparan buku, kertas, bolpoin, dan kalau perlu kursi sekalian dari semua cewek-cewek di kelas XII IPA 1.

Sebenarnya Mora tidak peduli dengan keriuhan kelas pagi itu, tapi yang ia ingin tanyakan, kenapa ia harus sekelas dengan Kendra? Dari sekian makhluk yang ada di dunia ini, kenapa harus Kendra?

"Mora, kamu bisa duduk bersama Yola. Di sebelah sana," Pak Yoga mempersilahkan Mora untuk segera duduk karena guru mata pelajaran jam pertama sudah menunggu di depan kelas.

Karena sudah kelas 12, tidak ada lagi waktu luang untuk bersantai ria saat ini. Bahkan untuk hari pertama masuk sekolah setelah libur panjang kenaikan kelas, mereka sudah harus berkutat dengan pelajaran yang membuat kepala pening.

Mora duduk di sebelah Yola. Meletakkan tasnya di belakang punggung dan segera mengeluarkan peralatan belajarnya.

Mora menoleh ke Yola, ia bingung harus menyapa seperti apa. Sedangkan cewek bernama Yola juga terlihat tidak peduli dengan kehadiran Mora di sisinya. Justru cewek bersuara cempreng yang menyambut Mora pertama kali tadi sudah berbalik dari posisi duduknya dan menatap Mora dengan binar cerah.

"Hai! Kenalin, gue Thina," cewek itu mengulurkan tangannya di depan Mora. Mora menyambutnya dengan ragu.

"Mora."

"Oh ya, kenalin juga. Ini Yola. Dia emang kayak gitu anaknya. Dingin, tapi kalau udah tahu dia nyegerin kok kayak minuman soda." Thina tergelak sendiri hingga guru mata pelajaran yang ada di depan kelas menegurnya.

RE-MORATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang