22. I Don't Believe It

143 17 0
                                    

Bredy sudah lima hari di rumah sakit. Dan dia belum sadarkan diri. Hal itulah yang membuatku sangat sedih akhir-akhir ini. Aku hanya bisa mengurung diri di kamar. Dan setiap sore aku menjenguknya,demi melihat kondisi dia. Namun nihil, tidak ada perkembangan. Ini membuatku semakin pesimis. Sementara orang yang nabrak Bredy terlihat tidak menunjukan sikap simpatiknya. Manusia macam apa itu! Ternyata aku salah mengidolakan manusia semacam dia! Manusia yang tidak berperikemanusiaan.

Tiba-tiba ponselku berdering. Ada telepon dari Om Andhika, adik dari tante Rena.

"Assalamu'alaikum, Diandra!" Terdengar suara beliau sangat panik.

"Walaikumsalam, Om?" Aku pun menjawabnya dengan penuh rasa penasaran.

"Cepetan ke rumah sakit. Bredy... Bredy.. Dia meninggal."

DEG! Aku sungguh tak berdaya. Aku tidak percaya dengan ini semua.

"Om, ini ngga mungkin kan?" Kataku dengan suara terisak isak karena air mataku sudah perlahan membanjiri sekujur pipiku.

"Om serius. Cepetan ke rumah sakit." Kata beliau dan langsung mematikan teleponnya.

Mengapa Bredy pergi secepat ini?

Ya tuhan, aku belum bisa menerima kenyataan pahit ini. Laki-laki yang selama ini mengisi hidupku, hari-hariku, kini telah pergi meninggalkan ku secepat ini untuk selamanya.

Lalu aku mencoba mengirimkan pesan kepada si penabrak Bredy untuk memberitahunya. Bredy meninggal. Setelah itu aku langsung pergi ke rumah sakit tanpa mengharapkan balasan pesan dari dia. Yang jelas aku sudah memberitahunya, dia mau peduli atau tidak, itu urusan dia. Nantinya dia akan sadar sendiri dengan perbuatannya. Kecuali kalau dia bukan manusia. Aku sudah terlanjur membencinya. Entah kenapa hati ini sulit sekali untuk memaafkan Sagara. Aku pun tak tahu. Yang jelas sekarang ini aku sedang membencinya. Entah sampai berapa lama. Bahkan mungkik untuk selamanya. Oh tidak!

Di dalam rumah sakit, aku melihat keluarga Bredy sudah berkumpul semua. Mereka sangat terpukul atas kepergian Bredy. Begitupun aku, wanita yang selama ini mengisi hidupnya, walaupun hanyalah sebagai pacar, namun aku sangat sangat kehilangannya.

Aku segera menghampiri mereka. Bredy terbujur kaku di kasur rumah sakit. Sedangkan tim dokter sedang melepas semua peralatan medis yang menempel di tubuh Bredy. Aku masih termenung. Enggan mendekat ke jenazahnya. Aku tidak sanggup. Sampai akhirnya kaki ku terasa sangat ingin berlari ke hadapan Bredy. Aku memeluknya, menangis di dadanya. Ya aku tau, dia tidak mendengar tangisku. Namun, aku sungguh berharap dia akan sadarkan diri. Namun tidak ada perubahan, dia tetap memejamkan matanya. Sampai akhirnya aku melepas pelukanku karena tim dokter akan membawanya ke mobil ambulance.

Aku ikut mobil ambulance itu bersama tante Rena dan om Andhika. Aku dan tante Rena berpelukan saling meluapkan tangisnya. Sedangkan om Andhika diam terpaku enggan menangis, namun aku tahu, dia juga merasa sangat kehilangan.

Sesampainya di rumah, pihak keluarga Bredy sudah mempersiapkan segala urusan jenazah. Di sana sudah banyak orang dan bendera kuning sudah berdiri di depan pelataran rumah Bredy.

Jenazah siap untuk di mandikan. Dan aku duduk di ruang tamu bergabung dengan orang orang membacakan surat yasin.

"Assalamualaikum." Terdengar suara salam dari depan pintu. Namun suara itu sangat pelan dan sayup sayup. Aku mencoba melihat siapa yang datang.

Orang orang menjawab salamnya. Sedangkan aku tetap melihat buku yasin yang ada di tanganku. Kemudian ku dengar suara langkahnya, mendekat kepadaku. Dan membisikan sebuat kalimat tepat di samping telingaku, "Maaf, maafkan aku." Sementara aku, aku enggan menengok ke arah dia sama sekali. Aku belum bisa memaafkannya.

Dia kemudian ikut mengaji, duduk di sampingku. Aku enggan mempedulikannya. Aku benci oramg yang sekaramg ada di sampingku. Aku benci dia. Dia pembunuh. Dia jahat. Sangat jahat. Dia membunuh orang yang aku cinta, orang yang aku sayang. Baiklah, ini sia sia. Percuma dia minta maaf toh tidak akan membuat Bredy hidup lagi. Pikiran itu terus berkecambuk di otakku, membuat aku tidak konsentrasi mengaji.

"Pergi." Kata itu yang hanya aku bisa lontarkan dari mulutku untuk mengusir dia tanpa aku menatapnya.

Dia menoleh sebentar, walaupun aku tidak menatapnya, tapi sepertinya ada gurat raut sedih di wajahnya. Aku tak peduli. Dan dia pergi menjauh.

Pemakaman selesai. Aku pulang ke rumah dengan rasa kehilangan masih membekas di hatiku. Saat aku sedang menunggu taksi, tiba tiba sebuah mobil sedang berhenti di depanku, dan pengemudi tersebut turun menemuiku.

"Mau aku antar?" Ajak Sagara dengan nada suara pelan.

"Nggausah." Jawabku cuek.

"Ayolah, kamu jangan gini terus. Aku akan sangat merasa bersalah terus jika kamu memperlakukan aku seperti ini."

Aku masih diam. Enggan menanggapi omongannya. Lalu tanpa basa basi, dia memapahku untuk segera masuk ke mobilnya. Aku pun bingung, mengapa aku tidak mengelak sama sekali?

Di dalam mobil aku dan dia tidak berbicara sama sekali. Pandanganku selalu menghadap kaca jendela di sampingku, aku enggan menatap wajahnya.

Sampai akhirnya Sagara membuka percakapan, "Di, kamu masih belum maafin aku?" Aku pura pura tidak mendengar.

"Aku tau kamu masih kesal sama aku. Tapi please jangan diemin aku kaya gini terus, Di." Lanjutnya. Dan aku masih tetap mengarahkan pandanganku ke kaca jendela. Jalan menuju rumahku berasa sangat lama, di tambah lagi dengan Sagara yang dari tadi ngoceh terus.

"Turunin aku disini aja." Pintaku akhirnya. Namun dia tetap menjalankan mobilnya. Entah kali ini mobil siapa yang dia bawa.

"Gue bilang, turunin gue disini. Ngerti nggak?!"

"Ngga, ngga bisa. Aku harus antar kamu sampai rumah."

Aku pun hanya memutar bola mata malas. Dia menyebalkan.

Akhirnya sampai juga di depan rumah. Aku langsung turun dari mobil itu tanpa mengucapkan apapun kepada si pengemudinnya.

"Di, tunggu!" Dia turun dari mobil dan segera berjalan di sampingku.

"Apaan lagi sih?" Tanyaku sedikit dengan nada tinggi."

"Sekali lagi aku minta maaf."

"Minta maaf itu sama Allah." Aku langsung meninggalkannya dan segera menutup pintu.

Dari luar terdengar suara dia, "Diandra, jadi kamu udah maafin aku?"

Sejak kapan aku memaafkannya? Dasar orang kepedean. Ujarku dalam hati.

Aku langsung menuju kamar dan segera membaringkan tubuhku. Rasa hari ini aku merasa sangat lelah. Entah kenapa rasanya aku masih berat rasanya saat kehilangan Bredy untuk selamanya.



-Food&Ball (Need Time)-


Maaf ya semua, aku baru update sekarang. Oh iya minggu depan aku UNBK *ngga nanya😑😂 Doain ya temen temen😊🙏
See you😘

FOOD&BALL (Need Time) [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang