Tiap hari Arofah, ada perkumpulan 40 wali di atas gunung sekitar daerah Makkah. 40 wali ini tersebar ke seluruh pelosok dunia. Dan setiap tahun mereka memang berkumpul di atas bukit itu (maaf tempat dirahasiakan). Di antara mereka, ada wali yang datang dengan cara terbang, naik sajadah seperti Alladin, dan ada pula yang muncul dari bumi (mecungul). Ada pula wali lain yang datang dengan naik burung. Begitu pula ada yang “cling”, bisa langsung sampai lokasi gunung berbukit itu.
Acara tahunan ini dipimpin lansung oleh rajanya para wali yang setiap masa hanya satu orang di seluruh jagad semesta ini.
Ketika para wali sudah berkumpul di atas bukit itu, mulailah terdengar dentuman-dentuman dan lantunan dzikir yang terpancar dari hati mereka. Di atas bukit itu pula, para malaikat berwujud awan ikut menyemarakkan acara reuni tahunan itu, lengkap dengan hembusan angin sepoi-sepoi berlantunkan takbir, tahmid dan tahlil.
Tampak dari kejauhan, di bawah bukit, ada orang yang nampak tidak terlalu tua sedang tertatih-tatih dan sangat kesulitan ketika hendak menaiki bukit. Ini berbeda dengan wali-wali yang datang sebelumnya. Seorang tua ini tampak sungguh sangat kesulitan mencapai titik bukit tujuan.
Dengan tongkatnya, dia berusaha melewati bebatuan yang terjal dan berliku. Kadang harus berhenti sebentar untuk mengatur pernafasannya, lalu beranjak menaiki bukit lagi. Setelah sampai di puncak, gemuruh nafas orang tua ini makin nampak tersengal kecapekan. Pakaiannya biasa, yakni jubah putih kecoklatan dan nampak agak kotor.
Walaupun kelelahan, wajahnya selalu tersenyum. Dari wajahnya, bisa dikatakan orang ini tidak gampang liyan, tawadlu’ dan sopan.
Para wali yang sudah berkumpul pun menghentikan aktifitas setelah melihat kedatangan orang tua ini. Suasana tiba-tiba hening, satu persatu para wali menyalami orang ini dengan penuh hormat dan takdzim.
”Ahlan wa sahlan ya habiballah ya sulthanal aulia,” ucap mereka.
ternyata orang yang tampak biasa sekali ini adalah rajanya para wali. Keramat dan kesaktiannya seakan tidak ada sama sekali. Tak nampak sebagai raja.
”Tolong panggilkan Paidi, arek Indonesia itu suruh ke sini,” ucap sang Sultonul Aulia kepada para wali.
Disela-sela kerumunan para wali, muncullah seorang pemuda dengan jas layaknya tentara dan peci hitam yang agak tinggi. Dari wajahnya, terlihat kalau Paidi ini pemuda yang kocak. Sambil cengar-cengir, pemuda ini mendekati sang Sulthon Aulia dan mencium tangannya.
Setelah Wali Paidi ini menghadap, sang Sulthon berkata padanya, ”Paidi, sini aku minta rokoknya dan tolong sekalian masak air, buatkan kopi!”.
Hehehe, ternyata wali yang kemana-mana membawa rokok dan kopi hanya wali dari Indonesia.
***
Sehabis dari pertemuan di Makkah, Wali Paidi kembali lagi ke Indonesia. Ia ingin mencoba ilmu yang baru saja didapat dari temannya yang juga wali, dari India, Naseer Khan. Ilmu itu disebut sebagai “melipat bumi”.
Teman Wali Paidi ini memang terkenal sakti. Seluruh biksu di India tidak dapat menandingi kesaktiannya. Bahkan biksu dari Tibet banyak yang masuk Islam setelah kalah bertarung dengan Naseer Khan ini.
Ketika berangkat ke Makkah, Wali Paidi “nunut” temannya dari India ini. Wali Paidi hanya disuruh menggandeng tangannya, lalu tiba-tiba saja “cling”, Paidi dan temannya, Naseer Khan, sudah berada di Makkah, di atas bukit tempat pertemuan rutin.
Dan karena kasihan, Wali Naseer Khan ini mengijazahkan ilmu melipat bumi kepada Wali Paidi, supaya di acara pertemuan-pertemuan yang akan datang, dia tidak repot mencari tebengan lagi.
Wali Paidi mencoba memejamkan matanya, dan mulutnya mulai berkomat-kamit membaca doa-doa khusus. Tiba-tiba tubuh Wali Paidi terasa dingin. Bumi yang didudukinya terasa seperti es. Wali Paidi membuka matanya. Dan tampak di depannya sebuah bukit yang tertutup es. Lalu dia melihat ke bawah. Trenyata, bumi yang didudukinya juga terbuat dari es.
“Dimanakah aku ini,” batin Wali Paidi.
Wali Paidi berdiri, melihat sekelilingnya. Semuanya tampak putih tertutup salju. Wali Paidi kemudian berjalan mengitari tempat yang belum pernah dilihat selama hidupnya, sepi tiada orang sama sekali.
Lamat lamat wali paidi mendengar ada orang yang bersenandung membaca sholawat. Dengan perlahan, Wali Paidi mengikuti asal suara senandung sholawat tersebut. Dan tampaklah di depannya seekor Beruang Putih, membungkuk di tepi sungai, mencari makanan ikan segar.
MasyaAllah, ternyata yang bersenandung itu bukan manusia, tapi beruang putih itu. Wali Paidi berhenti. Beruang Putih itu menoleh kepada Wali Paidi dan berkata kepadanya, “Assalamu’alaikum,” ucap Beruang itu.
“Waalaikumus salam,” jawab Wali Paidi dengan penuh perasaan, kaget dan heran.
“Kamu Wali Paidi ya? Aku tadi dapat kabar kalau nanti ada orang yang kesasar ke sini, namanya Wali Paidi,” terang beruang itu.
Setelah memakan ikan yang baru didapat, sang Beruang Putih itu melanjutkan dan berkata lagi,
“Kamu jangan kuatir. Memang sudah biasa. Orang belajar itu tidak bisa langsung menguasai ilmu yang baru didapatnya, cobalah sekali lagi,” kata beruang tersebut lalu pergi meninggalkan Wali Paidi.
Wali Paidi diam seribu bahasa. Ia mendongak ke atas, melihat posisi matahari. Ternyata dia kesasar ke Kutub Selatan, dan bertemu Beruang Putih yang bisa bicara, bersholawat dan dzikir saat dia bekerja mencari ikan segar untuk dimakan.
Setelah shalat sunnah dua rokaat, Wali Paidi pun mulai merapal doanya kembali, dan cling! Entah sampai mana lagi dia selanjutnya. [dutaislam.com/ab]
KAMU SEDANG MEMBACA
KISAH WALI PAIDI 1 - 40 (Full Episode)
Mystery / ThrillerWali paidi adalah anak ketiga dari tiga bersaudara, dia anak terakhir, kakaknya yg pertama namanya sholeh dan sekarang dia jadi kiai di daerah Kediri, punya pondok salaf kecil, yg hanya ramai ketika bulan ramadlan, sudah menjadi budaya kalau bulan r...