"Hati-hati, Ma, Pa..." Dalam suara Karen, aku bisa mendeteksi adanya selaput tipis yang dijaganya baik-baik agar emosinya tidak pecah. Karen memang tidak menangis, tapi aku tahu jauh dalam lubuk hatinya itu dia mati-matian menguatkan diri. Bagaimanapun, Karen adalah anak satu-satunya. Tidak berbagi kasih sayang orangtuanya dengan siapa pun membuat mereka mempunyai ikatan yang lebih erat.
Punggung kedua orangtua Karen perlahan lindap tertutup lalu lalang orang. Selama beberapa saat, aku dan Karen masih membisu di tempat.
Hari ini ... akhirnya datang juga, bukan?
Usai malam terakhir ketika kami berdua menghabiskan ronde di bawah sinar rembulan, waktu seolah merangkak lebih cepat. Ah, bukan merangkak lagi, bahkan berlari. Seperti aku tengah mengirup napas dalam-dalam untuk meneguhkan hati, namun belum sempat aku membebaskan udara dari peparu, kami tiba-tiba saja sudah sampai pada tempat ini. Bandara yang tak pernah mengenal sepi.
"You have to go... back, too."
Aku mengerjap. Bersitatap dengannya.
Kemudian menggeleng. "Aku bakal tunggu kamu sampai kamu bener-bener pergi."
"Ra..." Sorot matanya tampak memohon, ditambah nadanya yang memelas. Sempat terkesima sejenak, aku tertawa pendek.
"Kenapa sih, Ren? Gitu banget."
Detik berikutnya, pergelanganku sudah terkunci dalam genggamannya. "I'm serious." Berbeda dengan sebelumnya, kini Karen lebih memberi desakan pada raut wajahnya. "Kamu nggak perlu menemaniku selama itu. Kamu boleh pergi sekarang, main sama teman-temanmu, atau tidur seharian, bahkan. Apa aja. Selain di sini."
"Kena--"
"Ra, aku nggak menunjukkan segalanya bukan berarti aku nggak merasakannya, you know? Kehadiran kamu yang lebih lama di sini malah bikin keputusanku akan cepat goyah."
"Hei," selaku. "Karen. Aku tahu banget kamu. Kamu nggak mungkin semudah itu untuk berbalik ketika kamu udah menyiapkan segala bekal untuk melangkah ke depan. Dan, nggak, aku mau tetap di sini. I'll stay. Even if you don't want me to. Don't you think that... our last seconds here matters?"
Karen menghela napas. Mengusap wajahnya yang berangsur kusut. Sementara aku segera mengambil posisi duduk, bersandar, dan menyilangkan lengan di depan dada. Namun melihat Karen kukuh tetap berdiri dan seperti tengah mencari-cari cara untuk mengenyahkanku dari radiusnya, aku mencebik. Kuraih tangannya dan menggenggamnya erat. Menariknya cukup kuat hingga tubuhnya terduduk di sebelahku.
"Duduk di sini. Aku bakal diam. Kamu boleh anggap aku nggak ada," kataku datar.
Selanjutnya, kami benar-benar diam. Sementara di sekitar kami ramai. Di penghujung ketidaktahananku akan kesunyian di antara kami itu, aku mengarahkan pandangan pada spasi kecil di antara kami; tautan jemariku dan Karen. Aku memang sengaja tidak melepasnya dan Karen pun tampak tidak mau tahu soal itu. Pandanganku kemudian menjalar pada sisi samping wajahnya yang terlihat. Mengamatinya beberapa saat. Hingga kepalaku kusandarkan pelan pada bahunya.
Tidak ada pemberontakan. Aku tersenyum.
"Aku bakal kangen kamu banget, Ren," ujarku perlahan sambil memainkan jarinya dalam genggaman.
Benar kata Karen tadi. Bahwa ketika dia tidak menunjukkan adanya reaksi akan sesuatu, bukan berarti dia tidak merasakan apa pun tentang hal itu. Aku mungkin telah mengabaikan Karen dalam waktu yang lama, membiarkannya menyaksikanku memberi hati kepada orang lain tanpa benar-benar memikirkan perasaannya. Karen bisa saja menjauhiku atau berusaha keras untuk membuatku melupakan Jiro, tapi dia tidak pernah melakukannya walaupun dia mampu. Karen tetap berada di dekatku bahkan sampai sekarang, dimana aku mulai bertanya-tanya apakah aku pantas menerima ketulusannya.
"Di sana, kamu harus cari teman yang banyak, oke? Yang nggak neko-neko, yang bisa buat hari-hari kamu di sana nggak membosankan, juga yang sevisi sama kamu. Kalau nemu cewek yang cantik dan baik hatinya kayak aku langsung gerak cepat, ya! Jangan biarin dia sama orang lain, kalau udah merasa tepat nggak usah ngulur-ngulur waktu. We don't know what'll happen next, rite?"
Melihat jari-jari kami, sudut bibirku terangkat. Perlahan, kulepas genggamanku dan kutarik tanganku menjauh. Namun tak menunggu lama, tangan Karen kembali meraih jemariku dan membungkusnya erat dengan miliknya.
"Then...," katanya tegas sampai membuatku mengangkat kepala untuk bertemu dengan sepasang almond miliknya, "will you marry me?"
Hening. Kepalaku menegak. Mataku melebar.
"Gila ya kamu," jawabku sambil melepas kekehan kaku.
"Nggak. Aku serius."
Aku menelan ludah. Tanganku berusaha kulepas dari kurungan jemarinya. Bagaimana aku bisa berpikir bahwa Karen sedang berada dalam pikiran yang jernih kalau kalimat tadi terlontar dari mulutnya di saat-saat seperti ini? Sayangnya, entah untuk menegaskan keseriusan yang dia bilang atau apa, Karen tak meloloskan tanganku semudah itu.
"Kamu kenapa, sih?" Berpura-pura sebal adalah jalan terbaik. Lagi pula, astaga, menikah?
Karen malah menatapku menantang. "Kamu sendiri yang bilang kalau merasa udah tepat, nggak perlu mengulur-ulur waktu. Then I asked you, will you marry me? Ada yang salah?"
Kupikir rahang bawahku sudah jatuh ke lantai dengan penjelasannya itu.
"Ya ampun, Ren. Itu, tadi ... maksudku itu ... kalau kamu--eung, maksudnya bukan sekarang, tapi ..."
Karen menghela napas. "Tapi?"
Aku megap-megap seperti ikan, tak kunjung menemukan kata yang tepat. Lalu, bahuku merosot. "Did you seriously just propose to me?" tanyaku dengan tatapan kosong pada ubin.
"Kamu nggak perlu jawab sekarang. Aku nggak mau memberi kamu beban pikiran. Tapi, aku serius, Ra."
Tidak mau memberi beban pikiran? Astaga.
"Tapi, kenapa...."
.... kenapa harus di saat-saat seperti ini? Ketika aku hendak melepaskan Karen agar dia bisa mendapatkan hal-hal yang seharusnya dia dapatkan, yang lebih baik dariku?
Kurasakan hangat telapak tangan Karen di sebelah pipiku ketika dia menyejajarkan wajahku padanya. "Aku nggak suka tatapanmu itu. Apa pun yang kamu pikirkan sekarang, itu nggak penting, oke? Ini keputusanku, Ra. Dan kamu bebas untuk menolakku, tapi nggak dengan berusaha membuangku."
Aku membuang pandangan ke arah lain demi menghindari sorot matanya. Pikiranku ricuh, namun juga kosong di saat yang bersamaan. Tatkala mata kami kembali bertemu, ada dorongan untuk tenggelam dalam pelukannya. Dan itu yang kulakukan. Merengkuhnya erat dan membenamkan wajahku pada dadanya.
"Aku nggak tahu kamu bisa segila ini. Ngajakin nikah lagi. Memang kamu yakin mau nikahin aku? Baru lulus SMA aja songong. Dasar," bisikku.
Tidak ada balasan darinya. Lagi-lagi geming bergulir. Hingga Karen membubuhkan kecup di pelipisku dan merobek keheningan setelahnya dengan kalimat terakhir sebelum dia benar-benar jauh dalam jarak.
"Aku sayang kamu, Laura. No doubt."
end.
notes;
OK. Akhirnya selesai juga! Fiuh. Aku tahu cerita ini nggak sesempurna itu, dan mungkin nggak mencapai ekspetasi yg kalian inginkan. But i did enjoy writing this a lot, because i love them, Karen dan Laura. Masih ada kemungkinan aku akan merombak lagi cerita ini di waktu lain, tp itupun blm tentu mengubah semuanya.
Jadi, gimana menurut kalian? Suka nggak? Suka, plis. Hahaha.
Last but least, terima kasih banyak buat yang bersedia nungguin cerita ini tamat, dan yang menyempatkan buat baca sampai akhir. I adore you so much! Sampai jumpa di cerita-ceritaku yang lain, ya! 🌿
KAMU SEDANG MEMBACA
whom (s)he loves
Short StoryHe loved, she didn't. How typical. [Spin-off dari Couldn't Expect That] [DISARANKAN MEMBACA "COULDN'T EXPECT THAT" TERLEBIH DAHULU] © 2017 all rights reserved by fluoresens.