Bila dihitung-hitung, kejadiannya mungkin sekitar empat tahun lalu—tepatnya di ujung tahun kedua pada masa putih-biru. Aku dan Karen yang sama-sama tergabung dalam organisasi intra sekolah semasa itu sedang sibuk-sibuknya mengurus acara untuk menutup akhir tahun ajaran. Class meeting dan pentas seni, kalau tidak salah. Kami beserta anggota lainnya rela pulang lebih larut demi kesuksesan acara. Di tengah-tengah persiapan yang melelahkan itu, semuanya terungkap.
Mulanya aku pikir saking kehabisan tenaga dan kemungkinan pula otaknya yang tidak bekerja dengan baik, Karen sekadar bercanda atau bahkan melantur. Atau boleh jadi pendengaranku yang butuh pemeriksaan khusus.
Kala itu, kami berdua kebetulan mendapat tugas memasangi hiasan mengelilingi lapangan tengah sekolah. Karen menawarkan berdiri di meja dan mengikat tali-temali sementara aku membantunya dari bawah. Matahari sudah condong ke barat. Tapi tentu saja itu bukan tanda kami akan pulang sebentar lagi.
"Cepet dikit dong, Ren." Aku tidak sabaran berkata padanya. Rasanya ingin cepat-cepat mandi dan membasuh keringat yang melengket pada tubuh. "Gantian aku aja deh kalau kamu capek," aku kembali mengajukan diri untuk entah berapa kali.
Dan berkali-kali juga Karen menolak. "Duduk aja, Ra, kalau kamu juga capek."
Aku mendengus. Tidak juga putus asa. "Ah, kamu nggak ngerasain sih di bawah sini rasanya ngebosenin kayak apa. Sekali aja, plis, kita tukeran. Ya?"
Karen berhenti melakukan pekerjaannya dan aku menganggapnya sebagai tanda kekalahan. Namun alih-alih, dia malah berkacak pinggang sambil menunduk menatapku. "Kalau kamu pengin ini cepet selesai, biarin aku aja, oke? Dan kalau kamu bosan, aku nggak keberatan kamu jalan-jalan bentar."
Aku merengut. "Pelit."
"Hemm."
"Ren."
Dia kembali bekerja dan tampaknya kali ini mengabaikanku.
"Karen...."
"Ren...."
"Astaga, Ra." Karen menghela napas. Mencipta cengiran lebar di bibirku.
"Ayolah, Ren, sekali aja, pretty please?"
"Nggak ada."
"Please please?"
"Nggak."
Aku mengambil napas dalam. Sebenarnya, semakin ke sini, aku bukannya sangat ingin kami bertukaran. Aku hanya sekadar ingin menggoda Karen—kurang lebih, untuk mengusir kejenuhan, mungkin? Jadi aku memelas lagi, "Kenapa sih, Ren? Kan cuma sekali doang. Lagian juga—"
Sayangnya, aku tidak tahu apa yang tengah berputar dalam kepala Karen saat itu.
Karena detik berikutnya, suara Karen terdengar, satu oktaf lebih tinggi dari biasanya. "Ya ampun, Ra, aku nggak mau kamu kenapa-napa!" Wajahnya menghadapku dan itu sudah lebih dari cukup kalau dia sedang tidak bercanda. Gurat wajahnya mengatakan segalanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
whom (s)he loves
Historia CortaHe loved, she didn't. How typical. [Spin-off dari Couldn't Expect That] [DISARANKAN MEMBACA "COULDN'T EXPECT THAT" TERLEBIH DAHULU] © 2017 all rights reserved by fluoresens.