vii: it's hard to leave you

529 124 11
                                    

Semenjak Karen menemaniku datang ke resepsi pernikahan seorang sepupu jauh, frekuensi pertemuan kami mulai menipis

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Semenjak Karen menemaniku datang ke resepsi pernikahan seorang sepupu jauh, frekuensi pertemuan kami mulai menipis. Aku tidak menghubunginya karena aku tahu kalau dia tengah sibuk mempersiapkan studinya ke luar negeri. Sementara kerjaanku hanya bermalas-malasan di rumah. Terkadang menonton serial tanpa henti atau menyibukkan diri dengan membersihkan tiap sudut-sudut rumah--yang ditanggapi dengan heran oleh orangtuaku. Selebihnya, kuhabiskan waktu bermain dengan teman-teman; mencari tempat oke untuk foto-foto, berkaraoke, sampai mendekam di sebuah restoran sambil mengobrol tak berujung.

Barangkali bila dibiarkan, aku akan lupa jika mengenal nama Karen Wijaya dalam hidupku. Selama itu pula Karen tidak pernah menghubungiku. Media sosialnya nihil akan tanda-tandanya masih hidup--yah, walaupun dia jarang sekali menunjukkan eksistensi dalam dunia maya, sih. Pokoknya, begitu. Aku sempat berpikir, jangan-jangan justru Karen-lah yang telah melupakanku. Namun gagasan tersebut untungnya tidak terbukti lantaran sekarang namanya terpampang pada layar ponselku.

"Ha--"

"Aku di depan rumah kamu. Turun, oke?"

Tutup.

Aku menghela napas. Melempar tatapan pada langit gelap di luar.

Setelah mematut diri sejenak di cermin, aku lantas bergegas menghampiri Karen. Mobilnya terpakir di bawah pohon mangga yang lumayan besar di depan rumahku. Karena tak menemukan sosoknya di mana pun, aku memutuskan untuk langsung membuka pintu mobilnya.

"Karen!" pekikku secara tak sadar begitu melihatnya duduk santai di balik stir. Rasanya aku hendak memeluknya saat itu juga. Raut pada wajahnya membuatku gemas tak karuan.

"Miss me that much?" tanggapnya setelah aku menutup pintu mobil dan Karan mulai menjalankan mobil.

"Yes," jawabku mantap. Masih dengan cengiran yang entah akan luntur kapan. "Mau ke mana kita?" tanyaku kemudian dengan bernada khas serial kartun masa kecil.

"Hm, makan piza?"

Aku terdiam. Menoleh. "Hah?" Aku tidak salah dengar?

Karen cuma tersenyum miring.

"Piza? Serius? Kamu nggak kesambet apa gitu selama nggak ketemu aku?"

"Seriously. Nggak pernah makan piza sama kamu bukan berarti aku alergi piza, Laura."

"Aku tahu. Kamu memang nggak alergi. Cuma, kamu sejarang itu ngajakin makan piza, Karen. Jadi, maklum kalau aku kaget."

"Ya, oke."

Aku masih menatapnya penasaran. "Kenapa mendadak begini?"

"Apanya?"

"Ngajakin makan piza. Kenapa nggak dari kemarin-kemarin aja gitu."

"Hm...." Jawabanku masih digantungkan olehnya ketika kami memasuki pelataran parkir sebuah resto piza. Tempat ini memang tidak terlalu jauh dari rumahku, jadi hanya membutuhkan beberapa menit saja untuk mencapainya. Aku cukup sering mengenyangkan perut di sini dengan keluarga jikalau salah satu dari kami sedang ingin makan piza.

"Hm hm?" Aku mendesaknya memberikan jawaban.

Karen menarik handbrake dan balik menatapku. "Because I want to make this special."

Tak menunggu lama untuk dahiku mengerut.

"Beberapa hari lagi aku bakal pergi. Jadi, sebelum itu, aku mau melakukan hal yang belum pernah aku lakukan sama kamu. Makan piza, salah satunya."

"Beberapa hari lagi!?" Aku melotot. "Kayak, dua, tiga, empat hari lagi gitu?"

Karen mengangguk.

"Kenapa kamu nggak pernah cerita?" tanyaku sedikit kesal.

"Aku pernah bilang 'kan kalau aku berangkat sebelum perpisahan kamu?"

Otakku sigap memilah-milah memori. Mataku berkedip cepat ketika jawaban kudapat. "I ... iya, sih. Tapi maksudku itu, kenapa nggak ngabarin lagi kalau keberangkatanmu udah dekat banget? Like, 'beberapa hari lagi' itu udah mepet!"

Menyebalkannya, Karen hanya memandangiku dalam diam. Astaga, sebenarnya, apa sih isi kepalanya itu? Iya, aku tahu kalau dia pernah mengatakan kalau hari berangkatnya ke Jerman itu sebelum hari perpisahanku. Kuakui aku sempat lupa akan hal itu, membikinku terkejut setengah mati. Tapi, apa salahnya juga memberitahuku lagi? 

"Jadi makan piza?" katanya kalem setelah beberapa jenak hening menghampiri.

Aku mendengus. Lalu membuka pintu mobil kelewat gusar.

w s l

"Ra, mau bubble tea?"

"Udah kembung."

"Creme puff?"

"Masih kenyang."

Tanpa direncanakan, kami berdua menghela napas bersamaan.

Sepanjang menikmati piza di resto tadi, aku masih merasa jengkel pada Karen. Meskipun di sela-sela memamah roti bertoping itu Karen membagi cerita-ceritanya tentang persiapan apa saja yang telah dia lakukan selama nihilnya pertemuan kami, aku sekadar mendengarkan. Paling-paling, hanya secuil pertanyaan yang kulontarkan, itu pun pendek-pendek.

Sampai terduduk kembali di mobil pun, aku betah membisukan diri.

"Oke, sori," ujarnya pelan. "Aku memang salah karena nggak kasih tahu kamu lebih lanjut."

Pandanganku tetap bertahan pada lansekap di luar jendela.

Karen tidak melanjutkan. Yang kutemukan berikutnya adalah dia kembali menepikan mobil mendekati trotoar. Sebagai tanda tanya, aku baru menoleh ke arahnya.

"Aku mau wedang ronde. Kamu?"

"Nggak, deh," sahutku.

"Yakin?"

"Iya."

"Padahal enak, loh, ronde di sini. Isinya--"

"Iya, iya, ikut!"

Karen tersenyum puas. Aku mendengus. Melepas seatbelt setengah hati. Sebelum aku sempat meraih kenop pintu, lenganku ditahan.

"Kenapa lagi?"

"Maaf." Dia menjeda. "Kalau kamu menganggap diri kamu nggak seberharga itu bagiku hanya karena masalah tadi, itu nggak benar, Ra. Aku nggak kasih tahu kamu lagi karena ... you know, it's also hard for me to think it's getting closer for me to go. To leave you. Jadi aku berusaha nggak menghubungi kamu selama mempersiapkan segalanya, karena aku tahu, keputusanku akan cepat berubah semudah itu kalau aku dengar suara kamu sekali aja. Dan sekarang...."

Aku menyentuh lengannya.

Mata kami bertemu.

"Aku paham," ucapku. Lebih kepada tidak tahan mendengar penjelasannya lagi. Bukan apa-apa, tapi aku tidak yakin untuk tidak akan menangis apabila Karen melanjutkannya. Ketulusan dalam nada bicaranya membuatku hangat. Aku juga mendeteksi adanya keputusasaan.

Entahlah. Aku menjadi bimbang untuk berpikir atau melakukan apa.

"Ren," panggilku. Dia balas menggumam. Aku menelan ludah. "Did you ever want me to love you back?"

Matanya melebar sedikit. Tapi tanpa ragu Karen menjawab, "I did.

Aku mengembuskan napas.

"... and I still do. Of course."

Usai itu, Karen meremas jemariku lembut. Menyalurkan rasa hangat yang aman dan nyaman.

w s l

notes:

again, my rambling. i hope this is good enough.

whom (s)he lovesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang