Berminggu-minggu telah berlalu semenjak aku melaksanakan Ujian Nasional tingkat SMA. Ada rasa lega yang melingkupi. Beban di pundak sekaligus yang terus memenuhi bilik-bilik otakku selama beberapa bulan terakhir berangsur-angsur menipis. Sebelum ujian-ujian sekolah itu datang padaku, kuakui kepalaku seakan ingin terbelah menjadi dua. Terlalu banyak hal yang bertubi-tubi mampir. Mulai dari keberhasilan, kegagalan, pandangan orang, sampai meragukan kemampuan diriku sendiri. Minggu-minggu itu adalah waktu yang paling membuatku merasa mengidap penyakit akut.
Dan sekarang, aku merasa seperti terlahir kembali. Baru saja kemarin, pengumuman seleksi masuk perguruan tinggi negeri lewat jalur undangan membuat heboh. Euforia akan mereka yang berhasil masuk tanpa harus melewati ujian lagi--yang lebih susah tentunya--menguap dalam sekejap. Aku, termasuk salah satunya. Tanpa harus menguras tenaga lebih lagi, aku bisa bersantai-santai sedikit.
"Aku keterima!" seruku dengan semangat yang berusaha kutahan agar tidak terlalu membuncah. Karen tertawa kecil di seberang. Senyumku tidak bisa lebih lebar lagi mendengar kekehan itu. "So, how about you?"
"Everything's going well," katanya pelan. Aku mengangguk, dalam hati berkata, tentu saja! "Jadi ... kapan kamu bakal ke Bandung?"
"Hmmm... belum tahu. Mungkin bulan depan, sekalian pendaftaran ulang juga, kan?" Aku memindahkan letak ponsel dan mengubah posisi berbaring di ranjang. "Tapi, Ren, kamu... beneran, serius, yakin, mau ke Jerman?"
"Yes."
"Tapi, kamu juga keterima di Bandung, kan? Dan jurusan itu pun nggak main-main juga lho, Ren. Nggak eman-eman apa? Kan kasihan tuh mereka-mereka yang berjuang banget dan berharap banget masuk ke situ, sementara kamu yang udah diterima justru melepasnya begitu aja. Nggak bisa emang kalau...."
"Ra."
"... ya?"
"Why don't you just tell me not to go?"
Aku meringis. Sialan. "I was going to! Tapi sebelum itu, aku memaparkan aja alasan-alasan yang kiranya mendukung."
"Hmm..."
"So, still Jerman?"
Jeda tiga detik. "Probably."
Aku menghela napas. Untuk beberapa hal, entah mengapa aku merasa enggan untuk merelakan kepergian Karen. Kalau beda daerah sih, asal masih satu negara, aku masih oke-oke saja. Namun, Jerman terdengar begitu asing dan jauh sekali. Kenyataannya, memang Indonesia-Jerman terpaut jauh sekali dalam jarak. Perjalanan yang harus ditempuh bukan lagi tiga sampai delapan jam, tapi mungkin dua kali lipat dari itu. Terlebih, energi yang harus terkuras pun lebih banyak.
"I'm afraid," lirihku setelah hening panjang.
"Hm?"
"To lose you."
Aku memejamkan mata.
Jujur saja, selama pikiranku tercurah sepenuhnya untuk bekerja keras demi mendapatkan yang terbaik sebelum melepas seragam putih-abu-abu, ada satu hal pula yang luput kusebutkan: mereka yang berarti. Aku merenung banyak dan tanpa sadar mengeliminasi orang-orang yang hanya sekadar berseliweran tanpa arti di hidupku. Sementara itu, aku pun memilah mereka-mereka yang bisa kupercayai dan dapat menjadi sandaran kapan pun aku butuh. Dari itu semua, Karen menempati daftar atas, meski bukan yang pertama--tentu saja, keluargaku yang utama. Dan mengetahui bahwa Karen memilih jalan yang tak pelak akan berjauhan denganku membuatku cemas.
"You will never lose me, Ra. Aku mungkin akan berada sangat jauh dari kamu, tapi kapan pun kamu butuh, aku bakal usaha supaya bisa ada buat kamu."
"Tapi empat tahun itu bukan waktu yang singkat, Ren."
"I know."
Aku membisu.
Kemudian, ada gelak renyah dari vokal beratnya. "Hei, nggak usah cemas banget gitu, kali."
"Aku cuma takut aja. Kemarin-kemarin, aku baru sadar bahwa nggak semua orang yang kenal aku benar-benar peduli. Orang-orang yang bahkan terbilang sering banget main sama aku, belajar bareng dan apa pun itu, nggak semuanya benar-benar tulus. Oke, mungkin mereka memang tulus, cuma ya--menurutku--hanya di waktu-waktu tertentu. Out of all people I know and I often laugh with, only several care with me just like you do."
"Dan memang begitulah dunia, Ra. Kita memang cuma punya segelintir orang yang bener-bener peduli dan tulus tanpa mengharap imbalan apa-apa sama kita. Keluarga aja terkadang masih ada yang nggak menghargai satu sama lainnya, apalagi mereka yang nggak memiliki hubungan darah sama sekali?"
"Right. And that's why.... Aku takut kehilangan orang-orang ini, Ren. Contohnya, kamu. I realize you care so much about me, meskipun aku bebal dan keras kepala, suka bikin kamu emosi dan lain-lain, kamu nggak pernah pergi."
"I won't."
"Tapi--"
"Ra, gini deh. Walaupun jarak kita jauh dan aku yakin akan ada suatu waktu dimana aku sibuk banget dengan kerjaanku sendiri dan kamu pun begitu, akan ada kok orang-orang kayak aku di sekitar kamu yang bakal menghampiri kamu sendiri tanpa harus dicari. In fact, they who truly care will come to you with or without you asking. Kamu nggak perlu mencari mereka karena itu melelahkan. You just have to wait."
Selama penuturan Karen merayapi indera pendengaran, tanganku memilin-milin seprai kasur. Agak janggal bagaimana percakapan kami bisa berjalan sampai sejauh ini. Tapi mengobrol seperti ini bersama Karen tidak pernah kuanggap sebagai buang-buang waktu atau sekadar omongan sampah. Setiap kata darinya entah mengapa terasa berarti.
"Okay," ujarku akhirnya.
"Okay ... so?"
"Apanya?"
"Udahan galaunya?"
"Kareeen..."
Ia tertawa di ujung telepon.
"Oke, kasih tahu aku aja perkembangan gimana kamu ke depannya," ucapku.
"Kalau aku nggak mau?"
Aku memutar bola mata. "We're done here."
w s l
notes:
ini random bgt. basically just my ranting. wow, maaf ya ini cerita update-nya jd setahun sekali.
KAMU SEDANG MEMBACA
whom (s)he loves
Krótkie OpowiadaniaHe loved, she didn't. How typical. [Spin-off dari Couldn't Expect That] [DISARANKAN MEMBACA "COULDN'T EXPECT THAT" TERLEBIH DAHULU] © 2017 all rights reserved by fluoresens.