iv: an ironic cliche

588 140 9
                                    

Alunan lagu dari gramofon masih mengalun saat aku keluar dari kamar mandi sambil menggosok lembut handuk pada rambut yang basah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Alunan lagu dari gramofon masih mengalun saat aku keluar dari kamar mandi sambil menggosok lembut handuk pada rambut yang basah. Dalam kasusku, mandi selalu bisa menjadi salah satu penurun stres. Karena dalam bayanganku, ketika mandi, bukan hanya keringat dan kotoran yang terbawa oleh air, namun juga beban pun masalah yang bercokol dalam pikiran. Memang, masalah-masalah itu tidak langsung hilang--mustahil, malah--tapi setidaknya, keharusanku untuk memikirkannya jadi menghilang. Apalagi untuk masalah yang tidak penting, untuk apa dipikirkan, ya 'kan?

Aku berjalan menuju rak buku, memilah-milah dan membolak-balik gramofon yang sengaja kuletakkan di sana. Mengingat subjek yang membuatku kini menjadi "mungkin" memiliki kepingan-kepingan gramofon ini membuatku tersenyum kecil. Ah, Karen, lelaki sialan itu benar-benar. Aku masih sulit percaya dia sampai kepikiran memberiku ini semua. Rasanya tidak pantas saja apabila dibandingkan dengan apa yang telah kuberikan padanya.

Nama Karen yang muncul dalam kepala menjadikanku keterusan memikirkannya. Terkadang memang ironis, saat kau bukannya menyukai seseorang yang selalu ada di sisimu selalu--yang memberimu kasih sayang yang kamu harap-harapkan dari orang lain yang bahkan tidak tahu bahwa kamu menyimpan perasaan untuknya.

Ting.

Dentingan notifikasi ponsel tiba-tiba datang menginterupsi pikiran. Kuraih ponsel malas-malasan dan membuka pesan baru.

Jiro: I think she hates me

Tanpa sadar, aku mengembuskan napas keras. Bohong kalau kubilang aku tidak muak. Tapi di lain sisi aku tidak bisa memintanya berhenti membicarakan orang lain denganku. Orang lain yang tak lain adalah sahabatku sendiri. Apa kau masih ingat tujuan yang pernah kusinggung sebelumnya? Yang pernah kutinggalkan hingga aku kehilangan arah, lalu berakhir pada Karen? Jiro-lah tujuanku. Seorang teman sepermainan SMA-ku.

Ya, ini terdengar konyol. Jujur saja, aku pun muak dengan diriku sendiri. Mengapa masih menggantungkan harapan kepada seseorang yang jelas-jelas menyukai orang lain, dalam konteks ini: seorang teman baik? Benar, akulah satu-satunya yang merumitkan masalah. Sebetulnya kalau dipikir-pikir, aku dan Karen toh sama saja: kami bodoh lantaran menyimpan perasaan pada seseorang meski tak terbalas. Pun aku dan Jiro sama saja: kami bodoh lantaran menyia-nyiakan seseorang berperasaan tulus. Jiro menyia-nyiakan aku dan aku menyia-nyiakan Karen.

Menimang ponsel, aku pun mengetik balasan.

Itu pikiranmu aja. Memangnya kamu udah dengar dari mulutnya sendiri? Sebelum itu terjadi, jangan menyerah. I know you're more than that.

Membaca pesanku itu, aku mendadak bergidik sendiri. Kamu munafik sekali, Laura.

.

notes:

Pendek sekalii, but i hope you enjoyed this!

whom (s)he lovesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang