"Cecil bilang dia bakal nyusul pakai GOJEK, masih ada urusan sama mamanya." Aku beralih ke si pemegang kemudi. "So, apa kamu mau kita duluan ke sana?"
"Okelah," sahutnya. Kemudian mobil kami pun turut membaur dengan kendaraan lainnya di jalan.
Aku menyibukkan diri dengan memindah-mindahkan frekuensi radio dan mencari stasiun yang asyik. Namun, karena nyaris semuanya tengah berada pada program yang lebih banyak bicara, aku mendesah. "Ro, aku pasang DVD, boleh?"
Jiro menggumam menyetujui. Aku berseru yey kecil dan membuka dashboard mobilnya untuk kemudian mulai memilah mana yang akan kuputar. Tak lama waktu berselang, suara Lauv menyenandungkan tembang The Other mengisi keheningan di antara kami.
"Ra, kamu tahu Cecil lanjut ke mana?" Jiro bertanya di tengah-tengah lagu.
"Hm, nggak tahu. Dia nggak pernah cerita dan terakhir aku tanya, dia bilang masih bingung. Kami juga jarang ngobrolin tentang hal itu sih."
Jiro menghela napas. Dia tampak frustrasi. Aku kasihan melihatnya, namun yang kukeluarkan malah kekehan kecil.
"Kenapa kamu nggak tanya langsung aja?"
"I don't know how. She's like building wall between us dan aku takut dia malah merasa terganggu dengan kehadiranku. Damn, Laura, she makes me feel hopeless but still eager enough to get closer to her."
Aku manggut-manggut paham. Denganku pun, Cecil tidak seterbuka yang kuharapkan. Padahal menurut observasiku sendiri, Cecil hanya punya segelintir teman yang tampak dekat dengannya. Dia pun paling sering berada di sampingku selama kami sekelas. "Just approach her slowly, Ro. Bertingkah senyaman kamu aja, jadi dirimu sendiri."
"Mm, thanks."
Lagu Lauv sudah enam kali berganti judul dan kami pun sampai pada destinasi; sebuah butik yang sedang tidak ramai dikunjungi. Aku dan Jiro berdampingan masuk ke dalamnya. Sembari menunggu Cecil, aku mencarikan gaun yang sekiranya cocok untuknya dan memilah beberapa yang menarik perhatianku. Sementara Jiro hanya mengikutiku dan memberi saran pendek-pendek. Aku tidak berharap banyak, toh aku tahu tujuannya kemari adalah guna bertemu dengan Cecil. Awalnya hanya aku dan Cecil yang akan mencari gaun untuk perpisahan. Namun, aku mengajak Jiro ikut serta.
Tidak sepenuhnya bodoh. Tujuanku hanya ingin membantu Jiro supaya bisa lebih dekat dengan Cecil. Lambat laun, aku tidak terlalu peduli lagi pada perasaanku atau lebih tepatnya lelah, ya? Entahlah. Aku hanya berpikir bahwa berlarut-larut dalam kegalauan cuma akan menimbun penyakit, jadi aku berusaha untuk mengikuti arus.
Cukup lama kami berputar-putar di butik hingga akhirnya Cecil menampakkan diri. Aku berdadah heboh menyambutnya dan segera mengajaknya mencoba beberapa gaun.
Dan selama itu pula, tatapan Jiro yang tidak lepas-lepas dari Cecil membuatku menyadari: he adores her so much.
w s l
Siang ini begitu panas. Awan tebal menggumpal menutupi langit biru. Cahaya matahari sebenarnya tidak begitu terpapar begitu banyak lantaran terhalang oleh awan, namun suasana di jalanan yang penuh polusi membuat segalanya menjadi bertambah parah panasnya. Aku mendesah. Kugiring tungkaiku di trotoar, bermaksud menuju kedai bubble tea yang tertangkap mataku tatkala aku dan Jiro menuju butik. Jaraknya tidak jauh, paling-paling hanya lima puluh langkah.Aku meninggalkan Jiro dan Cecil di butik. Alasannya adalah ada acara yang harus kuhadiri satu jam lagi. Itu bukan kebohongan, omong-omong--kalau-kalau ada yang berpikiran bahwa aku berusaha menghindar dari mereka berdua demi menyelamatkan hati.
Begitu setengah badanku mendorong pintu kedai, mataku memejam menikmati hawa dingin menyapa. Usai memesan dan mendapatkan minuman di tangan, aku segera melajukan kaki ke meja kosong.
Aku jarang merasa nyaman sendirian di tempat umum. Apabila kondisi itu kualami layaknya sekarang, aku akan diam terbengong-bengong tanpa kegiatan. Bermain ponsel terasa membosankan. Berkali-kali aku meletakkan ponsel ke meja dan meraihnya kembali dalam genggaman. Aku butuh seseorang untuk menemani.
Seolah mengabulkan do'aku, pintu kedai terbuka. Kemunculan sosok yang sangat familier berikutnya menimbulkan rasa senang yang tak tertahankan. Aku tersenyum lebar.
"Lama banget," keluhku cemberut.
"Well, i'm not sorry. Kamu ngabarinnya dadakan kalau mau ke sini."
Aku melengos. Menyodorkan minumanku ke arahnya. "Minum?"
Karen meraihnya dan menyedot beberapa kali. Sembari itu, matanya menjelajah sekitar. Lalu raut tanyanya kentara membayang di wajah. "I thought you were with him?"
Kuhela napas berat. "Hm, nggak. Dia sama Cecil. Lagipula kita mau ke resepsi, remember? Kenapa kamu nanyain dia ketika aku perginya sama kamu?"
Sebelah alisnya terjungkit. Lalu ekspresinya seolah mengatakan, 'ah, why did i even ask'.
"Pergi sekarang?" tanyanya.
Aku mengangguk.
w s l
notes:
double update bcs y not. mungkin akan end di part 8. Makasih udah menyempatkan baca! Saran dan kritik kalian akan sanhat membantu, jangan sungkan menulis di kolom komentar tentang pendapat kalian 🌻
KAMU SEDANG MEMBACA
whom (s)he loves
Cerita PendekHe loved, she didn't. How typical. [Spin-off dari Couldn't Expect That] [DISARANKAN MEMBACA "COULDN'T EXPECT THAT" TERLEBIH DAHULU] © 2017 all rights reserved by fluoresens.